Pengumuman kontroversial datang dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang memutuskan untuk menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris. Keputusan ini diharapkan berlaku efektif pada 27 Januari 2026. Langkah ini memicu kekhawatiran global, terutama terkait dampaknya terhadap investasi di sektor energi baru terbarukan (EBT), termasuk di Indonesia.
Keputusan ini dinilai dapat mengganggu aliran investasi dan pendanaan internasional yang selama ini menjadi jantung pengembangan energi hijau. Trump saat ini sedang mengevaluasi kembali pendanaan AS untuk berbagai negara dengan tujuan untuk mengurangi anggaran kerja sama internasional. Langkah ini potensial membawa perubahan besar, bukan hanya bagi AS, tetapi juga bagi kerja sama bilateral dan perjanjian dagang multinasional.
Dampak dari langkah Trump ini diprediksi akan terasa pada kerja sama global seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (Indo-Pacific Economic Framework/IPEF). Kerja sama-kerja sama ini selama ini memainkan peran penting dalam mendorong transisi energi bersih di berbagai negara. Kini, masa depan mereka berada pada posisi genting, termasuk masa depan energi hijau di Indonesia.
Shinta Widjaja, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menyuarakan kekhawatiran terhadap keputusan tersebut. Menurutnya, "Langkah Trump sangat mungkin memengaruhi investasi hijau di Indonesia. JETP atau IPEF bakal ikut terdampak. Ada potensi kerja sama AS di sektor hijau akan dihentikan atau tidak mendapat dukungan pendanaan yang memadai."
Dampak Global Keputusan AS Keluar dari Perjanjian Iklim
Perjanjian Iklim Paris, yang ditandatangani oleh hampir semua negara di dunia pada tahun 2015, bertujuan untuk mengekang pemanasan global dengan membatasi emisi gas rumah kaca. Sebagai salah satu penandatangan utama, kontribusi AS sangat signifikan baik dari pendanaan maupun teknologi. Oleh sebab itu, keluarnya AS dari perjanjian ini menyiratkan pesan kuat terhadap komitmen global dalam melawan perubahan iklim.
Para ahli mencemaskan bahwa keluarnya AS akan berpengaruh buruk pada upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Hilangnya salah satu pendukung utama perjanjian ini bisa menginspirasi negara lain untuk mengikuti jejak serupa, mengganggu momentum kolektif menuju masa depan yang lebih hijau.
Peran Strategis AS dalam Investasi Energi Hijau
Pendanaan AS selama ini menjadi mesin pendorong utama dalam transisi ke energi terbarukan di banyak negara. Melalui berbagai program dan kemitraan, AS telah berkontribusi besar dalam proyek energi bersih. Hilangnya dukungan ini akan mengubah lanskap investasi energi global, di mana banyak proyek yang mungkin terpaksa ditunda atau diubah skala prioritasnya.
Investasi energi hijau di Indonesia, misalnya, sangat bergantung pada dukungan internasional untuk bisa berkembang. Proyek-proyek seperti di sektor pembangkit listrik tenaga surya dan angin telah menunjukkan peningkatan. Namun, dengan mundurnya AS dari peran strategisnya ini, Indonesia dan negara-negara lainnya mungkin menghadapi tantangan serius dalam memperluas infrastruktur energi terbarukan mereka.
Respon dan Aksi dari Pihak Terkena Dampak
Banyak negara sekarang harus mempertimbangkan kembali strategi mereka untuk menangani perubahan iklim. Sementara itu, negara-negara seperti Uni Eropa terus memantapkan posisinya sebagai pemimpin dalam perang melawan perubahan iklim, memperkuat pendanaan mereka, dan mencari kolaborasi baru untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS.
Adapun di Indonesia, pemerintah dan sektor swasta diminta memperkuat perencanaan strategis untuk menghadapi situasi ini. Adanya pengurangan dukungan internasional mengharuskan Indonesia untuk lebih mandiri dalam membangun infrastruktur EBT. Kebijakan internal dan insentif baru perlu dipertimbangkan untuk mendorong investasi domestik di bidang ini.
Shinta Widjaja menambahkan, "Indonesia harus siap menghadapi tantangan ini dengan inovasi dan inisiatif domestik. Ini bukan hanya tentang mempertahankan investasi yang ada, tetapi juga menciptakan peluang baru melalui kerja sama dengan mitra global lainnya."
Menggugah Komitmen Kembali terhadap Perubahan Iklim
Meski langkah AS ini menjadi kemunduran, semangat global untuk melawan perubahan iklim dan membangun ekonomi yang lebih hijau tidak boleh pudar. Transformasi ke energi terbarukan harus tetap menjadi prioritas. Keharusan untuk membangun dunia yang lebih bersih dan berkelanjutan sangat krusial, apapun tantangan yang dihadapi.
Indonesia dan negara lainnya harus terus melibatkan diri dalam dialog internasional, bekerja sama lebih erat dan secara inovatif untuk memastikan bahwa tujuan jangka panjang dalam mengurangi emisi dan mempromosikan energi bersih tidak terhenti. Kolaborasi lintas kawasan menjadi lebih penting dari sebelumnya.
Di akhir, meski badai politik dan ekonomi mungkin menggoyang tekad awal, konsensus global dan kolaborasi lintas negara yang tangguh akan tetap menjadi pagar pelindung bagi dunia dalam menjamin masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.