Energi

India Peringatkan Dominasi China dalam Transisi Energi Bersih di Tengah Ketegangan Global

India Peringatkan Dominasi China dalam Transisi Energi Bersih di Tengah Ketegangan Global
India Peringatkan Dominasi China dalam Transisi Energi Bersih di Tengah Ketegangan Global

JAKARTA – Pemerintah India telah mengeluarkan peringatan serius mengenai dominasi China dalam industri energi bersih, yang semakin terlihat selama transisi menuju energi rendah karbon. Melalui laporan tahunan Economic Survey, India menyoroti urgensi diversifikasi rantai pasok global dan perlunya pemberian insentif yang lebih spesifik untuk mengurangi ketergantungan pada China. Laporan tersebut, dirilis pada Jumat, 31 Januari 2025 dan dikutip oleh Bloomberg, menekankan kendali kuat China atas komponen energi terbarukan yang mencakup sektor surya, angin, dan baterai.

Menghadapi tantangan geopolitik , India bersama sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, berupaya membangun jaringan produksi paralel untuk produk energi bersih. "Laporan ini menyoroti ketergantungan India pada China dalam pengadaan sebagian besar bahan-bahan tersebut," tulis Bloomberg pada Senin, 3 Januari 2025. Ketergantungan yang muncul menjadi lebih nyata selama pandemi, ketika gangguan pasokan global mempengaruhi produksi dan distribusi energi bersih.

Ketegangan politik antara India dan China, terutama setelah konflik perbatasan tahun 2020, telah meningkatkan persaingan antara kedua negara. Sebagai tanggapan, India memberlakukan hambatan impor terhadap panel dan sel surya dari China serta mengumumkan serangkaian insentif untuk mendukung produksi dalam negeri. Namun, meski kapasitas produksi modul surya India telah melampaui permintaan domestik, China masih mendominasi industri energi bersih secara global.

Konsentrasi Geografis dan Risiko Rantai Pasok

Laporan tersebut juga mengakui bahwa kemampuan manufaktur besar-besaran China telah membuat biaya produksi komponen seperti modul surya menjadi lebih murah dan efisien. "Seiring dunia menghadapi tantangan perubahan iklim, jalur menuju transisi energi tetap melewati China," ujar isi laporan. “Konsentrasi geografis dalam rantai pasok global menciptakan risiko gangguan pasokan yang harus diperhitungkan,” lanjut laporan tersebut.

Usulan dari laporan ini termasuk pemberian hibah untuk produksi sel lithium-ion, peningkatan investasi dalam pendekatan daur ulang baterai, serta perjanjian transfer teknologi internasional yang diharapkan dapat menekan biaya produksi. Meski India berhasil mengembangkan kapasitas produksi modul surya untuk menurunkan ketergantungan pada impor, produksi sel dan komponen hulu lainnya masih sangat bergantung pada China.

Dekarbonisasi dan Tantangan Bahan Baku

Dekarbonisasi transportasi darat juga masih sangat bergantung pada perdagangan dengan China, sebagaimana dinyatakan dalam laporan. Dengan China menguasai mineral penting untuk baterai seperti nikel, kobalt, lithium, dan logam tanah jarang lainnya, India menghadapi tantangan berat. Dilaporkan bahwa 75% pasokan lithium-ion India berasal dari China.

Riset terkini dari BloombergNEF mengungkap besarnya investasi China dalam transisi energi, mencapai US$818 miliar pada 2024 dari total US$2,1 triliun secara global. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris. Investasi transisi energi AS tercatat stagnan di angka US$338 miliar pada 2024, setelah mengalami pertumbuhan signifikan di tahun 2023.

Pertumbuhan Investasi di Asia Pasifik

Sementara itu, 27 negara Uni Eropa mengalokasikan US$381 miliar untuk pendanaan transisi energi sepanjang tahun lalu, dengan Jerman sebagai destinasi investasi terbesar ketiga mencapai US$109 miliar, meski mengalami penurunan sebesar 1,7% secara tahunan. Inggris menduduki peringkat keempat dengan investasi senilai US$65 miliar, diikuti oleh Prancis dengan US$50 miliar. Investasi transisi energi di India sendiri mencatat pertumbuhan hingga US$47 miliar pada 2024 dan menempati peringkat keenam secara global.

Investasi di kawasan Asia Pasifik tumbuh signifikan sebesar 21% secara tahunan, menembus nilai total US$1 triliun. Meski begitu, capaian investasi ini baru memenuhi 37% dari kebutuhan tahunan ideal untuk mencapai target emisi net zero pada tahun 2050. Tentunya, ini menggambarkan urgensi dan tantangan dalam mencapai transisi energi yang adil dan berkelanjutan di tengah dominasi China serta upaya diversifikasi yang sedang berlangsung.

Dalam konteks ini, India harus menghadapi tantangan serius dalam mengurangi ketergantungan impor dari China dengan memperkuat infrastruktur, sumber daya manusia, dan kebijakan yang mampu memfasilitasi pertumbuhan industri energi bersih yang mandiri. Hal ini tidak hanya penting untuk keamanan ekonomi negara tetapi juga berperan krusial dalam usaha global menghadapi tantangan perubahan iklim.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index