Belakangan ini, tren pejabat publik yang memilih menggunakan transportasi umum untuk aktivitas sehari-hari semakin marak. Fenomena ini dianggap oleh sebagian pihak sebagai upaya pejabat untuk menunjukkan kedekatan dan empati kepada rakyat. Namun, ada pula pandangan skeptis yang menyebut langkah tersebut tak lebih dari sekadar gimik politik tanpa dampak signifikan dalam meningkatkan kinerja pejabat.
Masyarakat sering kali mempertanyakan, apakah aksi pejabat yang naik KRL atau TransJakarta tersebut memang memiliki niat mulia untuk mendekatkan diri dengan rakyat, atau sekadar langkah pencitraan? “Rakyat sebenarnya tidak butuh simbolisme kosong. Mereka butuh tindakan nyata dan kebijakan yang berefek positif pada pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sektor penting lainnya,” ujar Anis, seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia.
Kinerja Harus Lebih Utama Dibandingkan Penampilan Sederhana
Menggunakan transportasi umum pada dasarnya memang bisa menjadi simbol positif bagi para pejabat, tetapi harus disertai dengan peningkatan kinerja yang nyata. Jika seorang pejabat hanya menggunakan transportasi umum agar terlihat “merakyat,” tetapi kebijakan yang dihasilkan tidak membawa dampak positif, maka hal tersebut tidak ubahnya seperti drama di panggung politik.
Pejabat yang baik seharusnya menitikberatkan pada kualitas kebijakan yang mereka implementasikan. Sebagai contoh, seorang menteri bisa saja menggunakan KRL setiap hari, namun seberapa besar pengaruh kebijakannya terhadap kesejahteraan masyarakat? “Lebih baik seorang pejabat terlihat bekerja dan tidak hanya menaiki angkutan umum sebagai pencitraan,” ujar Dimas, seorang aktivis sosial yang mengamati tren ini.
Fokus utama seharusnya pada usaha menciptakan solusi nyata bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Bukan soal kendaraan apa yang mereka gunakan, tetapi apa yang telah mereka lakukan untuk membuat kehidupan warga lebih baik.
Kabinet yang Gemuk, Apa Solusinya?
Saat ini, kabinet yang ada terlihat lebih fokus pada pembangunan citra dibandingkan dengan pembangunan sektor ekonomi atau inovasi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya program yang seolah hanya mendaur ulang kebijakan sebelumnya tanpa menghadirkan terobosan yang berarti. Terkadang, ruang diskusi publik lebih dipenuhi dengan slogan-slogan atau logo baru daripada hasil kerja yang konkret.
Kritikan pun tak terhindarkan ketika banyak kementerian yang terlihat lebih sibuk dengan pencitraan. “Kami memerlukan kabinet yang efisien dan efektif, bukan sekadar jumlah yang gemuk tanpa karya,” tambah Anis dalam keterangannya. Peningkatan jumlah kunjungan kerja dan konferensi pers seringkali lebih menonjol dibandingkan dengan pengeluaran kebijakan baru yang berdampak besar.
Menghadirkan Perubahan Nyata, Bukan Semata Pencitraan
Masyarakat mengharapkan pejabat yang tidak hanya sekadar menampilkan diri sebagai pribadi yang sederhana atau merakyat, tetapi benar-benar memperbaiki kualitas hidup mereka. Rakyat ingin melihat hasil, bukan sekadar janji dan citra. Oleh karena itu, evaluasi kinerja pejabat seharusnya tidak berfokus pada penampilan ataupun simbolisme yang mereka usung, tetapi lebih kepada hasil kebijakan yang mereka implementasikan.
Penting bagi para pejabat untuk mengalihkan fokus kepada kebijakan yang benar-benar memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. “Kita perlu menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekedar membangun citra,” tegas Dimas, seorang aktivis yang berharap pejabat lebih peka terhadap permasalahan riil di masyarakat.
Tren penggunaan transportasi umum oleh pejabat ini seharusnya dimanfaatkan dengan lebih bijaksana, tidak hanya sebagai ajang pencitraan, tetapi juga sebagai langkah introspeksi untuk memahami secara mendalam tantangan yang dihadapi rakyat. Pada akhirnya, kinerja nyata dalam menghadirkan perubahan dan perbaikan adalah yang utama dalam penilaian masyarakat terhadap para pemimpinnya.