Yogyakarta

12 Hidangan Legendaris Yogyakarta yang Sayang Dilewatkan

12 Hidangan Legendaris Yogyakarta yang Sayang Dilewatkan
12 Hidangan Legendaris Yogyakarta yang Sayang Dilewatkan

JAKARTA - Berbicara tentang Yogyakarta, banyak orang langsung teringat pada budaya Jawa yang kental, suasana ramah warganya, dan destinasi wisata yang menawan. Namun, ada satu hal lagi yang membuat kota ini istimewa, yaitu ragam kulinernya. Di balik setiap makanan khas Yogyakarta, tersimpan nilai budaya, cerita sejarah, bahkan filosofi yang masih hidup hingga kini.

Kuliner Yogyakarta tidak hanya menggugah selera, tapi juga menghubungkan masyarakat dengan tradisi leluhur. Tak sedikit makanan khas di sini yang mulanya hadir dalam acara adat, perayaan keluarga, atau sebagai hidangan simbolis, lalu kini bisa dinikmati semua kalangan. Bagi wisatawan, mencicipi kuliner khas Jogja sama pentingnya dengan mengunjungi Malioboro atau Keraton.

Berikut adalah 12 di antaranya yang paling populer:

1. Gudeg
Gudeg adalah ikon kuliner Yogyakarta. Nama “gudeg” berasal dari kata Jawa hangudek yang berarti proses mengaduk. Hidangan ini sering dijadikan oleh-oleh karena memiliki kemasan beragam, mulai dari besek, daun pisang, kardus, hingga kendil. Seiring waktu, gudeg juga tersedia dalam bentuk kalengan agar lebih tahan lama.

2. Sate Klathak
Sate berbahan daging kambing muda ini unik karena ditusuk dengan jeruji besi sepeda, bukan bambu. Panas besi membuat daging matang merata. Popularitas sate klathak juga ikut terangkat karena satai sendiri masuk daftar 50 makanan terlezat dunia versi CNN tahun 2011, dengan posisi ke-14.

3. Berongkos
Olahan sayur ini menggunakan daging sapi, terutama sandung lamur, dengan keluak sebagai bumbu utama sehingga kuahnya gelap dan beraroma khas. Brongkos adalah hidangan tradisional yang hingga kini masih banyak disajikan di warung makan khas Jogja.

4. Gatot dan Tiwul
Keduanya berasal dari singkong yang melalui proses fermentasi, lalu dijemur hingga menjadi gaplek. Tiwul berbahan gaplek putih, sedangkan gatot dari gaplek hitam. Selain enak, makanan ini baik untuk pencernaan karena kaya bakteri asam laktat alami.

5. Wajik
Wajik terbuat dari ketan, santan, dan gula kelapa. Dalam tradisi Jawa, terutama pernikahan, wajik wajib ada bersama jajanan adat lainnya seperti jadah dan krasikan. Fungsinya tak sekadar makanan, melainkan simbol dalam prosesi seserahan.

6. Apem
Apem biasa hadir dalam upacara adat atau menjelang Ramadan. Namanya berasal dari bahasa Arab afwan atau afuwwun yang berarti meminta maaf. Karena lidah Jawa sulit melafalkan, muncullah sebutan apem. Masyarakat membuatnya untuk dibagikan ke tetangga sebagai simbol syukur dan permohonan ampun.

7. Kipo
Makanan kecil asal Kotagede ini memiliki cerita unik. Nama kipo muncul dari ucapan orang-orang “iki opo?” (ini apa?). Bentuknya kecil, berwarna hijau, dengan isi manis gurih dari gula dan kelapa. Meski sederhana, kipo jadi buruan wisatawan.

8. Jenang Garut
Berasal dari umbi garut yang banyak tumbuh di Kulonprogo, jenang ini kaya serat dan cocok untuk penderita diabetes karena kadar gulanya rendah. Dulu, umbi garut hanya jadi makanan cadangan saat paceklik, kini justru naik kelas sebagai pangan bergizi.

9. Geplak
Sejak zaman kolonial, Bantul dikenal sebagai penghasil tebu dan kelapa, bahan utama geplak. Awalnya hanya berwarna putih, kini geplak hadir dengan warna-warni menarik sesuai rasa. Salah satu pusat geplak terkenal ada di daerah Gose, Bantul.

10. Yangko
Kue khas Kotagede ini bercita rasa manis dan gurih. Awalnya bernama kiyangko, lalu berubah jadi yangko karena lidah Jawa sulit melafalkannya. Penciptanya adalah Mbah Ireng sejak 1921, namun baru populer luas di 1939. Kini, yangko tersedia dalam kemasan modern dengan aneka varian rasa.

11. Wedang Ronde
Minuman hangat berbahan dasar jahe ini cocok untuk malam Jogja yang sejuk. Meskipun dikenal sebagai minuman khas Jogja, aslinya berasal dari Tiongkok dengan nama tangyuan. Bentuk bola-bola ketan isi kacang dalam kuah jahe membuatnya khas.

12. Wedang Uwuh
Berbeda dengan ronde, wedang uwuh dari Imogiri memakai rempah seperti kayu secang. Namanya berarti “minuman sampah” karena tampilannya mirip tumpukan dedaunan kering. Namun manfaatnya besar, dari melancarkan peredaran darah hingga meningkatkan daya tahan tubuh.

Jejak Tradisi dalam Setiap Gigitan

Setiap makanan khas Yogyakarta tidak sekadar soal rasa, melainkan juga rekam jejak sejarah dan budaya. Gudeg dan berongkos mengingatkan pada kearifan lokal dalam mengolah bahan. Apem dan wajik masih dipertahankan dalam upacara adat, sementara jenang garut dan gatot menunjukkan pemanfaatan pangan alternatif sejak masa sulit.

Yogyakarta memang istimewa. Bukan hanya karena budayanya yang lestari atau keramahan warganya, melainkan juga karena kulinernya yang sarat makna. Saat berkunjung ke kota ini, sempatkan mencicipi ke-12 makanan tradisional di atas. Rasanya tidak hanya mengenyangkan, tetapi juga menghadirkan pengalaman menyelami kisah dan filosofi di baliknya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index