ENERGI

Masa Depan Energi dan Warisan Fosil

Masa Depan Energi dan Warisan Fosil
Masa Depan Energi dan Warisan Fosil

JAKARTA - Penunjukan Denny JA sebagai Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE) membuka babak baru dalam dinamika kebijakan energi nasional. Di tengah riuhnya semangat optimisme atas pengelolaan sumber daya migas nasional, ada pertanyaan besar yang sebaiknya turut diajukan: apakah kita sedang benar-benar melangkah ke masa depan, atau justru sedang menghidupkan kembali masa lalu dengan balutan jargon baru?

Denny JA, dalam esainya bertajuk "Make Pertamina Great Again" yang dirilis pada 25 Juli lalu, menyampaikan optimisme tentang visi besar Pertamina untuk kembali memproduksi satu juta barel minyak per hari. Sebuah gagasan yang mengingatkan pada kejayaan era Ibnu Sutowo. Namun, semangat revivalis semacam ini justru memunculkan kegamangan baru. Bukan tentang kemampuan teknis semata, melainkan tentang arah dan filosofi energi nasional.

Apakah yang disebut sebagai “kemandirian energi” hanya sebatas pada kemampuan mengebor minyak dari tanah sendiri, meski tetap menggantungkan masa depan pada energi fosil? Ataukah kita bisa menyebutnya kemandirian jika fondasi energi nasional masih berpijak pada sumber-sumber yang menyusut dan bersifat sementara, bukan pada sinar matahari, hembusan angin, atau panas bumi yang tersedia tanpa henti?

Visi Denny JA dalam esainya memang mengandung logika: percepatan perizinan, teknologi pengolahan, kerja sama dengan SKK Migas, hingga optimalisasi enhanced oil recovery. Namun pertanyaan kritis tetap mengemuka: apakah langkah ini adalah loncatan menuju kemandirian yang tahan uji waktu, atau justru pelestarian ketergantungan terhadap energi era lampau?

Memang, dulu Indonesia pernah mencatat produksi minyak mentah hingga 1,2 juta barel per hari. Tapi konteksnya berbeda. Itu masa ketika dunia masih bergantung penuh pada minyak, dan isu pemanasan global belum mendominasi wacana publik. Kini, di tahun 2025, lanskap energi global telah berubah. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Shell, BP, dan TotalEnergies pun mulai beralih ke energi terbarukan.

Ironisnya, saat negara-negara tersebut sedang berinvestasi pada masa depan, kita justru tampak bersemangat mengejar target produksi dari sumur-sumur yang kian menua. Bahkan saat banyak negara sudah mengalihkan fokusnya ke energi bersih, kita masih sibuk mempercepat izin pengeboran.

Lihat saja Norwegia, yang hampir seluruh listriknya berasal dari energi hidro. Atau Costa Rica, yang 98% listriknya berbasis energi terbarukan. Bahkan Islandia dengan dominasi panas bumi, serta Tiongkok yang kini menjadi produsen terbesar panel surya dunia —semuanya bergerak ke arah masa depan.

Sementara itu, Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim dengan 12 jam sinar matahari per hari, potensi angin dari 17.000 pulau, dan panas bumi yang membentang dari Sabang sampai Merauke —masih saja terjebak dalam euforia menggali sumber fosil.

Apakah ini yang disebut sebagai “kemandirian energi”? Ataukah ini hanya usaha mengejar ketertinggalan dengan bahan bakar yang tak lagi relevan?

Dalam esainya, Denny JA juga menyebut soal program-program CSR yang membungkus visi energi dengan festival budaya dan semangat peradaban. Tentu, kegiatan semacam itu punya nilai tersendiri. Namun, realitas krisis iklim dan kebutuhan akan energi bersih tak bisa dijawab dengan festival saja. Kita memerlukan pergeseran paradigma dan kebijakan strategis.

Esai ini tidak dimaksudkan untuk menertawakan, apalagi meremehkan. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk refleksi. Karena Denny JA kini berada di dalam sistem, harapan terhadap peran strategisnya pun besar. Ia tidak hanya punya posisi formal, tapi juga kemampuan naratif. Jika ia bisa menulis ratusan puisi esai dan esai filsafat, maka tentu ia juga bisa menggagas narasi energi yang baru —yang lebih selaras dengan tantangan zaman.

Kemandirian sejati dalam energi bukan sekadar tentang ketersediaan sumber daya di dalam negeri. Ia harus menyentuh aspek keberlanjutan, ketahanan menghadapi krisis, dan akuntabilitas antargenerasi. Apa artinya mencapai satu juta barel per hari jika tidak ada satu pun panel surya yang terpasang di halaman kilang?

Jika arah kebijakan energi nasional masih hanya menggali, tanpa menggagas yang baru, maka yang terjadi bukanlah “Make Pertamina Great Again”, melainkan “Make Pertamina Fossil Forever”.

Pertanyaan yang lebih esensial harus segera diajukan: kemandirian seperti apa yang ingin kita capai? Kemandirian yang sekadar mengebor cadangan yang akan habis, atau kemandirian yang membangun masa depan yang tidak menggantungkan hidup pada sumber daya yang menipis?

Karena pada akhirnya, generasi mendatang akan bertanya: mengapa kita terus menggali, padahal sinar matahari bersinar sepanjang hari?

Langkah strategis untuk masa depan membutuhkan visi yang tak hanya melihat besarnya potensi sumber daya, tetapi juga kemampuan beradaptasi dan bertanggung jawab terhadap perubahan iklim, geopolitik, serta kebutuhan energi yang inklusif dan berkelanjutan. Jika Pertamina ingin benar-benar menjadi motor gerakan nasional, maka ia harus memulai dari transisi menuju energi yang tak sekadar mandiri, tapi juga bersih, adil, dan berjangka panjang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index