JAKARTA - Meningkatnya kasus Chikungunya di sejumlah wilayah dunia mendorong perhatian serius dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada 22 Juli 2025, WHO secara resmi memperingatkan adanya potensi epidemi global penyakit ini, setelah mengamati pola penyebaran yang menyerupai wabah besar dua dekade silam.
Kala itu, pada periode 2004 hingga 2007, Chikungunya melanda kawasan Samudra Hindia dengan jumlah kasus mencapai ratusan ribu. WHO menilai kondisi saat ini mengarah pada situasi serupa, sehingga semua pihak termasuk pemerintah dan otoritas kesehatan di Indonesia—diminta untuk bersiap mengantisipasi penyebaran lebih luas.
Penyakit Lama yang Kembali Menghantui
Meskipun bukan penyakit baru, Chikungunya kembali menjadi sorotan global. Sejak pertama kali ditemukan di Tanzania pada tahun 1952, penyakit ini sudah tersebar luas ke lebih dari 119 negara, termasuk Indonesia.
Kata “Chikungunya” berasal dari bahasa lokal di wilayah selatan Tanzania yang berarti “rasa sakit hebat” menggambarkan gejala khas yang dialami penderita, seperti nyeri hebat pada persendian. Gejala lainnya mencakup demam, ruam kemerahan, nyeri otot, sakit kepala, mual, hingga rasa lelah berkepanjangan.
Menariknya, catatan sejarah mencatat bahwa wabah urban pertama terjadi di Thailand pada tahun 1967, mengindikasikan bahwa penyebaran di wilayah padat penduduk bukanlah hal baru. Kini, peringatan WHO ini mengharuskan negara-negara Asia, termasuk Indonesia, untuk kembali waspada.
Penularan dan Gejala yang Perlu Diwaspadai
Chikungunya disebabkan oleh virus RNA dari genus Alphavirus, famili Togaviridae, yang dikenal dengan nama CHIKV. Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus vektor yang sama dengan penyebab demam berdarah dengue (DBD).
Mengingat vektor penularannya identik, upaya pengendalian DBD otomatis memberikan kontribusi positif dalam menekan penyebaran Chikungunya. Namun, walau sebagian besar kasus bersifat ringan, ada sejumlah risiko serius yang patut diperhatikan:
Nyeri sendi hebat berkepanjangan yang bisa berlangsung hingga beberapa bulan.
Komplikasi organ, meskipun jarang, dapat terjadi pada mata, jantung, atau sistem saraf.
Risiko kematian, meskipun sangat kecil, tercatat dengan tingkat kematian di bawah 1%.
Data global menunjukkan bahwa sejak awal 2025 hingga pertengahan tahun, telah terjadi sekitar 220.000 kasus Chikungunya dengan 80 kematian.
Diagnosa dan Keterbatasan Penanganan
Diagnosis pasti untuk Chikungunya bisa dilakukan melalui metode Polymerase Chain Reaction (PCR) yang mendeteksi virus dalam darah pasien. Selain itu, pemeriksaan antibodi juga menjadi salah satu opsi deteksi.
Namun, hingga kini belum tersedia antivirus spesifik yang dapat menyembuhkan infeksi Chikungunya. Penanganan masih bersifat simptomatik, yaitu menggunakan obat antipiretik dan analgesik untuk mengurangi gejala demam dan nyeri.
Vaksin memang mulai dikembangkan di sejumlah negara, dan dua jenis vaksin telah tersedia secara terbatas. Namun, Indonesia belum memiliki akses terhadap vaksin tersebut. WHO sendiri berencana menerbitkan dokumen kebijakan (position paper) tentang vaksin Chikungunya pada 2026, setelah sebelumnya direncanakan akan dibahas oleh Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) on Immunization dalam waktu dekat.
Langkah-Langkah Strategis yang Harus Dilakukan
Dalam menghadapi peringatan serius dari WHO, ada lima langkah strategis yang harus segera diambil agar Chikungunya tidak berkembang menjadi epidemi global:
-Surveilans Sistematis
Melakukan pemantauan kasus secara intensif dengan tiga tujuan utama: memetakan beban penyakit di berbagai daerah, mengidentifikasi tren peningkatan kasus, dan membandingkan data lokal dengan negara-negara di kawasan.
-Penguatan Pengendalian Nyamuk
Upaya yang selama ini dilakukan dalam pengendalian DBD perlu diperluas. Peran Juru Pemantau Jentik (Jumantik) harus dioptimalkan untuk memberantas jentik nyamuk melalui kampanye 3M Plus. Langkah ini akan sangat relevan untuk mencegah Chikungunya.
-Persiapan Diagnostik dan Vaksinasi
Sarana dan prasarana diagnostik harus disiapkan lebih matang. Ketersediaan vaksin, jika memungkinkan, juga perlu diprioritaskan ke depan sebagai bagian dari sistem perlindungan kesehatan masyarakat.
-Penanganan Cepat pada Kasus Positif
Respons yang cepat dan tepat terhadap pasien Chikungunya dapat meminimalkan dampak lanjutan dan mencegah penyebaran lebih lanjut.
-Koordinasi Internasional
Pemerintah Indonesia perlu terus menjalin komunikasi aktif dengan WHO, khususnya di kawasan Pasifik Barat, mengingat Indonesia kini termasuk dalam wilayah regional tersebut (setelah sebelumnya berada di kawasan Asia Tenggara).
Harapan ke Depan
Tingginya mobilitas penduduk, perubahan iklim, serta pola hidup perkotaan menjadi faktor pemicu cepatnya penyebaran penyakit seperti Chikungunya. Oleh karena itu, antisipasi perlu dilakukan tidak hanya oleh pemerintah dan tenaga kesehatan, tetapi juga oleh masyarakat umum.
Upaya bersama, termasuk pengendalian nyamuk secara rutin di lingkungan rumah, pemantauan gejala dini, serta edukasi publik yang berkelanjutan, menjadi kunci dalam mencegah Chikungunya berubah menjadi epidemi berskala global.
Dengan kesiapsiagaan nasional dan kerja sama internasional, harapannya potensi ancaman ini dapat ditekan sebelum meluas lebih jauh.