JAKARTA - Keselamatan pelayaran kembali menjadi sorotan utama pemerintah setelah dilakukan rampcheck terhadap sejumlah kapal penyeberangan yang melayani rute Ketapang-Gilimanuk. Pemeriksaan intensif yang berlangsung pada 10–11 Juli 2025 itu membawa konsekuensi besar: sebanyak 15 kapal dinyatakan belum laik berlayar dan untuk sementara ditunda operasionalnya.
Rampcheck ini dilaksanakan oleh Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Hasilnya bukan sekadar catatan administratif, tetapi temuan konkret yang mengharuskan perbaikan menyeluruh baik secara teknis maupun administratif. Dengan alasan keselamatan, semua kapal yang ditemukan bermasalah diwajibkan untuk memperbaiki diri dan memenuhi rekomendasi rampcheck sebelum kembali diizinkan mengangkut penumpang dan kendaraan.
Penundaan ini bukan langkah sembarangan. Jalur penyeberangan Ketapang-Gilimanuk merupakan penghubung vital antara Pulau Jawa dan Pulau Bali, yang menjadi bagian penting dalam rantai logistik nasional, mobilitas antarprovinsi, serta arus wisatawan domestik. Oleh sebab itu, keselamatan menjadi harga mati yang tidak bisa dikompromikan.
Langkah tegas yang diambil oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut ini berlandaskan kuat pada berbagai regulasi. Beberapa dasar hukum yang menjadi pegangan antara lain:
Undang-Undang RI Nomor 66 Tahun 2024 tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan,
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 110 Tahun 2009 tentang Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal,
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Sistem Pemeriksaan dan Sertifikasi pada Kapal Berbendera Indonesia, serta
Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor KP.DJPL 468 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kewenangan dalam Penyelenggaraan Kelaiklautan Kapal.
Dokumen-dokumen hukum tersebut menjadi pijakan dalam memastikan bahwa setiap kapal yang melintasi perairan Indonesia memenuhi standar keselamatan yang berlaku. Pemeriksaan bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk nyata tanggung jawab pemerintah terhadap keselamatan publik di laut.
Adapun 15 kapal yang ditunda operasionalnya merupakan kapal-kapal dari berbagai perusahaan pelayaran nasional. Rekomendasi utamanya seragam: "kapal ditunda keberangkatannya sampai dengan perbaikan dan memenuhi seluruh rekomendasi."
Beberapa nama kapal yang tercantum dalam daftar tersebut antara lain: KMP. Trisakti Adinda, KMP. SMS Swakarya 785, KMP. Pancar Indah, KMP. Tunu Pratama Jaya, KMP. Karya Maritimi, dan KMP. Samudera Utama.
Salah satu kapal yang menjadi perhatian khusus adalah KMP. Tunu Pratama Jaya 3888. Kapal ini sebelumnya pernah mengalami insiden di perairan Selat Bali. Dalam pemeriksaan terbaru, kapal tersebut kembali dinyatakan belum laik berlayar dan harus menunggu hingga seluruh rekomendasi keselamatan dipenuhi.
Dalam menindaklanjuti hasil rampcheck ini, Kepala Balai Pengelola Transportasi Darat Kelas II Jawa Timur turut diminta berperan aktif. Tugasnya adalah memastikan bahwa perusahaan pelayaran melakukan perbaikan secara menyeluruh, serta mengatur koordinasi dengan tim teknis untuk melakukan pemeriksaan ulang. Baru setelah seluruh temuan teknis dinyatakan terpenuhi, izin berlayar dapat diberikan kembali kepada kapal-kapal tersebut.
Penundaan ini membawa dampak logistik yang cukup besar, mengingat lintasan Ketapang-Gilimanuk melayani ribuan kendaraan dan penumpang setiap harinya. Meski begitu, pemerintah tetap menempatkan aspek keselamatan sebagai prioritas utama. Keputusan ini diharapkan menjadi momentum penting untuk melakukan pembenahan menyeluruh terhadap standar keselamatan kapal di jalur-jalur padat penyeberangan.
Keselamatan pelayaran memang tidak boleh dilihat sebagai kewajiban administratif semata. Justru, langkah ini menjadi garda depan dalam mencegah terjadinya insiden laut yang bisa berujung pada korban jiwa dan kerugian material besar. Pemerintah pun tak henti mengingatkan operator kapal agar meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap seluruh regulasi keselamatan.
Dalam konteks ini, rampcheck yang berujung pada penundaan 15 kapal bukanlah kegagalan sistem, melainkan bentuk keberhasilan sistem pengawasan yang bekerja dengan efektif. Dengan menyaring kapal-kapal yang belum memenuhi syarat, pemerintah memberi ruang bagi pembenahan internal dan penguatan sistem keselamatan sebelum sebuah masalah besar benar-benar terjadi di lapangan.
Imbauan pemerintah kepada operator kapal juga menegaskan pentingnya menjaga kualitas armada. Keberlanjutan layanan penyeberangan tidak hanya ditentukan oleh kuantitas kapal yang tersedia, tetapi juga oleh kelaikan dan kesiapan operasional masing-masing kapal. Kapal yang tidak laik dapat menjadi bom waktu yang membahayakan banyak pihak, termasuk kru, penumpang, dan lingkungan laut.
Ke depan, langkah seperti ini diharapkan menjadi standar dan bukan hanya reaksi sesaat. Pemeriksaan berkala, pembinaan operator, dan edukasi keselamatan harus berjalan secara simultan agar ekosistem pelayaran Indonesia semakin tangguh dan berdaya saing tinggi.
Penundaan 15 kapal ini, dengan segala konsekuensinya, menjadi pengingat bahwa keamanan laut adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, operator, dan masyarakat harus bersinergi untuk memastikan bahwa perjalanan di atas laut adalah perjalanan yang aman, nyaman, dan bertanggung jawab.