Perbankan

BI Dorong Perbankan Turunkan Bunga Kredit, Perbankan Masih Enggan Bergerak

BI Dorong Perbankan Turunkan Bunga Kredit, Perbankan Masih Enggan Bergerak
BI Dorong Perbankan Turunkan Bunga Kredit, Perbankan Masih Enggan Bergerak

JAKARTA — Bank Indonesia (BI) terus mendorong sektor perbankan untuk segera menurunkan suku bunga kredit, sebagai salah satu upaya mempercepat penyaluran pembiayaan ke sektor riil. Langkah ini dinilai krusial untuk mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional di tengah dinamika perekonomian global.

Namun, upaya tersebut belum sepenuhnya direspons oleh pelaku perbankan. Penurunan suku bunga kredit berjalan sangat lambat, bahkan terkesan stagnan, meskipun BI telah mengambil langkah proaktif dengan memangkas suku bunga acuannya sebanyak dua kali dalam beberapa bulan terakhir.

Kebijakan moneter yang dilakukan BI sejalan dengan tren pelonggaran suku bunga global, termasuk langkah The Fed yang mempertahankan tingkat suku bunga acuannya. Tetapi realisasi di lapangan menunjukkan bahwa bunga kredit di Indonesia belum menunjukkan penyesuaian yang signifikan.

“Ketika BI Rate turun, butuh waktu cukup lama bagi bank menyesuaikan bunga kreditnya. Apalagi likuiditas ketat karena bank bersaing dengan instrumen lain seperti SBN dalam menghimpun dana,” kata Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios).

Penurunan BI Rate Tak Diikuti Bunga Kredit

Bank Indonesia sebelumnya telah menurunkan BI Rate menjadi 5,50 persen pada Mei 2025. Suku bunga deposito satu bulan pun turun tipis dari 4,83 persen pada April menjadi 4,81 persen di Mei 2025. Hal serupa terjadi pada suku bunga kredit yang turun tipis dari 9,19 persen menjadi 9,18 persen.

Namun, fakta berbicara lain terkait suku bunga kredit baru. Berdasarkan data BI, justru terjadi kenaikan suku bunga kredit baru di hampir seluruh kelompok bank, kecuali Kantor Cabang Bank Asing (KCBA).

Secara rinci, berikut perkembangan suku bunga kredit baru berdasarkan jenis bank:

Bank BUMN: naik 36 basis poin (bps) menjadi 8,81 persen

Bank Umum Swasta Nasional (BUSN): naik 26 bps menjadi 10,61 persen

Bank Pembangunan Daerah (BPD): naik 12 bps menjadi 9,97 persen

KCBA: justru turun 138 bps menjadi 7,21 persen

Kenaikan ini menjadi sinyal bahwa transmisi kebijakan moneter dari BI belum sepenuhnya efektif menyentuh sektor kredit perbankan. Dengan kondisi tersebut, potensi percepatan pertumbuhan ekonomi nasional berisiko terhambat.

Penyebab Bunga Kredit Tak Turun

Nailul Huda menilai lambannya penurunan bunga kredit dipengaruhi oleh kekakuan struktural dalam sistem bunga perbankan nasional. Salah satu faktor utamanya adalah ketatnya likuiditas perbankan, mengingat bank harus bersaing dengan instrumen investasi lain seperti Surat Berharga Negara (SBN) untuk menarik dana masyarakat.

“Bank harus menetapkan bunga deposito yang tinggi agar dana nasabah masuk. Akibatnya, bunga kredit pun ikut dipatok tinggi supaya margin tetap terjaga,” jelas Huda.

Selain itu, tingginya bunga kredit menjadi langkah strategis bagi bank dalam menjaga kualitas portofolio pinjaman agar terhindar dari risiko kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL). Namun di sisi lain, tingginya bunga kredit tersebut berpotensi memperlambat penyaluran kredit produktif ke sektor riil.

“Kalau bunga kredit tetap tinggi, perbankan akan cenderung selektif, sehingga kredit melambat. Ini berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi karena cost of investment yang mahal,” ujar Huda menegaskan.

Perbankan Terkendala Cost of Fund

Pihak perbankan sendiri menyampaikan alasan lain terkait masih tingginya suku bunga kredit. Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, menjelaskan bahwa tingginya cost of fund (CoF) atau biaya dana menjadi kendala utama bagi bank untuk menurunkan bunga kredit.

“Likuiditas pasar ketat, terlihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) yang tinggi. Kalau CoF belum turun, bank juga sulit menurunkan suku bunga kredit,” ungkap Lani Darmawan.

Sebagai ilustrasi, suku bunga dasar kredit (SBDK) di CIMB Niaga masih bertengger di kisaran 8,20 persen untuk segmen korporasi, sementara untuk kredit non-KPR atau non-KPA bisa mencapai 12,11 persen. Kondisi ini mempertegas bahwa ruang bagi perbankan untuk menurunkan bunga kredit masih sangat terbatas.

Faktor Risiko Debitur Berpengaruh

Tak hanya soal likuiditas, faktor risiko debitur juga memengaruhi penetapan bunga kredit. Hal ini disampaikan oleh Direktur Kepatuhan OK Bank, Efdinal Alamsyah. Menurutnya, setiap penetapan suku bunga kredit akan selalu mempertimbangkan profil risiko debitur.

“Kalau berbicara secara industri perbankan, banyak faktor yang menyebabkan suku bunga tidak turun, misalnya faktor likuiditas bisa menjadi salah satu faktor, termasuk juga komposisi sumber dana, cost of fund, dan lain-lain,” kata Efdinal.

Artinya, proses penyesuaian bunga kredit tidak bisa digeneralisasi. Meski Bank Indonesia telah menurunkan BI Rate, bank tetap harus mempertimbangkan aspek risiko dan karakteristik portofolio kredit yang mereka miliki.

Dampak ke Sektor Produktif

Lambatnya penurunan bunga kredit berimplikasi langsung terhadap penyaluran kredit produktif ke berbagai sektor perekonomian. Tingginya suku bunga kredit meningkatkan cost of investment, sehingga pelaku usaha menjadi lebih berhati-hati dalam mengajukan pembiayaan baru.

Dalam jangka pendek, kondisi ini bisa menghambat laju pertumbuhan sektor riil, yang justru menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sektor-sektor prioritas seperti UMKM, industri manufaktur, hingga sektor pertanian akan mengalami hambatan dalam mendapatkan akses pembiayaan yang terjangkau, padahal sektor-sektor tersebut memiliki kontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan daya beli masyarakat.

Prospek Penurunan Suku Bunga Selanjutnya

Ke depan, Bank Indonesia masih membuka peluang untuk kembali menurunkan suku bunga acuan guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, pelaku pasar memperkirakan bahwa BI hanya akan menurunkan suku bunga sebanyak satu kali lagi hingga akhir tahun 2025, mengingat ketidakpastian global masih cukup tinggi, termasuk risiko inflasi dari kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat.

Dengan demikian, efektivitas kebijakan moneter BI sangat bergantung pada respon sektor perbankan untuk menyesuaikan bunga kredit mereka. Jika perbankan tetap bertahan pada tingkat bunga tinggi, maka transmisi pelonggaran kebijakan moneter tidak akan optimal.

BI Harus Kuatkan Strategi Komunikasi

Beberapa ekonom menyarankan agar BI memperkuat komunikasi kebijakan dengan pelaku industri perbankan. Pendekatan dialog dan koordinasi antara regulator dan industri keuangan menjadi kunci agar arah kebijakan moneter berjalan seiring dengan kebijakan bisnis perbankan.

Selain itu, pemerintah juga dapat mengambil peran lebih aktif melalui insentif fiskal atau jaminan kredit untuk mendukung perbankan menurunkan bunga kredit, khususnya untuk sektor-sektor prioritas seperti UMKM dan industri strategis nasional.

Seluruh langkah tersebut diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit menjadi lebih agresif dan produktif, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index