Jakarta - Harga minyak mentah dunia kembali terjun bebas pada awal pekan ini, Senin, 7 April 2025, menyusul memanasnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta keputusan strategis Arab Saudi yang memangkas harga jual minyaknya secara agresif ke pasar global.
Berdasarkan data perdagangan Bloomberg hingga pukul 06.30 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) tercatat anjlok sebesar 2,21 poin atau 3,57% menjadi US$59,78 per barel, menembus level psikologis US$60 untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Sementara itu, minyak Brent juga mengalami koreksi tajam sebesar 2,21 poin atau 3,37% dan kini berada di level US$63,37 per barel, Senin, 7 April 2025.
Penurunan harga Brent tersebut memperpanjang tren korektif yang telah terjadi sejak pekan lalu, di mana harga komoditas energi ini telah merosot hingga 11%.
Diskon Agresif dari Arab Saudi
Salah satu faktor utama yang mendorong anjloknya harga minyak adalah keputusan Arab Saudi melalui Saudi Aramco yang mengumumkan pemangkasan harga jual minyak jenis Arab Light kepada konsumen utama di Asia sebesar US$2,2 per barel untuk pengiriman Mei 2025.
Langkah ini juga diikuti oleh penyesuaian harga ke wilayah lain, meski tidak sebesar potongan yang diberikan ke Asia. Pembeli dari Amerika Serikat dan Eropa tetap menerima diskon harga, namun dengan nominal yang lebih kecil.
“Harga minyak yang anjlok dibebani oleh kejutan aliansi OPEC+ untuk meningkatkan produksi lebih dari ekspektasi. Kombinasi dari risiko terhadap permintaan minyak dan tambahan produksi telah memantik kekhawatiran tentang potensi surplus minyak global,” tulis Bloomberg dalam laporan terbarunya.
Kebijakan diskon harga dari Arab Saudi datang hanya beberapa hari setelah Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) mengumumkan peningkatan produksi yang tidak diduga sebelumnya, memberikan tekanan ganda terhadap harga.
Perang Dagang AS-China Kian Memanas
Ketidakpastian global juga meningkat seiring dengan pernyataan China yang mengumumkan tarif balasan terhadap barang-barang impor dari Amerika Serikat, sebagai respons terhadap kebijakan tarif baru dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
China, sebagai negara konsumen minyak terbesar di dunia, memainkan peran penting dalam stabilitas harga minyak global. Ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya permintaan energi global.
Meski demikian, pejabat pemerintahan Trump berusaha menenangkan pasar. Mereka menepis kekhawatiran terkait potensi resesi atau lonjakan inflasi akibat kebijakan tarif impor terhadap mitra dagang utama AS.
Namun pasar global tampaknya tidak yakin. Saham-saham di bursa utama, termasuk pasar komoditas industri dan pertanian, ikut terseret ke zona merah. Investor mulai menghindari aset-aset berisiko dan mengalihkan dana ke aset yang dianggap lebih aman.
Desakan Trump Terhadap OPEC+
Presiden Donald Trump sendiri diketahui pernah secara terbuka menekan OPEC+ untuk memangkas harga minyak guna menekan inflasi dalam negeri sekaligus memberikan tekanan ekonomi terhadap Rusia, yang sedang terlibat konflik militer dengan Ukraina.
Menurut Bloomberg, Trump percaya bahwa harga minyak yang lebih rendah akan membantu menstabilkan ekonomi AS dan mempercepat penyelesaian konflik global.
Langkah OPEC+ untuk justru menaikkan produksi di tengah tekanan tersebut menimbulkan spekulasi bahwa negara-negara penghasil minyak utama tengah berupaya mempertahankan pangsa pasar mereka di tengah persaingan geopolitik dan melemahnya permintaan.
Potensi Surplus dan Arah Harga Minyak
Kekhawatiran pasar kini tertuju pada potensi surplus minyak global di kuartal kedua 2025. Jika permintaan dari negara-negara besar seperti China dan India tidak segera pulih, sementara produksi terus meningkat, harga minyak bisa terus meluncur ke level yang lebih rendah lagi.
Para analis memperkirakan bahwa titik kritis berikutnya berada di kisaran US$55 per barel untuk WTI. Jika harga menembus level ini, bukan tidak mungkin koreksi lanjutan akan membawa harga ke level terendah tahunan.
Sejumlah investor kini menanti arah kebijakan OPEC+ berikutnya, serta perkembangan hubungan dagang antara AS dan China yang sangat menentukan arah pasar dalam beberapa bulan mendatang.