JAKARTA - Bank Indonesia (BI) bergerak cepat merespons tekanan hebat terhadap nilai tukar Rupiah yang dipicu oleh meningkatnya ketegangan perdagangan global. Rupiah mengalami tekanan signifikan menyusul keputusan Amerika Serikat (AS) yang menetapkan tarif impor baru bagi produk-produk asal Indonesia, dengan beban tarif mencapai 32 persen. Keputusan ini langsung mengguncang pasar keuangan domestik dan memaksa BI melakukan langkah strategis demi menjaga stabilitas moneter nasional.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar hari ini, Senin 7 April 2025, Bank Indonesia memutuskan untuk melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing (valas). Langkah ini mencakup intervensi ganda, baik di pasar valas luar negeri maupun di pasar domestik, guna meredam volatilitas yang semakin tinggi akibat gejolak eksternal.
"Langkah ini diambil sebagai respons atas meningkatnya tekanan global setelah Amerika Serikat dan Tiongkok terlibat dalam kebijakan tarif balasan. Ketegangan perdagangan tersebut telah memicu kepanikan di pasar keuangan global, mendorong keluarnya arus modal dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," ungkap Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, Senin 7 April 2025.
Intervensi Pasar Valas untuk Stabilkan Rupiah
Ramdan menjelaskan bahwa Bank Indonesia memantau secara ketat dinamika pasar uang dan valas sejak pekan lalu, terutama setelah pengumuman kebijakan tarif oleh Amerika Serikat. Tekanan terhadap mata uang Rupiah memang terbilang luar biasa, mengingat Indonesia termasuk dalam daftar negara yang terkena kebijakan proteksionis AS, yang kemudian memicu kepanikan investor dan pelaku pasar.
"BI melakukan intervensi di pasar valas domestik dengan menjual cadangan devisa guna memastikan tersedianya likuiditas di pasar dan menstabilkan nilai tukar Rupiah," ujar Ramdan Denny Prakoso.
Selain itu, BI juga melakukan intervensi di pasar valas luar negeri, sebagai bagian dari strategi bauran kebijakan yang komprehensif untuk menenangkan pelaku pasar dan meredam kepanikan yang berkembang akibat tensi geopolitik dan ketidakpastian global.
Langkah ini dipandang sebagai salah satu upaya proaktif Bank Indonesia untuk menjaga daya saing ekspor nasional, serta mencegah depresiasi Rupiah yang lebih dalam, yang dapat berimbas pada inflasi impor dan membebani perekonomian domestik.
Dampak Tarif Impor AS pada Produk Indonesia
Keputusan Amerika Serikat memberlakukan tarif hingga 32 persen pada produk Indonesia menjadi pemicu utama tekanan terhadap Rupiah. Tarif ini mencakup berbagai sektor, termasuk produk manufaktur, tekstil, serta beberapa komoditas utama Indonesia. Penerapan kebijakan proteksionis oleh AS dipandang sebagai bagian dari strategi mereka dalam merespons persaingan dagang dengan Tiongkok, namun negara berkembang seperti Indonesia ikut terkena imbasnya.
Menurut analis pasar, kebijakan ini meningkatkan kekhawatiran akan potensi menurunnya ekspor Indonesia ke pasar Amerika, yang selama ini menjadi salah satu mitra dagang utama. Penurunan ekspor secara langsung akan mengurangi surplus neraca perdagangan, yang pada gilirannya memberi tekanan tambahan pada nilai tukar Rupiah.
"Kondisi ini tentunya memicu kekhawatiran di pasar keuangan. Apalagi, investor global cenderung menarik dananya dari negara-negara berkembang dan memindahkannya ke aset-aset yang dianggap lebih aman," jelas Ramdan.
Strategi Komprehensif BI Hadapi Gejolak Global
Tidak hanya melakukan intervensi di pasar valas, BI juga menyiapkan sejumlah langkah lanjutan untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Salah satu fokus utama adalah memastikan bahwa likuiditas di perbankan tetap terjaga, sehingga sektor riil tidak terganggu oleh volatilitas nilai tukar.
Ramdan menegaskan bahwa BI siap menggunakan seluruh instrumen kebijakan moneter, baik yang konvensional maupun yang bersifat tidak konvensional, untuk memitigasi dampak dari tekanan eksternal. Termasuk di antaranya operasi pasar terbuka, penguatan koordinasi dengan pemerintah, serta langkah-langkah stabilisasi lainnya.
"Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional secara keseluruhan," tegas Ramdan.
Ia juga menambahkan bahwa komunikasi yang efektif kepada pelaku pasar dan masyarakat menjadi bagian penting dari strategi BI agar ekspektasi inflasi dan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga di tengah ketidakpastian global.
Optimisme Terjaga, Fundamental Ekonomi Kuat
Meski tekanan terhadap Rupiah meningkat, Bank Indonesia tetap optimistis bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat untuk menghadapi guncangan eksternal ini. Inflasi nasional berada dalam rentang target, cadangan devisa dalam posisi yang cukup untuk membiayai kebutuhan impor dan stabilisasi pasar keuangan, serta defisit transaksi berjalan yang tetap terkendali.
"Fundamental perekonomian kita cukup solid. Cadangan devisa yang memadai, serta inflasi yang terjaga memberikan ruang bagi BI untuk melakukan langkah-langkah stabilisasi tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan," papar Ramdan.
Analis juga melihat bahwa langkah cepat BI untuk melakukan intervensi akan memberikan sinyal positif kepada pelaku pasar bahwa otoritas moneter siap menjaga stabilitas Rupiah dan meredam kepanikan yang terjadi.
Harapan ke Depan: Redakan Ketegangan Perdagangan Global
Sejalan dengan upaya stabilisasi yang dilakukan Bank Indonesia, harapan besar tertuju pada meredanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Jika konflik tarif ini dapat diredakan melalui jalur diplomasi, pasar keuangan global diyakini akan kembali tenang, dan tekanan terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan berkurang.
Bank Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus memantau perkembangan global dan siap mengambil kebijakan tambahan jika diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan perekonomian nasional.
"Kami akan terus berada di pasar untuk memastikan stabilitas dan ketertiban pasar keuangan nasional. Respons cepat dan tegas akan selalu kami tempuh demi menjaga kepentingan ekonomi Indonesia," tutup Ramdan.