JAKARTA - Harga minyak mentah global mengalami kejatuhan tajam pada Jumat (4/4/2025), mencatat penurunan terbesar dalam lebih dari tiga tahun terakhir. Kejatuhan ini terjadi setelah China secara resmi mengumumkan paket tarif balasan terhadap barang-barang asal Amerika Serikat, sebagai respons atas langkah sebelumnya yang dilakukan Washington. Situasi ini semakin memanaskan tensi perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut, sekaligus memicu kekhawatiran mendalam di kalangan investor global terkait potensi resesi ekonomi yang lebih luas.
Mengutip laporan Reuters, Sabtu 5 April 2025, harga minyak mentah Brent merosot drastis sebesar US$4,56 atau setara 6,5%, sehingga diperdagangkan pada level US$65,58 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengalami penurunan lebih tajam lagi, yakni sebesar US$4,96 atau 7,4%, dan berakhir di level US$61,99 per barel.
Sepanjang sesi perdagangan, tekanan jual yang sangat besar sempat mendorong harga Brent menyentuh titik terendah di level US$64,03 per barel. Adapun WTI bahkan tergelincir lebih dalam ke level US$60,45 per barel — level terendah dalam hampir empat tahun terakhir.
Kejatuhan Harga Minyak Paling Tajam Sejak 2021
Pelemahan ini sekaligus menandai performa mingguan terburuk bagi kedua tolok ukur harga minyak dunia. Sepanjang pekan ini, Brent mencatat penurunan total sebesar 10,9%, sedangkan WTI jatuh hingga 10,6%.
"Kondisi ini benar-benar mencerminkan betapa rentannya pasar minyak saat ini terhadap ketegangan geopolitik dan ancaman perlambatan ekonomi global," ujar John Kilduff, partner di Again Capital Management di New York, dikutip Reuters.
Menurut Kilduff, para pelaku pasar semakin khawatir bahwa ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China akan berdampak serius pada permintaan energi global, yang selama ini menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan harga minyak. “China adalah salah satu konsumen energi terbesar di dunia. Jika terjadi perlambatan ekonomi di sana, permintaan minyak tentu akan terpukul,” tegasnya.
China Balas Tarif, Sentimen Pasar Tertekan
Sebagai latar belakang, Pemerintah China pada Jumat (4/4) mengumumkan akan memberlakukan tarif tambahan terhadap produk-produk impor dari Amerika Serikat senilai miliaran dolar. Langkah ini adalah balasan atas keputusan Washington yang lebih dulu menaikkan tarif impor terhadap produk asal China, yang diumumkan awal pekan ini.
Ketegangan ini menciptakan kekhawatiran besar akan terhambatnya pertumbuhan ekonomi global, yang berdampak langsung pada prospek permintaan energi.
Analis energi dari Price Futures Group, Phil Flynn, menilai bahwa keputusan China tersebut menjadi salah satu pendorong utama jatuhnya harga minyak pada pekan ini. "Kebijakan tarif balasan dari China ini benar-benar memukul harapan pasar akan adanya pemulihan permintaan minyak dalam waktu dekat," kata Flynn.
Menurut Flynn, sentimen pasar saat ini sangat rapuh. Investor semakin pesimistis setelah serangkaian data ekonomi dari China menunjukkan perlambatan manufaktur dan penurunan ekspor. Kondisi ini diperparah dengan eskalasi perang dagang yang seakan tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Kekhawatiran Resesi Menguat
Selain itu, kekhawatiran terhadap potensi resesi global turut membayangi pergerakan pasar minyak. Para investor khawatir, jika perang dagang terus memanas, maka akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global secara signifikan, sehingga permintaan energi pun ikut melemah.
"Ada ketakutan nyata bahwa resesi bisa terjadi lebih cepat dari perkiraan sebelumnya," ujar Edward Moya, analis pasar senior di OANDA. Ia menjelaskan, permintaan energi sangat sensitif terhadap fluktuasi ekonomi global, terutama dari sektor industri dan transportasi.
“Kombinasi dari kebijakan proteksionisme yang semakin intensif dan data ekonomi yang melemah jelas memberikan tekanan besar pada pasar energi. Tidak mengherankan jika harga minyak mengalami koreksi tajam seperti ini,” tambah Moya.
Pasar Energi Perlu Waspada
Lebih jauh, kondisi ini juga menambah tantangan bagi Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya yang selama ini berupaya keras menstabilkan pasar lewat kebijakan pemangkasan produksi. Namun, jika permintaan global terus melemah akibat ketegangan geopolitik dan perlambatan ekonomi, upaya tersebut mungkin tidak akan cukup untuk menahan tekanan jual di pasar.
"Situasi ini harus menjadi alarm bagi OPEC dan mitra produsen lainnya. Mereka mungkin perlu mempertimbangkan kembali kebijakan produksi mereka untuk menyeimbangkan pasar," ujar Amrita Sen, kepala analis minyak di Energy Aspects.
Sen juga menambahkan bahwa volatilitas harga minyak kemungkinan besar akan tetap tinggi dalam beberapa pekan ke depan, seiring pelaku pasar terus memantau perkembangan perang dagang dan data ekonomi global.
Anjloknya harga minyak global ini menjadi cerminan nyata betapa sensitifnya pasar energi terhadap dinamika geopolitik dan ekonomi global. Ketegangan perdagangan antara AS dan China yang kembali memanas telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang masa depan permintaan energi dunia. Jika ketegangan ini berlanjut tanpa adanya solusi diplomatik yang memadai, bukan tidak mungkin harga minyak akan terus tertekan dalam waktu yang lebih lama.
Investor dan pelaku pasar kini menanti langkah lanjutan dari kedua negara adidaya tersebut, sembari mencermati kebijakan yang akan diambil oleh OPEC dan negara produsen minyak lainnya dalam merespons situasi pasar yang semakin tidak menentu ini.
Sebagaimana disampaikan John Kilduff, "Pasar membutuhkan kejelasan dan stabilitas. Tanpa itu, kita akan terus melihat volatilitas tinggi dan tekanan berkelanjutan pada harga minyak.