Pengelolaan Pertambangan di Aceh Dinilai Belum Berpihak ke Rakyat, Pengamat Dorong Pemerintah Maksimalkan Kewenangan Khusus

Minggu, 06 April 2025 | 10:38:24 WIB

JAKARTA - Pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara di Provinsi Aceh kembali menjadi sorotan. Meski memiliki kekhususan yang diatur dalam perundang-undangan nasional, implementasi pengelolaan tambang di Bumi Serambi Mekkah dinilai belum optimal dan kurang berpihak kepada kepentingan rakyat.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Aceh Selatan, Delky Nofrizal Qutni, dalam pernyataannya pada Jumat, 4 April 2025. Ia menyoroti bagaimana kekhususan Aceh yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah Bersifat Nasional di Aceh, seharusnya dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi rakyat untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya sektor pertambangan.

Menurut Delky, Aceh sebenarnya memiliki dasar hukum yang sangat kuat untuk mengatur secara konkret mekanisme perizinan pertambangan rakyat (IPR), yang memungkinkan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan mineral dan batu bara. Namun, hingga saat ini, kebijakan tersebut belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik.

“Untuk pengelolaan bahan tambang mineral dan batubara yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 itu sudah lebih dulu diatur secara khusus dalam Pasal 156 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang berbunyi bahwa sumber daya alam, yang meliputi bidang pertambangan, yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan,” jelas Delky Nofrizal Qutni.

Aceh Miliki Kewenangan Khusus, Namun Belum Maksimal

Sebagai daerah dengan status otonomi khusus, Aceh memiliki keistimewaan dalam pengelolaan berbagai sektor, termasuk pertambangan. Sayangnya, menurut Delky, pemerintah provinsi Aceh belum mampu memaksimalkan kewenangan tersebut. Salah satu contohnya adalah melalui implementasi Qanun Nomor 15 Tahun 2017 yang merupakan perubahan atas Qanun Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Delky menilai, hingga saat ini, Qanun tersebut belum benar-benar diterapkan secara optimal untuk memberi ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat Aceh dalam pengelolaan tambang. Padahal, keterlibatan masyarakat, khususnya penambang rakyat, sangat penting untuk menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

“Namun Pemerintah Aceh melalui Qanun Nomor 15 Tahun 2017 junto Qanun 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan dan Batu Bara belum dapat memaksimalkan kewenangan khusus yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh tersebut,” tegas Delky.

Pentingnya Prinsip Transparansi dan Pembangunan Berkelanjutan

Delky juga mengingatkan bahwa dalam pengelolaan sumber daya alam, prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan harus menjadi fondasi utama. Ia menyoroti bahwa kedua prinsip ini sudah diamanatkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, namun pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari harapan.

Ia menambahkan, tanpa transparansi, masyarakat Aceh sulit mengetahui secara pasti bagaimana hasil pengelolaan sumber daya alam mereka digunakan untuk kepentingan bersama. Hal ini memicu ketidakpercayaan publik terhadap pengelolaan tambang yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.

“Kami berharap Pemerintah Aceh tidak hanya fokus pada investor besar, tetapi juga memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk berkontribusi dan mendapatkan manfaat dari kekayaan alam di daerahnya sendiri,” kata Delky.

Masyarakat Lokal Perlu Dilibatkan

Dalam pandangan APRI, pengelolaan pertambangan rakyat (IPR) bisa menjadi solusi strategis untuk memberdayakan masyarakat lokal sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan IPR, penambang tradisional yang selama ini bekerja di sektor informal dapat dilegalkan, sehingga aktivitas pertambangan mereka memiliki payung hukum yang jelas.

Selain itu, IPR juga dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara lebih merata. Delky menyatakan, jika dikelola dengan baik, pertambangan rakyat dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengurangi ketergantungan pada pertambangan skala besar yang sering kali hanya memberikan manfaat terbatas bagi masyarakat sekitar.

“Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan tambang bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang kedaulatan rakyat atas sumber daya alamnya,” tegasnya lagi.

Harapan Perbaikan Regulasi dan Implementasi

Melihat kondisi saat ini, Delky berharap Pemerintah Aceh segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi kebijakan pertambangan di daerah tersebut. Ia mendorong adanya revisi atau penyempurnaan terhadap regulasi yang ada agar lebih berpihak pada kepentingan rakyat, terutama terkait pemberian izin pertambangan rakyat (IPR).

Selain itu, ia juga menekankan perlunya penguatan lembaga pengawasan dan penegakan hukum untuk memastikan kegiatan pertambangan di Aceh berjalan sesuai ketentuan. Menurutnya, pengawasan yang ketat akan mencegah terjadinya penyalahgunaan izin dan eksploitasi berlebihan yang merusak lingkungan.

“Kami ingin Pemerintah Aceh benar-benar serius mengelola kekayaan alam yang dimiliki daerah ini. Jangan sampai potensi besar yang kita miliki justru lebih banyak dinikmati oleh pihak luar, sementara rakyat Aceh sendiri hanya menjadi penonton di rumahnya sendiri,” pungkas Delky.

Langkah Strategis ke Depan

Sebagai tindak lanjut, APRI Aceh Selatan berencana mengadakan dialog publik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah, penambang rakyat, akademisi, hingga aktivis lingkungan. Forum ini diharapkan menjadi wadah untuk merumuskan kebijakan pertambangan yang lebih inklusif dan berkelanjutan di Aceh.

Dengan penguatan regulasi dan implementasi yang berpihak pada rakyat, Aceh diharapkan bisa menjadi contoh pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan bagi daerah-daerah lain di Indonesia.

“Jika kekhususan Aceh ini dimanfaatkan secara optimal, bukan tidak mungkin Aceh akan menjadi pionir dalam pengelolaan tambang rakyat yang modern, legal, dan ramah lingkungan,” ujar Delky optimis.

Terkini