Masyarakat Adat Raja Ampat Tolak Kehadiran Tambang Nikel, Lindungi Wilayah Adat dan Hutan Lindung

Jumat, 04 April 2025 | 10:42:56 WIB

JAKARTA - Masyarakat adat Suku Betew dan Maya yang tersebar di 12 kampung di Distrik Waigeo Barat Kepulauan dan Distrik Waigeo Barat Daratan, Kabupaten Raja Ampat, dengan tegas menolak keberadaan aktivitas pertambangan nikel di wilayah mereka. Penolakan ini disampaikan melalui petisi resmi yang diajukan kepada anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat pada 24 Maret 2025.

Dalam petisi tersebut, masyarakat adat menyatakan bahwa izin konsesi tambang yang diberikan kepada PT Mulia Raymon Perkasa (MRP) di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun mencakup area seluas 2.193 hektare. Mereka menegaskan bahwa wilayah ini bukan hanya tanah adat mereka, tetapi juga kawasan hutan lindung yang memiliki nilai ekologis tinggi.

Menurut perwakilan masyarakat adat, keberadaan tambang di wilayah tersebut akan membawa dampak negatif yang besar terhadap lingkungan dan kehidupan mereka. “Kami hidup dari hasil hutan dan laut. Jika tambang ini beroperasi, mata pencaharian kami akan hilang, dan lingkungan akan rusak,” ujar seorang pemimpin adat yang turut menandatangani petisi.

Selain itu, masyarakat menyoroti bahwa kawasan hutan di sekitar Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun merupakan habitat berbagai flora dan fauna endemik yang terancam punah. Keberadaan tambang nikel dikhawatirkan akan merusak ekosistem yang selama ini menjadi bagian dari keseimbangan alam di Raja Ampat.

Sementara itu, seorang tokoh adat lainnya menambahkan bahwa penolakan ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga mengenai hak ulayat masyarakat adat yang harus dihormati. “Kami tidak pernah memberikan izin atau persetujuan atas masuknya perusahaan tambang ke wilayah adat kami. Ini adalah tanah leluhur kami, dan kami akan mempertahankannya,” tegasnya.

Di sisi lain, DPRD Kabupaten Raja Ampat menyatakan akan meninjau kembali izin yang diberikan kepada PT MRP. Salah satu anggota dewan menyebut bahwa pihaknya akan melakukan dialog lebih lanjut dengan masyarakat adat dan pihak perusahaan sebelum mengambil keputusan akhir.

Menanggapi polemik ini, PT MRP dalam pernyataannya mengklaim bahwa mereka telah mendapatkan izin resmi sesuai prosedur yang berlaku. Namun, masyarakat adat tetap bersikeras bahwa izin tersebut tidak melibatkan mereka dalam proses konsultasi yang seharusnya dilakukan berdasarkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).

Organisasi lingkungan dan akademisi juga turut memberikan dukungan kepada masyarakat adat dalam menolak aktivitas pertambangan di kawasan tersebut. Sejumlah pakar lingkungan menyoroti potensi kerusakan ekosistem yang dapat terjadi jika kegiatan tambang berlanjut. “Raja Ampat adalah salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kerusakan lingkungan akibat tambang bisa berdampak jangka panjang dan sulit dipulihkan,” ujar seorang peneliti lingkungan dari universitas setempat.

Masyarakat adat Raja Ampat berharap bahwa pemerintah pusat dan daerah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan terkait eksploitasi sumber daya alam di wilayah adat. Mereka juga mendesak agar kawasan ini ditetapkan sebagai area konservasi yang dilindungi dari aktivitas industri yang dapat merusak lingkungan.

Dengan semakin kuatnya gerakan penolakan dari masyarakat adat, masa depan pertambangan di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun kini berada di tangan pihak berwenang. Masyarakat setempat berharap keputusan yang diambil akan berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan hak-hak adat mereka.

Terkini