Perbedaan PPN dan PPh sering kali menjadi hal yang membingungkan bagi banyak orang dalam aktivitas ekonomi sehari-hari.
Dalam berbagai transaksi, baik konsumen maupun pedagang sering kali tidak menyadari jenis pajak yang diterapkan.
Di Indonesia, dua jenis pajak yang paling umum ditemui dalam transaksi ekonomi adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Dengan memahami perbedaan PPN dan PPh, kamu dapat lebih bijak dalam menghadapi kewajiban pajak di berbagai transaksi. Untuk memahami keduanya lebih mendalam, mari kita bahas bersama!
Apa Itu Pajak Pertambahan Nilai atau PPN?
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan saat terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Dengan kata lain, pajak ini ditambahkan setiap kali terjadi transaksi.
Dalam praktiknya, penjual yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib membuat faktur pajak elektronik sebagai bukti pemungutan PPN, yang kemudian harus dilaporkan setiap bulan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.
Pembayaran PPN sebenarnya menjadi tanggung jawab pembeli sebagai konsumen akhir. Namun, kewajiban untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak tersebut berada di tangan penjual atau pedagang.
Sejak 1 Juli 2016, aturan ini ditegaskan dengan kewajiban bagi seluruh PKP di Indonesia untuk menggunakan faktur pajak elektronik. Langkah ini bertujuan untuk mencegah penerbitan faktur pajak palsu dalam transaksi ekonomi.
Apa Itu Pajak Penghasilan atau PPh?
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan atas setiap tambahan nilai ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak (WP), baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dapat meningkatkan kekayaan WP tersebut.
PPh ini dapat dibebankan kepada individu maupun badan usaha yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), seperti Perseroan Terbatas, perusahaan Firma, Perseroan Komanditer, dan entitas lainnya.
Selain itu, PPh juga dikenakan pada individu untuk penghasilan yang meliputi upah, gaji, tunjangan, honorarium, serta pembayaran lain yang berkaitan dengan jasa atau kegiatan tertentu.
Ketentuan terkait PPh ini telah diatur dalam undang-undang perpajakan, khususnya untuk pajak penghasilan perorangan yang dijelaskan dalam Pasal 21.
Perbedaan PPN dan PPh
Meskipun keduanya berkaitan dengan kewajiban perpajakan dan transaksi ekonomi, terdapat beberapa perbedaan PPN dan PPh yang dapat dilihat dari objek pajak, tarif, serta perlakuan perpajakannya.
Berikut adalah beberapa perbedaan utama yang membedakan kedua jenis pajak ini:
- PPN dikenakan pada setiap tahap produksi atau distribusi, sementara PPh dikenakan pada penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak.
- PPN dibebankan kepada konsumen akhir, sedangkan PPh dikenakan kepada individu atau badan usaha yang memperoleh penghasilan.
- PPN terdiri dari pajak masukan dan pajak keluaran, sedangkan PPh memiliki beberapa jenis, seperti PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 25, dan PPh 29.
- Tarif PPN adalah 10%, sementara tarif PPh bervariasi tergantung jenis PPh yang dikenakan.
Cara Menghitung PPN
Berdasarkan penjelasan mengenai PPN di atas, untuk menentukan besaran tarif pajak yang harus dibayar, perhitungan dilakukan berdasarkan nilai transaksi barang atau jasa yang menjadi objek pajaknya.
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN secara bertahap.
Tarif PPN pada April 2022 ditetapkan sebesar 11%, dan akan meningkat menjadi 12% pada tahun 2025.
Sebelum melakukan perhitungan tarif PPN, penting untuk memahami bahwa perhitungan tersebut didasarkan pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lainnya yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak yang harus dibayar.
Secara teknis, berikut adalah langkah-langkah penghitungan pajak:
- PKP Penjual memungut atau memotong PPN dari hasil penjualan barang atau jasa dalam transaksi tersebut.
- PKP Penjual kemudian menerbitkan Faktur Pajak Keluaran sebagai bukti pemungutan PPN atas barang atau jasa yang dibeli dan diserahkan kepada PKP Pembeli.
- PPN yang dipungut oleh PKP Penjual namun belum disetorkan kepada pemerintah disebut sebagai PPN Terutang.
- Besaran PPN dapat dihitung dengan mengalikan tarif PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak, yang meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lainnya yang relevan.
Rumus untuk menghitung PPN Terutang adalah sebagai berikut:
1. Besaran PPN = Tarif PPN x DPP
Berikut adalah beberapa contoh skema penghitungan PPN untuk PKP tertentu, penyerahan kendaraan bermotor bekas, dan penyerahan emas perhiasan atau jasa terkait emas perhiasan.
PKP tertentu dapat mengkreditkan PPN Masukan dengan penghitungan Pajak Masukan sebagai berikut:
- 60% Pajak Masukan berasal dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
- 70% Pajak Keluaran berasal dari Pajak Masukan untuk penyerahan Barang Kena Pajak, dengan mengalikan tarif PPN 11% dengan DPP.
2. Cara Menghitung PPN Terutang
Untuk menghitung PPN terutang, pertama-tama kurangi Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Dengan demikian, PPN terutang yang disetor setiap masa pajak oleh PKP tertentu adalah 4% dari DPP untuk transaksi penyerahan JKP, dan juga 4% dari DPP untuk penyerahan PKP.
3. Cara Menghitung PPN untuk PKP Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas
Untuk PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas, PPN yang terutang adalah 1% dari DPP berupa peredaran usaha.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung dengan pedoman penghitungan pengkreditan PPN Masukan, yaitu sebesar 90% dari Pajak Keluaran. Ketentuan ini berlaku bagi PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran.
4. Cara Menghitung PPN Terkait Emas Perhiasan
Untuk barang atau jasa terkait emas perhiasan, tarif PPN yang dibebankan adalah 11% dikalikan dengan DPP sebesar 20% dari harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian.
DPP harga jual perhiasan ini dihitung dengan mengurangi harga jual emas perhiasan dengan harga emas batangan 24 karat yang terkandung di dalamnya, sebagai pengganti bahan baku pembuatan emas perhiasan.
Cara Menghitung PPh
Sebelum membahas besaran objek pajak penghasilan yang dikenakan pada setiap individu, penting untuk memahami bahwa penghasilan tidak hanya terbatas pada gaji atau upah pokok yang diterima setiap bulan.
Penghasilan juga mencakup tunjangan dan pendapatan rutin lainnya yang bisa terakumulasi selama setahun, yang disebut dengan penghasilan kotor. Namun, Pajak Penghasilan dikenakan pada penghasilan bersih yang diterima dalam setahun.
Oleh karena itu, untuk menentukan besaran penghasilan bersih, kamu perlu menghitungnya dengan mengurangi penghasilan kotor dengan biaya yang terkait untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pensiun, utang, dan kredit bank.
1. Cara Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Setelah mengetahui penghasilan bersih selama setahun, langkah selanjutnya adalah menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yang digunakan untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak (PKP).
Setelah mengetahui jumlah PTKP, wajib pajak yang penghasilannya mencapai atau kurang dari PTKP tidak diwajibkan membayar Pajak Penghasilan. Beberapa kriteria tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku meliputi:
- Penghasilan sebesar Rp54.000.000 per tahun untuk wajib pajak orang pribadi.
- Penghasilan tambahan sebesar Rp4.500.000 untuk wajib pajak yang sudah menikah.
- Penghasilan sebesar Rp54.000.000 untuk istri, jika penghasilannya digabungkan dengan penghasilan suami.
- Penghasilan tambahan sebesar Rp4.500.000 untuk setiap anggota keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, dengan jumlah maksimal 3 orang dalam satu keluarga.
2. Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Setelah mengetahui besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), langkah berikutnya adalah menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan cara mengurangi penghasilan bersih tahunan dengan PTKP.
Hasil dari pengurangan ini akan menunjukkan jumlah PKP yang nantinya digunakan untuk menentukan persentase Pajak Penghasilan yang harus dibayar, sesuai dengan ketentuan berikut:
- Jika PKP kurang dari Rp50.000.000, maka tarif pajak yang dikenakan adalah 5%.
- Jika PKP antara Rp50.000.000 hingga Rp250.000.000, maka tarif pajak yang dikenakan adalah 15%.
- Jika PKP antara Rp250.000.000 hingga Rp500.000.000, maka tarif pajak yang dikenakan adalah 25%.
- Jika PKP lebih dari Rp500.000.000, maka tarif pajak yang dikenakan adalah 30%.
Setelah mengetahui besaran PKP, langkah selanjutnya adalah mengalikan nominal PKP dengan tarif pajak yang sesuai untuk memperoleh jumlah Pajak Penghasilan yang harus dibayarkan dalam setahun.
Kesalahan Menghitung Besaran Pajak Penghasilan
Meskipun sudah memahami skema penghitungan Pajak Penghasilan seperti yang dijelaskan sebelumnya, sering kali masih terjadi kesalahan dalam penerapannya.
Beberapa kesalahan umum yang sering terjadi sehingga menghasilkan besaran Pajak Penghasilan yang tidak akurat adalah sebagai berikut:
1. Biaya Jabatan tidak Dihitung
Pada beberapa profesi, seperti karyawan swasta, BUMN, atau PNS, terdapat biaya jabatan yang perlu dimasukkan dalam perhitungan Pajak Penghasilan.
Biaya jabatan ini mencakup biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, yang biasanya sebesar 5% dari pendapatan bruto. Jika biaya jabatan ini tidak dihitung, maka perhitungan Pajak Penghasilan tidak akan tepat.
2. Persentase tidak sesuai dengan Penghasilan Kena Pajak
Meskipun besaran persentase Penghasilan Kena Pajak sudah diatur dalam PPh Pasal 17, seringkali persentase yang diterapkan tidak sesuai dengan PKP yang sebenarnya. Hal ini bisa menyebabkan perhitungan Pajak Penghasilan menjadi tidak akurat.
3. Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak sesuai
Kesalahan lain yang sering terjadi adalah dalam perhitungan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP adalah jumlah penghasilan yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan karena berada di bawah batas yang ditetapkan.
Jika PTKP dihitung dengan salah, seseorang yang seharusnya tidak membayar Pajak Penghasilan bisa saja terhitung sebagai wajib pajak, padahal tidak seharusnya.
Sebagai penutup, dengan memahami perbedaan PPN dan PPh, kamu dapat lebih mudah mengelola kewajiban pajak yang sesuai dengan jenis transaksi atau penghasilan yang kamu terima.