JAKARTA - Pasar saham Indonesia mencatat aktivitas volatil dalam pekan terakhir, sebuah tren yang mengikuti dinamika global saat investor secara hati-hati mengevaluasi laporan laba perusahaan dan mencerminkan ekspektasi pertumbuhan ekonomi masa depan. Pengaruh besar lain yang membayang-bayangi sentimen investor adalah keputusan kritis Bank Indonesia (BI) mengenai suku bunga acuannya yang tetap stag pada level 5,75 persen—suatu langkah yang dimaksudkan untuk menjaga kestabilan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Kebijakan BI dan Respons Pasar
Dalam melindungi posisi nilai tukar mata uang di kisaran stabil Rp16.300, BI memilih untuk tidak menurunkan suku bunga lebih lanjut meskipun ada seruan untuk pemotongan tambahan di tahun 2025. "BI terus mengharapkan lebih banyak pemangkasan suku bunga tahun ini yang didukung oleh kondisi saat ini yang memungkinkan ruang untuk lebih banyak pemotongan yang meliputi inflasi Indonesia yang berada di bawah kisaran target bank sentral 1,5 persen-3,5 persen," jelas laporan tersebut.
Keputusan ini tidak sepenuhnya berarti BI berhenti untuk memberikan dorongan ekonomi. Langkah-langkah lain yang diambil menyiratkan pelonggaran kuantitatif melalui berbagai kebijakan untuk meningkatkan likuiditas pasar, sehingga menciptakan ruang untuk ekspansi moneter tanpa perubahan langsung pada tingkat suku bunga acuan.
Inisiatif dan Dampak Kebijakan BI
BI mengambil langkah untuk merangsang pertumbuhan dengan menambah insentif pada kebijakan likuiditas makroprudensial yang ada. Kebijakan ini dirancang untuk mendorong bank-bank memberikan pinjaman ke sektor-sektor prioritas seperti pertanian, manufaktur, dan konstruksi. Melalui langkah-langkah ini, BI berupaya menurunkan rasio persyaratan cadangan yang harus dipertahankan oleh bank. "Dengan melakukan itu, Bank Indonesia secara efektif akan menurunkan rasio persyaratan cadangan yang harus dipertahankan oleh bank-bank ini, yang berarti bank-bank yang memenuhi persyaratan ini dapat meningkatkan pinjaman dan pada dasarnya akan menambah likuiditas bagi perekonomian," demikian menurut riset Ashmore.
Kebijakan inovatif lainnya yang diharapkan untuk menambah stabilitas adalah penyesuaian kebijakan repatriasi hasil ekspor, dengan peningkatan persyaratan dari 30 persen ke 100 persen dan perpanjangan masa penyimpanan dari tiga bulan menjadi satu tahun efektif pada 1 Maret. "Dampak dari hal ini akan terasa jelas segera setelah kebijakan tersebut berlaku karena mungkin ada potensi peningkatan likuiditas dalam sistem keuangan sekitar USD 80 miliar dan juga akan membantu memperkuat stabilitas Rupiah," tambah Ashmore.
Pasar Obligasi dan Perkiraan ke Depan
Sementara itu, kondisi pasar obligasi juga menjadi fokus. Imbal hasil obligasi di Indonesia, yang mengalami penurunan tajam, kini semakin terpisah dari imbal hasil obligasi AS yang masih tinggi. Ashmore melaporkan bahwa imbal hasil IndoGB 10 tahun telah turun 49,2 basis point menjadi 6,78%, sementara imbal hasil IndoGB 1 tahun turun sebesar 82,4 basis point menjadi 6,35%. Di sisi lain, pada periode yang sama, imbal hasil obligasi Treasury AS 10 tahun turun 30,7 basis point menjadi 4,46% dan UST 1 tahun turun 2,4 basis point menjadi 4,18%.
“Dengan demikian, kami terus memperkirakan imbal hasil di ujung kurva yang lebih panjang akan bergerak turun dan merekomendasikan untuk tetap berinvestasi pada pendapatan tetap dan ekuitas dengan katalis yang masih berlaku tahun ini,” demikian saran dari Ashmore.
Performa IHSG dan Perdagangan Saham
Dalam catatan lain, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa saham Indonesia menunjukkan penguatan signifikan selama periode 17-21 Februari 2025. Dibantu oleh neraca perdagangan Indonesia yang stabil, IHSG melonjak 2,48 persen ke posisi 6.803. Peningkatan ini turut diikuti oleh kapitalisasi pasar bursa yang naik 3,37 persen menjadi Rp11.786 triliun.
Rata-rata volume transaksi harian juga mengalami kenaikan 18,99 persen menjadi 18,38 miliar saham, menunjukkan aktivitas pasar yang lebih dinamis. Namun, nilai transaksi harian sedikit turun 3,74 persen menjadi Rp11,78 triliun.
Kendati demikian, sepanjang tahun 2025, investor asing mencatatkan penjualan bersih saham sebesar Rp11,68 triliun. "IHSG meningkat 2,48 persen yang didorong sejumlah faktor, termasuk laporan laba perusahaan dan kebijakan ekonomi domestik yang proaktif," kata Herditya Wicaksana, analis dari PT MNC Sekuritas.
Kebijakan Bank Indonesia dan dinamikanya di pasar global mencerminkan kompleksitas ekonomi yang menantang, di mana stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan utama. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal yang adaptif dan kebijakan moneter yang strategis menjadi kunci untuk mendukung pasar dan melawan volatilitas. Solusi ekonomi yang menyeluruh dan respons strategis terhadap perubahan global akan menjadi penentu dalam menjaga momentum pertumbuhan Indonesia selama tahun 2025 dan seterusnya.