Panas Bumi, Energi Strategis yang Belum Optimal

Rabu, 06 Agustus 2025 | 14:43:26 WIB
Panas Bumi, Energi Strategis yang Belum Optimal

JAKARTA - Di tengah krisis energi global yang terus menghantui, terutama akibat ketegangan geopolitik seperti ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran, Indonesia dihadapkan pada urgensi untuk mengoptimalkan sumber energi domestik. Salah satu sumber yang menjanjikan namun belum tergarap maksimal adalah energi panas bumi.

Meski kontribusinya terhadap ketahanan energi dan ekonomi nasional sudah berlangsung selama lebih dari empat dekade, pemanfaatan panas bumi masih jauh dari optimal. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan bahwa energi ini memiliki dampak positif yang luas sejak dikomersialkan lewat PLTP Kamojang pada 1983. “Panas bumi bukan hanya menyumbang listrik, tapi juga menjadi sumber penerimaan negara. Sepanjang 2010 hingga 2024, total Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor ini mencapai sekitar Rp 21,43 triliun,” ujar Komaidi dalam catatan ReforMiner yang diterbitkan di Jakarta.

Dari sisi efisiensi pembangkitan listrik, panas bumi termasuk yang paling unggul. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata biaya pembangkitan listriknya hanya sekitar Rp 1.108 per kWh. Angka ini berada di bawah rata-rata biaya pembangkitan nasional yang mencapai Rp 1.563 per kWh. Komaidi menjelaskan bahwa pengalihan penggunaan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) ke PLTP dapat memberikan efisiensi besar terhadap anggaran subsidi energi dan memperbaiki kondisi fiskal negara.

Sebagai perbandingan, biaya pembangkitan PLTD selama periode 2019–2023 mencapai Rp 5.737 per kWh, sementara PLTG sekitar Rp 1.701 per kWh. Di sisi lain, PLTP hanya membutuhkan Rp 749 per kWh. Perbedaan ini berimplikasi besar terhadap penghematan devisa. Dengan kapasitas terpasang PLTD sebesar 3.426 MW dan asumsi harga minyak mentah 70 dollar AS (setara Rp 1,15 juta) per barrel, penggantian PLTD dengan PLTP diperkirakan mampu menghemat devisa impor migas sekitar 6,53 miliar dollar AS atau Rp 107,7 triliun per tahun. Sementara pengalihan dari PLTG ke PLTP juga berpotensi menekan biaya bahan bakar sebesar 1,04 miliar dollar AS atau sekitar Rp 17,1 triliun per tahun, dengan asumsi harga gas 8 dollar AS per MMBTU dan kapasitas PLTG sebesar 2.798,65 MW.

Manfaat panas bumi juga terasa di daerah penghasil. Sepanjang 2019–2024, total dana bagi hasil (DBH) panas bumi yang disalurkan mencapai Rp 10,82 triliun. Dana ini tersebar di berbagai wilayah kerja utama seperti Tapanuli Utara dan Toba (PLTP Sarulla), Garut (PLTP Darajat dan Kamojang), Bandung dan Bandung Barat (PLTP Wayang Windu dan Patuha), Bogor (PLTP Salak), serta Tanggamus (PLTP Ulubelu).

Industri ini pun memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Berdasarkan analisis input-output yang dilakukan ReforMiner, nilai indeks multiplier effect panas bumi mencapai 5,8745. Dengan demikian, setiap investasi Rp 1 triliun di sektor ini mampu menciptakan nilai tambah sebesar Rp 5,87 triliun dalam perekonomian nasional.

Namun, terlepas dari segala potensi dan manfaat tersebut, pengembangan panas bumi berjalan lambat. Dalam 42 tahun sejak PLTP Kamojang pertama kali beroperasi, kapasitas terpasangnya baru mencapai 2.638 MW, atau hanya bertambah rata-rata 62,82 MW per tahun. Peningkatan baru terlihat dalam satu dekade terakhir, dengan kapasitas naik dari 1.347 MW pada 2015 menjadi 2.638 MW di 2024, atau rata-rata 129 MW per tahun.

Untuk periode 2025–2034, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) menargetkan tambahan kapasitas sebesar 5.157 MW, yang berarti peningkatan sekitar 515 MW per tahun. Meski target ini cukup ambisius, realisasinya sangat bergantung pada arah kebijakan dan insentif yang diberikan pemerintah.

Menurut Komaidi, hambatan utama terletak pada struktur biaya investasi. Sekitar 70 persen dari total biaya produksi panas bumi berada pada tahap awal investasi. Sisanya terbagi untuk biaya operasi dan perawatan (15 persen) serta pajak (15 persen). Struktur ini berbeda dengan pembangkit berbasis energi fosil yang mayoritas biayanya berasal dari pembelian energi primer.

“Karena itu pada tahap awal, biaya panas bumi terkesan mahal. Padahal dalam jangka panjang justru lebih murah dan efisien,” ujar Komaidi. Biaya tinggi di awal inilah yang membuat banyak investor enggan masuk ke sektor ini tanpa adanya jaminan fiskal atau insentif dari pemerintah.

Keunggulan panas bumi dalam kategori Energi Baru dan Terbarukan (EBET) sebenarnya sangat kuat. Berbeda dengan energi surya atau angin yang bergantung pada kondisi cuaca, panas bumi mampu menghasilkan listrik secara stabil. Selain itu, energi ini tidak memerlukan lahan yang luas, tidak terdampak fluktuasi harga energi primer, biaya operasinya murah, dan tidak dapat diekspor—sehingga menjamin ketersediaan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri.

“Semua ini menunjukkan perlunya kebijakan yang mendorong pengembangan panas bumi lebih agresif, agar perannya terhadap perekonomian nasional dan ketahanan energi makin optimal,” pungkas Komaidi.

Terkini