JAKARTA - Kinerja kuartal II 2025 PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) dipandang mengalami penurunan signifikan karena permintaan global atas batu bara melemah. Penurunan laba bersih diperkirakan mencapai sekitar 21 persen dibandingkan periode sebelumnya seiring merosotnya harga jual komoditas ini.
Meskipun pemerintah menerapkan kebijakan insentif berupa pengurangan tarif royalti hingga 4 persen bagi pemegang IUPK melalui PP No. 18 Tahun 2025, tekanan dari kondisi pasar tetap menekan profitabilitas perusahaan. Di sisi operasional, rasio stripping ratio (SR) diperkirakan meningkat ke level 3,8× pada kuartal II 2025, naik 19 persen dari kuartal pertama, meski masih di bawah target tahunan 4,3× akibat tingginya curah hujan selama April–Mei.
Volume penjualan juga belum menunjukkan perbaikan karena musim hujan yang berkepanjangan. Di sisi lain, Harga Batu Bara Acuan (HBA) masih menjadi indikator utama yang memengaruhi potensi ekspor Indonesia.
Pada perdagangan Rabu, 30 Juli 2025, saham AADI dibuka menguat 0,36 persen ke posisi Rp?6.975 per saham dengan frekuensi transaksi sebanyak 419 kali. Dalam sebulan terakhir, saham ini melemah selama 12 hari berturut-turut (turun sekitar 13,19 persen) dan mengalami penguatan selama 10 hari selanjutnya (naik sekitar 17,55 persen). Sejak awal tahun 2025, saham ini telah mencatat penurunan kumulatif sekitar 17,70 persen.
Secara rinci, laba bersih AADI pada kuartal I 2025 tercatat USD 222,8 juta, turun sekitar 28,4 persen dibandingkan USD 311,5 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan juga menyusut sekitar 11,45 persen menjadi USD 1,16 miliar, seiring turunnya volume penjualan batu bara sebesar 12,13 persen (USD 1,06 miliar). Meskipun demikian, beban pokok pendapatan juga menurun, menghasilkan laba kotor sebesar USD 347,3 juta.
Di sisi pandang analis, Nafan Aji Gusta Utama dari Mirae Asset Sekuritas mencatat adanya tren net buy oleh investor asing terhadap saham AADI. Menurutnya, prospek sektor batu bara masih dapat membaik, terutama memasuki fase hilirisasi oleh Grup Alamtri.
Sementara itu, analis MNC Sekuritas, Hijjah Marhama, menyebut valuasi saham AADI masih sangat rendah, dan imbal hasil dividen potensial dianggap menarik meskipun diproyeksikan laba turun sekitar 18–22 persen di kuartal II. Ia menilai bahwa efek dari penurunan permintaan dan harga telah dihitung ke dalam valuasi saat ini.
Data ekspor batu bara Indonesia ke Cina dan India pada periode Januari–Mei 2025 menunjukkan kedua pasar mengalami penurunan, masing-masing sekitar 11,6 persen dan 7,24 persen. Kedua negara mulai beralih ke batu bara berkalori tinggi dari pemasok lain, sehingga volume dari Indonesia ikut menurun.
Namun, menurut Hijjah Marhama, batu bara masih menjadi komoditas penopang utama dalam jangka menengah selama transisi energi belum sepenuhnya efisien dari sisi biaya. Dia memperkirakan setidaknya selama lima tahun ke depan, batu bara masih memiliki peran vital sebagai sumber energi utama sebelum energi terbarukan menjadi benar-benar kompetitif.
Menurutnya pula, siklus pasar batu bara sangat dipengaruhi oleh permintaan global. Saat permintaan naik, harga melesat, membuka peluang bagi perusahaan dan investor untuk meraih pendapatan dan dividen lebih besar di periode tersebut.
Phintraco Sekuritas dalam analisisnya menunjukkan bahwa profitabilitas AADI relatif stabil karena berhasil menurunkan beban pokok penjualan sekitar 7,57 persen YoY menjadi USD 789,98 juta dari USD 854,64 juta pada kuartal I 2024. Regulasi royalti dari PP No. 18 Tahun 2025 juga dipandang memperluas rentang HBA dan menurunkan tarif royalti ketika harga batu bara rendah, memberikan keuntungan bagi perusahaan pemegang IUPK seperti AADI.
Dengan metode penilaian Sum?of?the?Parts (SOTP), Phintraco memperkirakan harga wajar saham AADI di kisaran Rp 10.200 per saham, yang mencerminkan P/E ratio sekitar 4,77× serta P/BV 1,26×.
Menutup analisa, Hijjah Marhama menegaskan bahwa meskipun tantangan di pasar global tetap ada—terutama dari preferensi China terhadap batu bara berkalori tinggi AADI masih layak dipertimbangkan sebagai opsi investasi jangka panjang. Faktor yang mendukung antara lain valuasi rendah saat ini, peran penting batu bara dalam energi transisi, dan arus kas sektor yang relatif stabil.
Walaupun mengalami dampak dari perlambatan permintaan dan fluktuasi harga global, batu bara tetap memainkan peran sentral dalam strategi energi nasional dan dapat menjadi komponen portofolio yang menarik bagi investor tertentu. AADI, meskipun mencatat penurunan kinerja keuangan, tetap dipandang positif oleh banyak analis berkat valuasinya yang rendah, potensi rebound saat permintaan kembali meningkat, serta adanya kebijakan yang mendukung industri.