Film Horor Tuana Tuha Angkat Legenda Mistis Kutai ke Layar Lebar

Kamis, 26 Juni 2025 | 09:15:33 WIB
Film Horor Tuana Tuha Angkat Legenda Mistis Kutai ke Layar Lebar

JAKARTA - Industri film Indonesia kembali kedatangan karya horor terbaru yang mengangkat kearifan lokal dan budaya mistis nusantara. Sebuah film berjudul Tuana Tuha siap hadir di layar lebar dengan mengusung legenda Kuyang, sosok mistis yang diyakini menghuni wilayah pedalaman Kutai, Kalimantan Timur. Film ini tak hanya menawarkan ketegangan dan visual menakutkan, tetapi juga membingkai warisan budaya dalam balutan cerita supranatural yang khas.

Legenda Kuyang dikenal luas di tengah masyarakat Kalimantan Timur sebagai makhluk gaib yang menyerupai kepala manusia dengan organ dalam menggantung dan terbang di malam hari. Kisah ini telah diwariskan turun-temurun di daerah-daerah seperti Tuana Tuha dan Genting Tanah, dan dipercaya masih menjadi bagian dari praktik kepercayaan okultisme di wilayah tersebut.

Film Tuana Tuha mengangkat narasi tentang Tajau Kuyang, sebuah guci atau gentong kuno yang dianggap sebagai media pemujaan makhluk gaib. Dalam cerita yang diadaptasi, Tajau tersebut menjadi pusat kekuatan supranatural yang mendatangkan teror bagi warga kampung. Keberadaan tajau ini berkaitan erat dengan ritual ilmu hitam yang dilakukan oleh leluhur mereka, dan siapa pun yang mengusik ketenangannya dipercaya akan mengalami kejadian mistis hingga menghilang secara misterius.

Produksi film ini dilakukan secara mendalam, dengan riset bertahun-tahun oleh tim penulis dan sutradara yang berasal dari kawasan Kutai Hulu. Mereka ingin menyajikan film horor yang bukan hanya menakutkan, tetapi juga autentik secara budaya. “Kami ingin membangkitkan kembali kisah-kisah lama yang mulai terlupakan, namun masih hidup dalam bayang-bayang masyarakat pedalaman,” ujar sang sutradara.

Dalam proses pengambilan gambar, tim produksi memilih lokasi asli di Kalimantan Timur untuk memberikan nuansa nyata. Pengambilan gambar dilakukan di kampung Tuana Tuha, kawasan sungai Belayan, dan hutan-hutan sekitar Mahakam Hulu. Atmosfer lokasi yang mistis dengan pencahayaan alami seperti sorot lampu petromaks, kabut pagi, dan sinar rembulan menjadi elemen penting dalam menciptakan suasana horor yang tidak direkayasa.

Salah satu elemen menarik dari film ini adalah penggunaan bahasa daerah dan musik tradisional dalam membangun atmosfer. Dialog sebagian besar disampaikan dalam bahasa Kutai dan Dayak, lengkap dengan logat khas, untuk memperkuat kesan lokal. Musik pengiring mengandalkan suara alat musik tradisional dan vokal etnik yang dikombinasikan dengan efek suara menyeramkan khas film horor.

Kekuatan lain dari Tuana Tuha terletak pada penggambaran ritual-ritual kuno yang selama ini jarang diangkat ke layar kaca. Misalnya, adegan pemanggilan arwah, prosesi pemujaan gentong keramat, serta pengusiran makhluk halus yang dilakukan di tengah hutan saat bulan purnama. Penonton akan diajak menyelami sisi gelap dari budaya spiritual masyarakat lokal yang masih eksis di tengah modernitas.

Film ini juga melibatkan aktor dan aktris lokal untuk menghidupkan cerita. Selain untuk mendukung keaslian karakter, keterlibatan mereka juga menjadi bentuk pemberdayaan sumber daya lokal. Para pemeran mendapatkan pelatihan intensif mengenai budaya dan sejarah lokal agar dapat memainkan peran secara natural dan menghormati nilai-nilai adat.

Secara sinematik, Tuana Tuha mengedepankan estetika visual khas horor atmosferik. Ketegangan dibangun perlahan dengan latar suasana malam di hutan, bisikan angin, suara binatang malam, serta pencahayaan minimalis. Efek kejutan (jump scare) digunakan secukupnya untuk memperkuat nuansa seram yang dibentuk dari awal.

Film ini menyasar penonton pecinta horor yang menginginkan cerita berbobot, bukan sekadar terkejut karena efek suara atau visual berdarah. Dengan konsep slow burn dan ketegangan psikologis, Tuana Tuha diharapkan mampu bersaing dengan film horor urban yang selama ini mendominasi pasar.

Selain menjadi media hiburan, Tuana Tuha juga diharapkan bisa menjadi sarana edukasi budaya. Sutradara menyampaikan bahwa penting bagi generasi muda untuk mengenali kekayaan cerita rakyat Indonesia, termasuk yang bernuansa mistis. “Kami ingin memperlihatkan bahwa cerita-cerita rakyat tidak hanya seram, tetapi juga menyimpan pesan dan filosofi yang dalam tentang kepercayaan dan warisan leluhur,” ungkapnya.

Film ini rencananya akan dirilis di bioskop nasional pada akhir tahun 2025 dan juga ditargetkan tayang di festival film internasional untuk memperkenalkan budaya Kutai ke panggung global. Tidak hanya itu, distribusi melalui platform streaming digital juga sedang dijajaki agar jangkauan penonton semakin luas.

Dengan kehadiran Tuana Tuha, industri perfilman nasional kembali mendapatkan warna baru. Film ini tidak hanya menyajikan hiburan dalam bentuk horor, tetapi juga memperkaya khazanah sinema lokal dengan kearifan budaya nusantara. Legenda Kuyang yang sebelumnya hanya hidup di cerita rakyat, kini bisa dinikmati dan diapresiasi dalam bentuk tontonan yang berkualitas dan berkelas.

Tuana Tuha membuktikan bahwa horor lokal Indonesia punya potensi besar untuk berkembang dan bersaing secara global. Dengan pendekatan yang menghargai nilai budaya dan visual sinematik yang kuat, film ini diprediksi mampu mencuri perhatian pecinta film dari dalam dan luar negeri.

Terkini