JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan aturan baru yang akan mengubah skema pembayaran klaim pada asuransi kesehatan komersial di Indonesia. Lewat Surat Edaran OJK Nomor 7 Tahun 2025, mulai 1 Januari 2026 mendatang, klaim asuransi kesehatan tidak lagi akan ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan asuransi. Nasabah atau pemegang polis akan diwajibkan ikut membayar sebagian biaya dalam skema yang disebut co-payment.
Aturan baru tersebut merupakan bagian dari upaya reformasi tata kelola industri asuransi, khususnya dalam rangka memperbaiki sistem perlindungan konsumen, mencegah praktik kecurangan dalam pengajuan klaim, dan menekan lonjakan biaya medis yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
“Ini bukan sekadar pembagian beban antara perusahaan asuransi dan nasabah, melainkan bentuk disiplin bersama agar klaim asuransi kesehatan tidak disalahgunakan,” tegas perwakilan OJK dalam keterangan resminya.
Apa Itu Skema Co-payment?
Co-payment merupakan sistem berbagi biaya antara perusahaan asuransi dengan nasabah. Melalui skema ini, perusahaan asuransi tidak lagi menanggung seluruh klaim kesehatan yang diajukan oleh pemegang polis. Sebagian biaya akan menjadi tanggung jawab nasabah sesuai dengan batasan yang telah ditentukan.
Dalam aturan OJK, disebutkan bahwa untuk layanan rawat jalan, maksimal biaya yang harus ditanggung oleh nasabah adalah sebesar Rp300 ribu per klaim. Sementara untuk layanan rawat inap, batas tanggung jawab nasabah ditetapkan maksimal Rp3 juta per klaim.
Namun, angka tersebut bukan ketentuan mutlak. OJK memberikan fleksibilitas kepada masing-masing perusahaan asuransi untuk menetapkan batas maksimum biaya co-payment sesuai dengan kebijakan internal mereka.
“Besaran co-payment dapat disesuaikan oleh perusahaan asuransi, asalkan tetap transparan dan disampaikan secara jelas kepada nasabah melalui polis,” jelas pejabat OJK.
Kenapa OJK Mengeluarkan Aturan Co-payment?
Penerapan skema co-payment bukan tanpa alasan. Salah satu latar belakang utama kebijakan ini adalah lonjakan inflasi biaya medis yang jauh melampaui inflasi umum. Kenaikan harga layanan rumah sakit, obat-obatan, dan tindakan medis terus terjadi dari waktu ke waktu, mendorong premi asuransi kesehatan juga ikut naik.
Jika tidak dilakukan langkah antisipasi, dikhawatirkan premi asuransi akan semakin mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Dengan menerapkan skema co-payment, diharapkan ada disiplin penggunaan layanan kesehatan dari nasabah.
“Dengan co-payment, kami berharap nasabah akan lebih bijak dalam memanfaatkan layanan kesehatan. Tidak asal klaim, tidak asal rawat inap, sehingga sistem asuransi tetap sehat dan premi tetap terjangkau,” jelas OJK dalam penjelasannya.
Selain itu, pembagian tanggung jawab biaya antara perusahaan asuransi dan nasabah juga bertujuan untuk meminimalkan potensi kecurangan klaim (fraud claim) yang kerap terjadi di sektor asuransi kesehatan.
Berlaku Mulai 2026, BPJS Tidak Terdampak
Penerapan aturan co-payment akan efektif berlaku mulai 1 Januari 2026, sehingga masyarakat dan pelaku industri masih memiliki waktu sekitar satu tahun untuk melakukan penyesuaian. Hingga akhir 2025, skema pembayaran klaim asuransi kesehatan masih akan mengikuti aturan lama, di mana perusahaan asuransi menanggung klaim secara penuh sesuai ketentuan polis.
Perlu dicatat, aturan baru ini tidak berlaku untuk layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Artinya, masyarakat yang menggunakan layanan BPJS Kesehatan tidak terdampak kebijakan co-payment ini. Kebijakan hanya menyasar produk asuransi kesehatan komersial yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi swasta.
Dampak Positif dan Tantangan
Kebijakan co-payment ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat dan pengamat industri keuangan. Banyak pihak menilai kebijakan ini berpotensi memberikan dampak positif jangka panjang bagi industri asuransi Indonesia.
Dengan skema klaim yang lebih rasional dan beban premi yang lebih terkendali, perusahaan asuransi bisa lebih sehat secara finansial. Hal ini penting agar tidak terjadi kasus gagal bayar klaim seperti yang pernah terjadi di sejumlah perusahaan asuransi sebelumnya.
Namun di sisi lain, kebijakan ini juga menuntut edukasi yang lebih masif kepada masyarakat. Banyak nasabah yang hingga saat ini belum memahami detail isi polis asuransi yang mereka beli. Hal ini bisa memicu kesalahpahaman di kemudian hari jika perusahaan asuransi tidak memberikan sosialisasi yang jelas.
“Nasabah harus lebih cermat dalam membaca isi polis. Jangan sampai membeli produk asuransi hanya karena tergiur premi murah tanpa memahami batas klaim dan skema co-payment-nya,” kata OJK dalam pernyataannya.
Pentingnya Transparansi dari Perusahaan Asuransi
OJK juga mengingatkan kepada seluruh perusahaan asuransi untuk menerapkan transparansi penuh dalam hal informasi produk asuransi. Perusahaan wajib menyampaikan dengan jelas kepada calon nasabah terkait besaran co-payment, batas maksimum klaim, serta seluruh hak dan kewajiban pemegang polis.
Selain itu, OJK juga mendorong perusahaan asuransi meningkatkan kualitas layanan nasabah serta memperbaiki sistem pengajuan klaim agar lebih efisien dan akuntabel.
“Dengan penerapan co-payment yang disosialisasikan dengan baik, serta penguatan tata kelola perusahaan, kami yakin industri asuransi di Indonesia akan semakin sehat dan mampu memenuhi harapan masyarakat,” tutup pejabat OJK dalam keterangan resminya.
Harus Jadi Momentum Perbaikan Industri Asuransi
Pakar asuransi dari Institute for Insurance Development, Rudi Arifin, menyambut baik kebijakan ini. Menurutnya, langkah OJK sudah tepat dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan konsumen dan keberlanjutan industri.
“Jika terus-menerus perusahaan asuransi dipaksa menanggung 100 persen klaim tanpa ada partisipasi dari nasabah, maka industri asuransi akan rentan mengalami defisit. Ini justru merugikan nasabah di masa depan,” ujar Rudi.
Ia menambahkan bahwa kunci utama keberhasilan kebijakan ini adalah edukasi dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat.
“Kita tidak boleh hanya berpikir jangka pendek. Reformasi ini bertujuan agar premi tetap terjangkau, perusahaan asuransi sehat, dan layanan kepada nasabah tetap optimal,” tandasnya.
Dengan implementasi kebijakan co-payment yang tepat, transparan, dan berkeadilan, sistem asuransi kesehatan komersial di Indonesia diharapkan semakin kuat dan mampu memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat di masa depan.