JAKARTA - Harga minyak mentah dunia melonjak tajam dan menyentuh level tertinggi dalam enam bulan terakhir pada perdagangan awal pekan ini. Kenaikan harga dipicu oleh meningkatnya ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah, khususnya setelah terjadinya serangan udara Israel terhadap fasilitas milik Iran, termasuk ladang minyak South Pars yang strategis di Teluk Persia.
Pada perdagangan sesi Asia, Senin, 16 Juni 2025, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juli melonjak sebesar 1,70 persen ke posisi 74,20 dolar AS per barel. Sementara itu, harga minyak mentah acuan dunia jenis Brent juga mencatatkan kenaikan 1,50 persen menjadi 75,34 dolar AS per barel.
Lonjakan harga minyak ini melanjutkan tren kenaikan yang terjadi sepanjang pekan lalu, yang dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap potensi terganggunya pasokan energi global akibat konflik yang semakin memanas antara Iran dan Israel.
Serangan udara Israel pekan lalu menyasar fasilitas nuklir serta beberapa titik strategis milik militer Iran. Salah satu sasaran utama serangan tersebut adalah ladang minyak South Pars, salah satu sumber produksi minyak terbesar Iran yang terletak di Teluk Persia. Akibat serangan tersebut, sejumlah fasilitas produksi minyak Iran mengalami kerusakan parah sehingga harus ditutup sementara.
Ketegangan yang semakin meningkat ini memicu kekhawatiran pelaku pasar terhadap kemungkinan terganggunya pengiriman minyak melalui Selat Hormuz, jalur laut penting yang menjadi rute utama sekitar 20 persen dari total aliran minyak mentah dunia. Gangguan terhadap Selat Hormuz dinilai akan memiliki dampak besar terhadap stabilitas pasokan energi global.
Konflik Israel-Iran Memicu Kekhawatiran Pasokan Global
Pengamat pasar energi global menilai bahwa serangan terhadap fasilitas energi Iran menjadi salah satu pendorong utama lonjakan harga minyak dalam beberapa hari terakhir. Prospek konflik berkepanjangan yang melibatkan kekuatan besar di kawasan Timur Tengah diyakini dapat memperburuk situasi geopolitik dan memicu kekacauan di pasar energi dunia.
“Ketegangan antara Israel dan Iran yang meningkat drastis dalam sepekan terakhir membuat pasar energi global berada dalam posisi yang sangat rentan. Apalagi serangan terhadap ladang minyak besar seperti South Pars meningkatkan kekhawatiran pasokan global terganggu dalam jangka menengah,” ungkap salah satu analis energi global.
Situasi geopolitik di Timur Tengah selalu menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi volatilitas harga minyak dunia. Setiap gangguan terhadap stabilitas kawasan tersebut hampir selalu berdampak langsung terhadap harga minyak, karena kawasan Timur Tengah menyumbang sebagian besar produksi minyak dunia.
Lebih lanjut, potensi konflik yang lebih meluas di Timur Tengah akan membuat jalur pengiriman energi global semakin terancam, terutama di Selat Hormuz. Ketidakpastian ini menambah tekanan pada pasar energi yang selama beberapa bulan terakhir juga sudah dihadapkan pada berbagai isu mulai dari fluktuasi produksi OPEC+, hingga transisi energi global.
Selat Hormuz dalam Ancaman, Pasar Energi Global Waspada
Selat Hormuz merupakan jalur pelayaran vital bagi industri energi dunia, mengingat sekitar seperlima dari total kebutuhan minyak mentah dunia dikirim melalui jalur ini. Jika jalur pengiriman ini terganggu atau bahkan ditutup sementara, maka harga minyak mentah global diprediksi akan melonjak tajam dan memicu krisis pasokan di berbagai negara, khususnya negara-negara pengimpor energi besar seperti Tiongkok, India, dan negara-negara Eropa.
“Prospek konflik Timur Tengah yang lebih luas mengancam akan mengganggu Selat Hormuz, rute utama untuk sekitar 20 persen aliran minyak global,” terang salah satu analis pasar energi global.
Ancaman terhadap Selat Hormuz tidak hanya berpotensi menimbulkan kelangkaan minyak, tetapi juga dapat memicu gejolak harga komoditas lain yang terkait dengan minyak, termasuk gas alam dan bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, sektor logistik dan transportasi global juga dapat terkena imbas jika jalur pengiriman energi terganggu.
Beberapa negara konsumen utama minyak dunia mulai mengambil langkah antisipasi dengan memperkuat cadangan energi nasional mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari lonjakan harga BBM di dalam negeri yang dapat berdampak pada inflasi dan kestabilan ekonomi makro.
Proyeksi Pergerakan Harga Minyak dalam Jangka Pendek
Secara teknikal, pergerakan harga minyak mentah WTI diperkirakan akan menghadapi level support di kisaran 72,80–69,10 dolar AS per barel. Sementara itu, untuk level resisten, harga minyak WTI diproyeksikan akan bergerak di kisaran 76,10–80,80 dolar AS per barel.
Dengan situasi geopolitik yang masih berpotensi memanas, para analis memperkirakan tren kenaikan harga minyak kemungkinan besar masih akan berlanjut dalam beberapa waktu ke depan. Bahkan, apabila konflik melebar ke negara-negara lain di kawasan Timur Tengah atau terjadi gangguan serius di Selat Hormuz, harga minyak bisa saja melonjak menembus level psikologis 80 dolar AS per barel atau lebih.
“Pasar saat ini masih mencoba membaca arah konflik di Timur Tengah. Jika situasi mereda, harga minyak mungkin akan terkoreksi. Namun jika konflik meluas dan terjadi gangguan di jalur pengiriman utama seperti Selat Hormuz, harga minyak bisa menembus 80 hingga 90 dolar AS per barel,” ungkap analis energi tersebut.
Dampak Global dan Respons Negara-negara Konsumen
Lonjakan harga minyak dunia ini tentunya memberikan tekanan terhadap perekonomian global, khususnya bagi negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada impor energi. Kenaikan harga minyak akan memicu kenaikan harga bahan bakar di pasar domestik, yang pada akhirnya berdampak pada biaya produksi, harga barang kebutuhan pokok, serta inflasi secara umum.
Di tengah transisi energi global yang tengah berlangsung, situasi seperti ini menunjukkan bahwa ketergantungan dunia terhadap minyak bumi masih sangat tinggi. Meski banyak negara telah mulai beralih ke energi terbarukan, minyak dan gas tetap menjadi pilar utama dalam memenuhi kebutuhan energi global, khususnya untuk transportasi dan industri berat.
Sejumlah negara pengimpor energi juga mulai memperkuat diplomasi mereka dengan produsen minyak utama seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk memastikan keamanan pasokan energi mereka. Selain itu, negara-negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya (OPEC+) juga diprediksi akan mempertimbangkan langkah-langkah untuk menjaga stabilitas pasokan di tengah gejolak geopolitik ini.