JAKARTA - Polemik kelangkaan gas elpiji bersubsidi 3 kilogram (kg) di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, terus menjadi perhatian publik. Meski Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep mengklaim distribusi berjalan lancar, fakta di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya. Banyak warga mengeluhkan sulitnya mendapatkan gas melon tersebut, bahkan harga jualnya di sejumlah wilayah melampaui harga eceran tertinggi (HET).
Situasi ini memicu sorotan tajam dari kalangan legislatif, terutama anggota Komisi II DPRD Sumenep, yang menilai pemerintah daerah kurang serius menangani masalah ini. Mereka menuding lemahnya pengawasan distribusi menjadi biang keladi kelangkaan dan tingginya harga gas elpiji 3 kg di pasaran.
Pemkab Sumenep Klaim Distribusi Lancar
Pihak Pemkab Sumenep, melalui Kepala Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah (Setda), Dadang Dedy Iskandar, menegaskan bahwa tidak terjadi kelangkaan gas elpiji 3 kg di wilayahnya. Menurut Dadang, peningkatan konsumsi masyarakat dalam beberapa pekan terakhir menjadi penyebab utama terjadinya kesan kelangkaan di masyarakat.
“Bisa dikatakan ini bukan kelangkaan. Kami sudah turun langsung ke lapangan bersama tim, melakukan monitoring terhadap agen dan pangkalan. Di sana distribusi gas LPG 3 kg berjalan lancar,” kata Dadang kepada wartawan.
Ia menjelaskan, lonjakan permintaan dipicu oleh momen hari besar dan hari libur yang berdekatan. Pada kondisi normal, masyarakat umumnya hanya membeli satu hingga dua tabung, namun belakangan banyak warga membeli lebih banyak untuk mengantisipasi kebutuhan harian.
“Biasanya masyarakat membeli dua tabung, tapi karena kebutuhan meningkat, mereka membeli sampai empat tabung. Ini yang membuat permintaan naik signifikan,” ujar Dadang.
Harga Melonjak, Warga Mengeluh
Meski pemerintah daerah menyatakan distribusi dalam kondisi aman, realita di lapangan justru memunculkan keluhan dari masyarakat. Banyak warga yang harus berkeliling ke berbagai pangkalan dan pengecer untuk mendapatkan gas elpiji 3 kg. Selain sulit didapatkan, harga gas subsidi tersebut juga mengalami lonjakan jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah.
“Saya muter-muter mencari untuk membeli sulitnya minta ampun. Biasanya ada, sekarang kosong. Kalau ada pun harganya mahal, bisa sampai Rp25.000 satu tabung,” keluh Wafi, warga Kecamatan Pragaan, Sumenep.
Kondisi ini memperparah beban masyarakat kecil, terlebih gas elpiji 3 kg merupakan kebutuhan pokok untuk memasak. Apalagi mayoritas masyarakat Sumenep bergantung pada gas melon untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
DPRD Sumenep Soroti Lemahnya Pengawasan
Kondisi memprihatinkan ini mendapat perhatian serius dari anggota DPRD Sumenep. Anggota Komisi II DPRD Sumenep, Juhari, secara tegas membantah pernyataan Pemkab yang menyebut tidak ada kelangkaan. Menurut politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut, persoalan gas melon bukan hanya soal peningkatan konsumsi, melainkan juga lemahnya pengawasan distribusi oleh pemerintah daerah.
“Karena selain harga mahal di atas HET, juga sulit masyarakat mencari atau membelinya. Ini bukan hanya soal konsumsi meningkat, tapi soal lemahnya pengawasan distribusi,” ujar Juhari.
Ia juga menyoroti bahwa tambahan kuota 30.000 tabung LPG yang diklaim telah disetujui oleh Pertamina nyatanya belum sepenuhnya menyentuh masyarakat bawah. Pasalnya, mekanisme distribusi yang hanya mengandalkan data dari agen dan sub agen dinilai tidak efektif tanpa adanya pengawasan ketat hingga ke tingkat pengecer.
“Pemkab harus turun langsung, bukan hanya mengandalkan data dari agen. Situasi ini tidak boleh dibiarkan terjadi setiap tahun. Harus ada solusi jangka panjang, bukan sekadar tambal sulam saat ramai keluhan,” tegasnya.
Pengecer Jual di Atas HET, Pemkab Diminta Tindak Tegas
Salah satu faktor utama melambungnya harga elpiji 3 kg di Sumenep diduga kuat berasal dari ulah oknum pengecer yang menjual di atas harga eceran tertinggi. Hingga saat ini, belum terlihat upaya tegas dari pemerintah daerah untuk melakukan penindakan terhadap oknum pengecer nakal tersebut.
Juhari menyatakan bahwa sudah saatnya Pemkab Sumenep melakukan operasi pasar atau inspeksi mendadak (sidak) ke pangkalan dan pengecer yang kedapatan menjual gas LPG 3 kg di atas HET. Langkah konkret seperti ini dinilai lebih efektif daripada hanya sekadar melakukan monitoring administratif.
“Harga HET gas melon kan sudah ditetapkan pemerintah, yaitu Rp18.000 per tabung. Kalau ada yang jual sampai Rp25.000 atau lebih, itu harus ditindak. Jangan dibiarkan terus-menerus, karena yang rugi masyarakat kecil,” ujar Juhari.
Pemkab Harus Siapkan Solusi Jangka Panjang
Lebih lanjut, DPRD Sumenep mendorong agar pemerintah daerah bersama Pertamina dan pihak terkait segera duduk bersama mencari solusi permanen terkait tata niaga gas elpiji subsidi. Jangan sampai setiap tahun, persoalan kelangkaan gas elpiji selalu terulang terutama menjelang momen-momen hari besar keagamaan atau libur panjang.
“Setiap tahun masalah ini muncul lagi, seolah-olah tidak ada perbaikan sistem distribusi. Harus ada kebijakan yang konkret untuk jangka panjang. Misalnya dengan memperbanyak pangkalan resmi, memperketat pengawasan di jalur distribusi, dan memberlakukan sanksi tegas bagi pengecer nakal,” tutur Juhari.
Pemerintah Pusat Diminta Turun Tangan
Tidak hanya Pemkab, Juhari juga berharap pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM dan Pertamina dapat lebih serius mengatasi masalah distribusi gas elpiji bersubsidi. Jika perlu, dilakukan audit distribusi hingga ke tingkat bawah untuk memastikan alokasi subsidi benar-benar tepat sasaran.
“Saya rasa ini persoalan nasional, bukan hanya lokal. Kalau pemerintah pusat serius memperbaiki sistem distribusi elpiji, maka daerah tidak akan terus-menerus dihadapkan dengan persoalan seperti ini,” imbuhnya.
Penambahan Kuota Masih Belum Optimal
Sementara itu, Dadang Dedy Iskandar menyebut bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Pertamina terkait penambahan pasokan untuk Kabupaten Sumenep. Dari hasil koordinasi tersebut, diperoleh tambahan kuota sebesar 30.000 tabung LPG 3 kg untuk bulan Juni 2025.
“Kami sudah ajukan permohonan tambahan kuota dan alhamdulillah disetujui Pertamina. Penyalurannya juga sudah mulai dilakukan sejak awal bulan ini,” ungkap Dadang.
Namun, tambahan pasokan tersebut rupanya belum mampu memenuhi tingginya permintaan di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan distribusi gas LPG 3 kg bukan hanya soal jumlah pasokan, tetapi juga persoalan tata niaga dan pengawasan yang harus dibenahi.
Harapan Masyarakat
Bagi warga Sumenep seperti Wafi, yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang makanan, harga gas elpiji melon yang stabil dan mudah didapatkan adalah kebutuhan mutlak. “Kalau harga mahal dan barang susah, kami yang pedagang kecil ini bisa rugi,” tuturnya.
Masyarakat berharap Pemkab Sumenep segera turun tangan langsung ke lapangan untuk memastikan pasokan LPG tersedia dan harga stabil sesuai HET. Mereka juga mendesak agar pemerintah memberikan sanksi tegas bagi pelaku yang memainkan harga demi keuntungan pribadi.
Jika tidak ada langkah konkret, maka kelangkaan gas elpiji 3 kg dan harga yang mencekik akan terus menghantui masyarakat, terutama mereka yang bergantung pada gas melon untuk kebutuhan sehari-hari.