Batu Bara

Harga Batu Bara Mulai Pulih, Didukung Permintaan Regional dan Optimisme Pasar Global

Harga Batu Bara Mulai Pulih, Didukung Permintaan Regional dan Optimisme Pasar Global
Harga Batu Bara Mulai Pulih, Didukung Permintaan Regional dan Optimisme Pasar Global

JAKARTA - Harga batu bara dunia menunjukkan sedikit pemulihan setelah sebelumnya tertekan oleh berbagai sentimen negatif, termasuk meningkatnya produksi energi terbarukan dan membanjirnya pasokan batu bara global. Namun demikian, tren jangka menengah masih menunjukkan potensi pelemahan harga, terutama di tengah upaya transisi energi global yang semakin masif.

Berdasarkan data perdagangan terbaru, harga batu bara ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman Juni 2025 (LQM25) mencatatkan penguatan tipis sebesar 0,60 poin menjadi USD 104,25 per metrik ton. Harga tersebut naik 0,58 persen dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya yang berada di level USD 103,65, yang sekaligus menjadi titik terendah dalam dua pekan terakhir.

Sementara itu, kontrak pengiriman untuk Juli 2025 (LQN25) juga bergerak naik sebesar 0,15 poin ke posisi USD 106,00 per metrik ton. Kendati demikian, tren mingguan masih menunjukkan pelemahan. LQM25 turun sebesar 0,19 persen dalam sepekan terakhir, sedangkan LQN25 melemah lebih dalam, yakni sebesar 1,67 persen.

Di pasar regional, harga batu bara indeks ICI 3 (GAR 5000) dan ICI 4 (GAR 4200) mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Harga ICI 3 kini tercatat sebesar USD 72,24 per ton, sedangkan ICI 4 naik ke level USD 51,18 per ton. Keduanya rebound setelah sebelumnya menyentuh posisi terendah dalam beberapa waktu terakhir.

Namun secara umum, harga batu bara global masih tertekan oleh beragam faktor. Salah satu faktor utama adalah peningkatan suplai global yang belum diimbangi dengan pertumbuhan permintaan yang signifikan. Hal ini tercermin dari data Harga Batubara Acuan (HBA) Indonesia periode pertama Juni 2025 yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Berdasarkan data Minerba, HBA tercatat sebesar USD 100,97 per ton, melanjutkan tren penurunan yang konsisten sejak awal tahun.

Adapun perincian HBA menunjukkan harga batubara kalori tinggi (HBA 1) berada di level USD 77,59 per ton, kalori menengah (HBA 2) sebesar USD 50,08 per ton, dan kalori rendah (HBA 3) di angka USD 35,47 per ton. Kondisi surplus pasokan global menjadi hambatan utama dalam upaya mendorong harga ke level yang lebih tinggi.

Kelebihan pasokan ini diperparah oleh perlambatan permintaan dari sejumlah negara besar. Data dari Reuters menyebutkan bahwa penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik di India mengalami penurunan terbesar sejak Juni 2020. Produksi listrik berbahan bakar batu bara di India turun sebesar 9,5 persen secara tahunan pada Mei 2025. Hal ini terjadi seiring dengan penurunan permintaan listrik secara keseluruhan untuk pertama kalinya sejak Agustus tahun lalu.

Tak hanya itu, lonjakan produksi energi terbarukan juga turut berkontribusi terhadap penurunan pangsa batu bara dalam bauran energi India. Pangsa penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik India menyusut menjadi 70,7 persen, yang merupakan level terendah sejak Juni 2022.

Kondisi yang sama juga terjadi dari sisi produksi. Perusahaan tambang milik negara India, Coal India Ltd, mencatatkan lonjakan pasokan batu bara yang belum terjual mencapai lebih dari 100 juta ton sejak awal tahun fiskal pada April 2025. Bahkan, persediaan batu bara di pembangkit listrik India melonjak ke level tertinggi dalam 17 tahun terakhir, yaitu lebih dari 58 juta ton.

Fenomena membanjirnya pasokan dan penurunan permintaan ini semakin mempertegas tantangan besar yang dihadapi industri batu bara global, terlebih dengan percepatan transisi energi menuju sumber yang lebih bersih dan ramah lingkungan.

“Seiring semakin banyaknya energi terbarukan yang mulai beroperasi, munculnya proyek-proyek penyimpanan energi, serta dorongan baru terhadap energi nuklir, permintaan batu bara diperkirakan akan terus mengalami tekanan,” ungkap Rupesh Sankhe, Wakil Presiden Senior untuk Riset di Elara Capital India Pvt, seperti dikutip dari Reuters.

Selain India, tren serupa juga terjadi di beberapa negara lain yang menjadi pasar utama batu bara, seperti Tiongkok dan Eropa. Negara-negara tersebut terus berupaya memperbesar kontribusi energi terbarukan dalam bauran energinya, termasuk memacu pengembangan pembangkit listrik tenaga angin dan surya, serta mulai mengadopsi sistem penyimpanan energi (battery storage) dalam skala besar.

Meski demikian, di tengah tekanan global tersebut, Indonesia sebagai salah satu eksportir utama batu bara dunia masih berusaha mempertahankan kinerja ekspornya. Sejumlah negara tujuan ekspor seperti Tiongkok, India, dan Vietnam masih menjadi pasar utama bagi batu bara Indonesia, meskipun volume pembelian tidak lagi sekuat tahun-tahun sebelumnya.

Pemerintah Indonesia sendiri terus memantau perkembangan harga dan permintaan batu bara global, sembari mendorong pelaku usaha tambang untuk beradaptasi dengan dinamika pasar global. Salah satu strategi yang ditempuh adalah mendorong hilirisasi batu bara, seperti gasifikasi batu bara, produksi briket, dan pengembangan proyek DME (dimethyl ether) yang ditargetkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah semata.

“Kami mendorong pelaku usaha untuk melihat potensi hilirisasi batu bara agar memiliki nilai tambah lebih tinggi bagi perekonomian nasional,” ujar salah satu pejabat Kementerian ESDM dalam keterangan terpisah beberapa waktu lalu.

Namun upaya hilirisasi juga menghadapi tantangan tersendiri, mulai dari kebutuhan investasi besar hingga keterbatasan teknologi. Oleh karena itu, industri batu bara nasional diprediksi masih akan mengandalkan ekspor dalam waktu dekat, sembari perlahan mendorong proses transformasi bisnis.

Secara keseluruhan, prospek harga batu bara ke depan akan sangat bergantung pada bagaimana dinamika transisi energi global berlangsung. Jika percepatan pengembangan energi terbarukan terus terjadi, ditambah dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dunia yang semakin ketat terhadap emisi karbon, bukan tidak mungkin harga batu bara akan terus bergerak di level rendah untuk jangka menengah hingga panjang.

Di sisi lain, sejumlah pelaku pasar memperkirakan harga batu bara mungkin masih akan bergerak fluktuatif dalam beberapa bulan ke depan, seiring ketidakpastian cuaca, dinamika geopolitik, serta perkembangan ekonomi global yang mempengaruhi tingkat permintaan energi.

Dengan tekanan dari dua sisi, yakni melimpahnya pasokan dan percepatan transisi energi, industri batu bara global kini berada di persimpangan jalan. Apakah akan mampu beradaptasi dengan perubahan tren energi, atau justru tergerus oleh gelombang energi bersih yang semakin mendominasi?

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index