JAKARTA — Harga minyak dunia kembali mengalami lonjakan signifikan menyusul meningkatnya tensi geopolitik di kawasan Timur Tengah. Ketegangan yang semakin mencuat membuat harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) dan Brent melonjak tajam pada perdagangan Kamis,12 Juni 2025.
Mengutip laporan Reuters, harga minyak mentah WTI untuk pengiriman Juli 2025 tercatat naik sebesar US$3,17 atau sekitar 4,88 persen, sehingga diperdagangkan pada level US$68,15 per barel di bursa New York Mercantile Exchange (NYMEX).
Sementara itu, harga minyak mentah Brent yang menjadi acuan global juga mengalami kenaikan. Minyak Brent untuk pengiriman Agustus 2025 naik US$2,9 atau sekitar 4,34 persen menjadi US$69,77 per barel di London ICE Futures Exchange.
Kenaikan harga minyak dunia ini dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap situasi politik dan keamanan di kawasan Timur Tengah, yang dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil minyak terbesar dunia.
Gejolak Timur Tengah Jadi Pemicu Utama
Situasi di kawasan Timur Tengah memanas setelah Amerika Serikat (AS) dikabarkan tengah mempersiapkan proses evakuasi untuk para staf kedutaan besar (kedubes)-nya di Irak. Ketegangan ini meningkat menyusul pernyataan dari pejabat berwenang AS yang menyebutkan adanya kemungkinan anggota keluarga militer AS yang bertugas di kawasan akan meninggalkan Bahrain, yang juga merupakan pangkalan utama militer AS di kawasan tersebut.
Pernyataan yang paling memantik kekhawatiran datang dari Menteri Pertahanan Iran, Aziz Nasirzadeh, yang menyebut bahwa dalam waktu dekat bisa saja terjadi serangan terhadap pangkalan-pangkalan militer AS di Timur Tengah. Hal ini semakin memperburuk sentimen pasar terhadap stabilitas pasokan minyak dari kawasan tersebut.
"Ada potensi besar terjadinya serangan terhadap pangkalan-pangkalan militer Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah," ujar Aziz Nasirzadeh dalam pernyataan resminya, yang kemudian memicu lonjakan harga minyak dunia secara instan.
Dampak Geopolitik terhadap Pasar Energi Global
Sebagai salah satu kawasan penghasil minyak terbesar di dunia, ketegangan yang terjadi di Timur Tengah selalu menjadi perhatian utama pasar energi global. Kawasan ini mencakup negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar, yang merupakan kontributor utama dalam pasokan minyak mentah dunia.
Setiap kali terjadi ketegangan politik atau ancaman konflik militer, para pelaku pasar akan berspekulasi terkait potensi gangguan distribusi minyak. Kekhawatiran utama adalah terganggunya jalur distribusi minyak, khususnya di kawasan strategis seperti Selat Hormuz, yang menjadi jalur pengiriman sekitar 20 persen dari total pasokan minyak dunia.
Naiknya harga minyak dunia juga diperkuat oleh aksi para investor yang melakukan aksi hedging atau lindung nilai untuk melindungi portofolio mereka dari risiko fluktuasi pasar akibat ketidakpastian geopolitik.
"Harga minyak global memang sangat sensitif terhadap perkembangan situasi politik di Timur Tengah. Apalagi jika ancaman terhadap pangkalan militer benar-benar terealisasi, risiko gangguan distribusi pasokan minyak akan semakin besar," ujar analis energi senior dari Reuters, Daniel Grooms.
Prediksi Dampak Jangka Pendek dan Panjang
Dalam jangka pendek, lonjakan harga minyak dunia diperkirakan akan terus berlanjut apabila situasi keamanan di Timur Tengah tidak kunjung membaik. Terlebih lagi, jika ancaman terhadap pangkalan militer AS di kawasan tersebut berubah menjadi konflik terbuka, harga minyak berpotensi menembus level psikologis di atas US$70 per barel.
Namun demikian, para analis memperingatkan bahwa harga minyak juga dapat kembali mengalami koreksi apabila ketegangan tersebut segera diredakan melalui jalur diplomatik.
“Jika ketegangan segera mereda, harga minyak kemungkinan akan terkoreksi kembali ke level fundamental sebelumnya. Tapi jika eskalasi berlanjut, maka kita bisa melihat harga minyak melampaui US$75 per barel dalam waktu dekat,” jelas Grooms menambahkan.
Di sisi lain, negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam OPEC+ kemungkinan akan mengambil langkah antisipatif untuk menstabilkan harga jika eskalasi konflik benar-benar terjadi. Salah satu skenario yang mungkin dilakukan adalah penyesuaian produksi untuk menjaga keseimbangan pasokan global.
Dampak Terhadap Ekonomi Global
Kenaikan harga minyak dunia tentu tidak hanya berdampak pada sektor energi, tetapi juga berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi global. Harga minyak yang tinggi akan meningkatkan beban biaya produksi, distribusi, serta harga barang dan jasa di tingkat konsumen. Negara-negara importir minyak seperti Jepang, India, dan sebagian besar negara di kawasan Eropa bisa merasakan tekanan inflasi yang lebih besar.
“Lonjakan harga minyak akan meningkatkan beban biaya energi di seluruh dunia, sehingga bisa memicu tekanan inflasi yang lebih tinggi di banyak negara, terutama yang mengandalkan impor minyak mentah,” kata analis pasar energi dari Bloomberg, Christina Hales.
Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor minyak juga berpotensi terkena imbas kenaikan harga ini. Lonjakan harga minyak mentah dunia bisa memengaruhi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, terutama jika tren kenaikan berlanjut dalam jangka panjang.
Ketidakpastian Masih Bayangi Pasar
Hingga kini, belum ada tanda-tanda meredanya ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat. Situasi semakin rumit dengan dinamika politik internal masing-masing negara serta kepentingan geopolitik yang saling berbenturan.
Pasar energi dunia kini menanti langkah lebih lanjut dari pihak-pihak terkait, termasuk kemungkinan intervensi diplomatik dari negara-negara lain seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, maupun dari lembaga internasional seperti PBB.
“Pasar masih bergerak sangat hati-hati. Banyak pelaku pasar mengambil posisi defensif sambil menunggu perkembangan terbaru dari kawasan Timur Tengah. Selama ketegangan belum sepenuhnya reda, volatilitas harga minyak dunia diperkirakan tetap tinggi,” pungkas Daniel Grooms.