JAKARTA — Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus mengembangkan hilirisasi sektor pertambangan dengan prinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa strategi hilirisasi hijau menjadi prioritas utama guna meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global.
"Kami ke depan akan mendorong hilirisasi dengan baik, hilirisasi yang betul-betul hijau, yang bisa diterima di luar negeri," tegas Bahlil dalam konferensi pers di Kantor Presiden.
Pernyataan tersebut disampaikan Bahlil sebagai respons atas masukan dari Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, yang sebelumnya menyarankan pemerintah untuk memberlakukan moratorium terhadap izin pembangunan smelter dan tambang nikel baru. Bhima menyampaikan bahwa langkah tersebut perlu diambil mengingat kondisi oversupply atau kelebihan pasokan nikel yang terjadi di pasar global saat ini.
Menanggapi usulan tersebut, Bahlil menyatakan bahwa pemerintah tetap terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak, namun keputusan akhir tetap menjadi wewenang pemerintah dengan pertimbangan menyeluruh, baik aspek ekonomi, lingkungan, maupun kepentingan nasional jangka panjang.
"Saran seperti tadi silakan saja, tapi nanti kami dari pemerintah yang akan memutuskan," ujar Bahlil menegaskan.
Pemerintah saat ini tengah menyiapkan langkah-langkah konkret untuk menghadapi tantangan global, termasuk fluktuasi harga komoditas. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, harga beberapa komoditas utama mengalami penurunan dalam periode Januari hingga Februari 2025. Batu bara turun sebesar 11,8 persen, minyak Brent turun 5,2 persen, dan nikel mengalami penurunan sebesar 5,9 persen.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh melambatnya aktivitas industri global, terutama di Tiongkok yang merupakan salah satu konsumen terbesar nikel dunia. Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia yang tengah gencar melakukan hilirisasi mineral.
Sebagai langkah antisipasi, Kementerian ESDM telah menyusun sejumlah kebijakan untuk menjaga kestabilan harga komoditas mineral dan batu bara (minerba). Salah satunya adalah penyesuaian rencana produksi dengan kebutuhan dalam negeri serta target ekspor yang realistis.
Selain itu, Kementerian ESDM mewajibkan feasibility study (FS) dan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menjadi bagian integral dari proses penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Hal ini dilakukan agar proses produksi dan ekspor benar-benar memperhatikan aspek keberlanjutan dan dampak lingkungan jangka panjang.
"Langkah ini penting untuk memastikan bahwa hilirisasi yang kita dorong tidak hanya mementingkan aspek ekonomi, tetapi juga lingkungan. Kita ingin produk nikel kita diterima pasar global bukan hanya karena harganya kompetitif, tetapi karena proses produksinya bertanggung jawab," imbuh Bahlil.
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan evaluasi berkala terhadap persetujuan produksi dalam RKAB yang telah diterbitkan, guna memastikan kesesuaiannya dengan perkembangan kebutuhan pasar dan kemampuan produksi perusahaan.
Dalam mendukung tata kelola industri pertambangan yang lebih baik, Kementerian ESDM juga terus menerapkan penetapan Harga Batu Bara Acuan (HBA), Harga Mineral Acuan (HMA), serta Harga Patokan Batu Bara dan Mineral sebagai acuan harga dasar penjualan. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 72 Tahun 2025 tentang Pedoman Harga Patokan Komoditas Logam dan Batu Bara.
Tak hanya dari sisi regulasi harga dan produksi, Bahlil juga menegaskan bahwa pemerintah akan memperketat pengawasan terhadap aktivitas pertambangan agar seluruh proses berjalan sesuai dengan prinsip good mining practice. Langkah ini dinilai krusial untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan industri dan perlindungan lingkungan.
"Alhamdulillah, kami sudah memulai pengawasan lebih ketat, termasuk terhadap implementasi dokumen AMDAL di lapangan. Arahan Bapak Presiden sangat jelas, semua aktivitas pertambangan harus berpihak pada kelestarian lingkungan," kata Bahlil.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa tren global ke depan akan semakin menuntut komoditas hasil pertambangan diproduksi melalui proses yang ramah lingkungan. Negara-negara tujuan ekspor mulai menerapkan kebijakan karbon rendah dan sertifikasi lingkungan yang ketat.
Dalam kesempatan yang sama, Bahlil juga menyampaikan bahwa pemerintah akan terus menyosialisasikan pentingnya hilirisasi hijau kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk perusahaan tambang, pengusaha smelter, dan masyarakat lokal.
"Kita semua ingin agar hilirisasi ini tidak menjadi beban, tapi menjadi jalan keluar untuk ekonomi nasional yang lebih baik dan berkelanjutan. Prinsipnya, investasi harus masuk, lapangan kerja harus tersedia, dan lingkungan harus tetap lestari," pungkasnya.
Dengan langkah konkret yang telah disiapkan, pemerintah optimistis bahwa Indonesia akan mampu memanfaatkan potensi sumber daya alamnya secara optimal dan berkelanjutan, sekaligus meningkatkan posisi tawar di pasar global melalui produk-produk mineral yang ramah lingkungan.