JAKARTA – Pengembang perumahan di Banjarmasin kini menghadapi dinamika baru menyusul rencana pemerintah mengurangi batas minimal luas lahan dan bangunan rumah subsidi. Kebijakan tersebut tertuang dalam rancangan Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Nomor/KPTS/M/2025 yang mengusulkan perubahan batas minimal luas tanah dari 60 meter persegi menjadi 25 meter persegi, serta luas bangunan dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi.
Langkah ini memicu perdebatan hangat di kalangan pengembang dan masyarakat. Sebagian pengembang menilai kebijakan tersebut memudahkan mereka mencari lahan di kawasan perkotaan yang selama ini sulit didapatkan, sementara sebagian masyarakat dan pengembang lain menilai ukuran rumah subsidi yang diperkecil itu akan sulit diterima karena dinilai terlalu sempit.
Pengembang Sambut Positif: Memudahkan Cari Lahan di Perkotaan
Royzani, salah satu pengembang perumahan di Banjarmasin, menyambut baik kebijakan ini. Ia mengatakan bahwa dengan adanya aturan yang membolehkan pengembang memperkecil luas lahan dan bangunan rumah subsidi, pihaknya lebih mudah mencari lahan di wilayah perkotaan yang padat.
“Biaya terbesar dalam proyek perumahan adalah pembangunan rumah, sekitar 55 persen dari total biaya, kemudian lahan sekitar 25 persen, dan sisanya 20 persen untuk perizinan serta infrastruktur,” ujar Royzani.
Menurutnya, pengurangan luas minimal lahan dan rumah subsidi memungkinkan pengembang menekan biaya lahan yang selama ini menjadi kendala utama dalam pengembangan perumahan di kota besar seperti Banjarmasin. “Dengan ukuran rumah yang lebih kecil, kami bisa membangun lebih banyak unit di area yang sama sehingga membantu memenuhi kebutuhan hunian masyarakat berpenghasilan rendah,” tambah Royzani.
Pro Kontra di Kalangan Pengembang dan Masyarakat
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh pengembang lain, H Muhammad Fikri SE MM. Ia berpendapat bahwa di Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin, rumah dengan luas di bawah tipe 36 tidak akan mudah laku di pasaran.
“Di Kalsel, rumah tipe di bawah 36 meter persegi belum tentu diminati. Untuk menyiasati mahalnya harga tanah, pengembang biasanya membeli lahan di pinggiran kota,” ungkap Fikri.
Hal serupa disampaikan Shapiq, pengembang perumahan dari Kabupaten Tanah Laut (Tala). Ia mengungkapkan bahwa rumah subsidi dengan luas bangunan hanya 18 meter persegi akan kurang diminati masyarakat karena ukuran tersebut tergolong sempit untuk sebuah rumah tangga.
“Di Tala, animo masyarakat lebih condong ke rumah subsidi tipe 36 yang luas tanahnya minimal sesuai Peraturan Daerah Tala yaitu 150 meter persegi,” kata Shapiq.
Menurutnya, meskipun rumah subsidi tipe 18 meter persegi masih memiliki pasar, konsumen pada umumnya akan memilih rumah dengan luas lebih besar seperti tipe 36, terutama jika harga rumah subsidi tidak turun sesuai zonasi yang ditetapkan pemerintah.
Perusahaannya, PT Berkah Anggara Putri, telah berfokus mengembangkan rumah subsidi tipe 36 sejak 2022. “Kami telah membangun sekitar 100 unit, dan saat ini sedang mengerjakan lima unit tambahan,” ujarnya.
Batas Maksimal Luas Rumah Subsidi Tetap Berlaku
Meskipun ada perubahan batas minimal, batas maksimal luas tanah dan bangunan rumah subsidi masih tetap. Menurut rancangan Keputusan Menteri PKP, batas maksimal luas tanah adalah 200 meter persegi dan maksimal luas bangunan 36 meter persegi.
Aturan ini bertujuan agar rumah subsidi tetap memenuhi standar hunian layak, meskipun ada fleksibilitas dalam ukuran minimal.
Tanggapan Warga: Beragam Kekhawatiran Terhadap Ukuran Rumah yang Diperkecil
Dari sisi masyarakat, rencana pengurangan luas lahan dan bangunan rumah subsidi juga menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran. Vira, warga Pelambuan Banjarmasin yang juga pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), menilai kebijakan tersebut sangat dipengaruhi oleh program pemerintah untuk membangun tiga juta rumah.
“Kalau rumahnya diperkecil, artinya nilai subsidi juga akan turun. Apakah pemerintah tidak mampu lagi menyubsidi rumah murah dan layak bagi rakyat? Menurut saya, lebih baik beli tanah kavling dan bangun rumah sendiri,” kata Vira.
Junaidi, warga Sungai Sipai, Martapura, Kabupaten Banjar, juga menyampaikan pandangannya. Ia berencana membeli rumah subsidi namun mengaku ragu jika ukuran rumah dan lahannya diperkecil.
“Masalahnya kalau rumah kecil, ruangannya jadi sangat terbatas. Bagaimana mau memasukkan perabotan seperti dipan, meja, atau kursi? Pasti jadi makin sesak,” ujarnya.
Junaidi berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut, terutama karena masih banyak lahan di Kalimantan Selatan yang bisa dikembangkan menjadi perumahan.
Tantangan Pasar Properti Subsidi di Kalimantan Selatan
Pasar rumah subsidi di Kalimantan Selatan memang menghadapi tantangan tersendiri. Harga tanah yang relatif tinggi di perkotaan dan ketatnya perizinan seringkali menjadi penghambat utama pengembang dalam membangun rumah bersubsidi.
Dengan kebijakan pengurangan luas minimal tersebut, pemerintah berharap dapat mendorong percepatan pembangunan rumah subsidi dengan biaya lebih efisien. Namun, penting juga bagi pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan agar tetap memenuhi kebutuhan kenyamanan dan kualitas hidup penghuni rumah subsidi.
Kebijakan Perlu Sinkronisasi dengan Kebutuhan Masyarakat
Rencana pengurangan luas lahan dan bangunan rumah subsidi ini menjadi kabar baik bagi sebagian pengembang yang ingin memperluas pasar dengan lebih mudah mendapatkan lahan. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa rumah subsidi yang terlalu kecil tidak akan memenuhi kebutuhan hunian layak bagi masyarakat.
Pemerintah perlu melakukan kajian yang mendalam agar kebijakan ini dapat mengakomodasi kedua aspek tersebut. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat juga harus dilakukan agar pemahaman dan dukungan terhadap kebijakan dapat tercipta.
“Penting bagi pemerintah dan pengembang untuk terus berdialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat agar hunian subsidi tetap terjangkau sekaligus nyaman untuk dihuni,” kata Royzani menutup wawancara.