JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa seluruh transaksi pembelian bijih bauksit di dalam negeri wajib mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM). Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat hilirisasi industri mineral dan memastikan penerimaan negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan bahwa penetapan HPM bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan implementasi nyata dari amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). "UU No. 3 Tahun 2020 secara tegas mewajibkan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian," ujar Tri dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI.
HPM sebagai Instrumen Penguatan Hilirisasi
Pemerintah menekankan bahwa HPM akan menjadi acuan bagi tarif royalti mineral, yang selanjutnya berkontribusi pada PNBP. Dengan demikian, harga jual yang mengacu pada HPM akan menentukan besaran penerimaan negara dari sektor mineral, termasuk bauksit. "Kepemilikan tambang kan perjanjian antara negara dan pemilik izin tambang. Ini selesai pada saat dia penambang sudah bayar royalti," kata Tri Winarno .
Lebih lanjut, Tri mengakui bahwa penerapan HPM untuk batas bawah harga jual mineral termasuk bauksit masih dalam kajian untuk menemukan titik tengah yang adil bagi semua pihak. "Ini lagi dikaji (titik tengahnya). Asosiasi Bauksit ngomong harga jual di bawah, tapi kemarin ada juga yang bilang harganya kerendahan. Ini mempertemukan yang pas, kita usaha melakukan," jelasnya .
Perbedaan Pandangan dengan Kementerian Perindustrian
Sementara itu, Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin), Faisol Riza, menyatakan bahwa smelter yang berada di bawah Kementerian Perindustrian dengan izin Izin Usaha Industri (IUI) tidak diwajibkan membeli bauksit menggunakan HPM. "IUI tidak berkewajiban menggunakan HPM. Soal penertiban (smelter) yang terintegrasi dengan IUP, ada di Kementerian ESDM," katanya.
Perbedaan pandangan ini menimbulkan tantangan dalam implementasi kebijakan HPM secara menyeluruh. Namun, Tri Winarno menegaskan bahwa kemungkinan pemberian sanksi kepada smelter mineral, termasuk smelter bauksit yang membeli di bawah HPM, tetap ada. "Kalau kemungkinan sanksi selalu ada," ungkapnya .
Dukungan Pengamat dan Pelaku Usaha
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi, menilai kebijakan HPM sebagai instrumen fiskal yang dapat mengarahkan perilaku pelaku usaha untuk berorientasi pada hilirisasi. “Selama ini ekspor bahan mentah lebih menguntungkan, karena margin tinggi dan prosesnya cepat. Dengan HPM dan larangan ekspor, pemerintah menciptakan disinsentif agar pelaku usaha mau berinvestasi ke smelter,” ujar Fahmi dalam keterangannya di Jakarta.
Di sisi lain, pelaku usaha juga mendukung penetapan indeks harga bauksit untuk menciptakan harga yang adil. Ronald, seorang pengusaha, menjelaskan bahwa kondisi saat ini antara supply dan demand smelter yang terbatas namun jumlah pasokan bauksit justru melimpah. “Jadi harga tidak kompetitif karena smelter menetapkan harga tidak sesuai dengan HPM. Maka perlu sanksi tegas agar dapat menjaga kelangsungan supply,” ujarnya.
Perkembangan Smelter Bauksit di Indonesia
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat hingga kuartal I tahun 2025 sudah ada empat smelter alumina yang beroperasi komersial, menunjukkan tren positif atas keberhasilan kebijakan hilirisasi dengan beroperasinya sejumlah smelter di Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau.
Salah satu proyek hilirisasi yang menjadi sorotan adalah Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Kalimantan Barat yang dikelola oleh PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), perusahaan patungan antara INALUM dan ANTAM, anggota Grup MIND ID. Setelah larangan ekspor bijih bauksit diberlakukan pada Juni 2023, proyek SGAR dipercepat dan kini telah beroperasi serta sukses melakukan pengiriman perdana ke Kuala Tanjung INALUM.
Kebijakan penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) oleh Kementerian ESDM merupakan langkah strategis untuk mendorong hilirisasi industri mineral di Indonesia, khususnya bauksit. Meskipun terdapat perbedaan pandangan dengan Kementerian Perindustrian mengenai kewajiban penggunaan HPM, pemerintah tetap berkomitmen untuk memastikan bahwa seluruh transaksi pembelian bijih bauksit mengacu pada HPM demi meningkatkan nilai tambah dan penerimaan negara.
Dukungan dari pengamat dan pelaku usaha menunjukkan bahwa kebijakan ini memiliki potensi besar untuk memperkuat industri pengolahan mineral nasional yang mandiri serta berdaya saing global. Dengan terus mendorong pembangunan smelter dan memastikan kepatuhan terhadap HPM, Indonesia dapat mengoptimalkan sumber daya mineralnya untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.