JAKARTA - Harga minyak mentah dunia bergerak stabil dalam perdagangan awal pekan ini, di tengah kondisi pasar yang relatif tenang dan kehati-hatian investor menyikapi perkembangan tensi perdagangan global. Fokus utama pelaku pasar saat ini tertuju pada kebijakan perdagangan Amerika Serikat, potensi pelonggaran sanksi ekspor minyak Iran, serta arah produksi dari aliansi produsen minyak dunia, OPEC+.
Pada perdagangan hari Senin, 14 April 2025, harga minyak acuan West Texas Intermediate (WTI) tercatat mendekati level US$62 per barel, sedangkan harga Brent ditutup sedikit di bawah US$65 per barel. Pergerakan harga yang cenderung datar ini mencerminkan sikap wait and see para pelaku pasar terhadap ketidakpastian global, khususnya kebijakan tarif dagang dari pemerintahan Amerika Serikat.
“Pasar minyak berada dalam fase konsolidasi karena investor menunggu kejelasan dari berbagai faktor geopolitik dan kebijakan yang sangat memengaruhi dinamika suplai dan permintaan,” ujar John Kilduff, analis dari Again Capital LLC yang berbasis di New York.
Harga Minyak Tertekan Kekhawatiran Resesi Global
Sepanjang bulan April ini, harga minyak telah mencatatkan penurunan tajam sekitar US$10 per barel, tertekan oleh kekhawatiran bahwa eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan China dapat memicu perlambatan ekonomi global. Resesi yang menghantui dua negara konsumen minyak terbesar dunia ini dikhawatirkan akan memangkas permintaan energi secara signifikan.
“Sinyal resesi dari indikator makroekonomi di AS dan China semakin memperkuat sentimen bearish di pasar energi,” ungkap Kilduff menambahkan.
Adapun ketegangan dagang kembali meningkat usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan gelombang baru kebijakan tarif terhadap sejumlah produk impor dari China dan Eropa. Langkah ini mendapat respons keras dari Beijing, memicu kekhawatiran bahwa perang dagang akan berlangsung lebih lama dan berimbas pada menurunnya konsumsi minyak global.
Pasar Menanti Kejelasan Ekspor Minyak Iran
Salah satu katalis utama yang turut dicermati oleh investor adalah potensi pelonggaran sanksi terhadap ekspor minyak Iran. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pemerintahan AS tengah mempertimbangkan untuk memberikan keringanan terhadap pembatasan ekspor minyak dari Teheran, yang selama ini dikenai sanksi berat oleh Washington.
Jika hal ini terealisasi, maka pasokan minyak global berpotensi meningkat tajam, menambah tekanan terhadap harga yang saat ini tengah mencari titik keseimbangan baru.
“Apabila Iran kembali masuk ke pasar dengan volume ekspor penuh, itu akan mengubah peta suplai secara signifikan. Pasar tengah berspekulasi soal itu, dan itu menjadi faktor pembentuk harga dalam jangka pendek,” kata Kilduff.
Keputusan OPEC+ Mempercepat Produksi Picu Volatilitas
Tak hanya faktor permintaan, dinamika di sisi suplai juga turut menjadi perhatian besar pasar. OPEC+, aliansi negara produsen minyak yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Rusia, membuat kejutan dengan keputusan untuk mempercepat peningkatan produksi. Langkah ini dilakukan dengan alasan menyesuaikan dengan kebutuhan pasar dan menjaga pangsa pasar di tengah ketidakpastian geopolitik.
Namun, keputusan OPEC+ ini justru memicu kekhawatiran bahwa kelebihan pasokan akan kembali terjadi, seperti yang pernah dialami pasar minyak pada awal dekade ini.
“Langkah OPEC+ ini tidak sepenuhnya diperkirakan pasar. Banyak pihak menduga mereka akan lebih berhati-hati dalam menaikkan produksi. Tapi ternyata mereka bergerak cepat,” jelas Kilduff.
Beberapa analis memperkirakan bahwa keputusan tersebut bisa menjadi sinyal bahwa produsen utama minyak ingin menjaga posisi mereka di pasar energi, terutama dengan meningkatnya persaingan dari minyak serpih (shale oil) asal Amerika Serikat dan kemungkinan kembalinya Iran sebagai eksportir aktif.
Proyeksi Permintaan Energi Direvisi Turun
Kondisi makroekonomi global yang tak pasti telah membuat sejumlah lembaga internasional dan konsultan energi merevisi turun proyeksi permintaan minyak global untuk tahun ini. Lembaga Energi Internasional (IEA) misalnya, dalam laporan terbarunya, menurunkan perkiraan pertumbuhan permintaan minyak menjadi hanya 1,1 juta barel per hari dari proyeksi awal 1,3 juta barel per hari.
“Kami menyesuaikan outlook permintaan karena risiko terhadap pertumbuhan global meningkat, terutama dari sisi konsumsi energi di negara berkembang,” tulis IEA dalam laporannya.
Hal serupa juga dilakukan oleh OPEC yang dalam buletin bulanan mereka memangkas estimasi permintaan dunia sebesar 200.000 barel per hari.
Wall Street Pulih, Tapi Pasar Energi Masih Waspada
Sementara itu, pasar keuangan AS menunjukkan pemulihan awal pekan ini. Indeks saham utama seperti S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average kembali menguat setelah sempat tertekan akibat kekhawatiran terhadap kebijakan tarif. Pasar obligasi juga menunjukkan stabilisasi dengan penurunan yield pada tenor jangka pendek.
Namun, sentimen optimisme tersebut belum sepenuhnya menular ke pasar komoditas, khususnya minyak. Pelaku pasar energi tetap berhati-hati dan menanti sinyal kuat dari perkembangan geopolitik maupun kebijakan energi utama dunia.
“Kami melihat adanya pemulihan di aset keuangan, tetapi pasar minyak masih rentan terhadap fluktuasi berita. Para pelaku pasar tidak mau mengambil posisi terlalu agresif saat ini,” tutur Kilduff.
Ketidakpastian Global Bayangi Masa Depan Harga Minyak
Dengan situasi global yang masih penuh ketidakpastian, baik dari sisi kebijakan dagang AS, potensi ekspor Iran, maupun dinamika internal OPEC+, harga minyak kemungkinan akan terus berada dalam tekanan dalam waktu dekat. Investor dan pelaku industri energi masih menunggu kepastian arah kebijakan untuk menentukan langkah strategis ke depan.
“Pasar minyak saat ini sangat sensitif terhadap berita, dan dalam kondisi seperti ini, stabilitas harga sangat rapuh. Perlu pendekatan kehati-hatian baik dari sisi regulator maupun pelaku pasar itu sendiri,” tutup Kilduff.