JAKARTA - Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kembali membuka jalan bagi kebangkitan industri batu bara telah mengguncang pasar energi global. Pada Selasa, 8 April 2025, Trump menandatangani empat perintah eksekutif yang salah satunya secara eksplisit mempromosikan penggunaan batu bara sebagai sumber energi strategis. Langkah ini memberikan angin segar bagi perdagangan batu bara di Asia, termasuk Indonesia, yang selama ini menjadi salah satu eksportir utama komoditas emas hitam tersebut.
Meskipun dampak langsung kebijakan tersebut terhadap industri batu bara Indonesia masih relatif terbatas, para pelaku usaha melihat ini sebagai sinyal kuat mengenai arah kebijakan energi global ke depan. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, yang menyatakan bahwa kebijakan Trump menjadi penanda penting bagi kelangsungan industri batu bara dunia.
“Keputusan ini memberikan sinyal positif bahwa Amerika sebagai negara besar masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama,” ujar Hendra,.
Peluang Baru di Tengah Pangsa Pasar AS yang Kecil
Menurut data IMA, ekspor batu bara Indonesia ke Amerika Serikat saat ini masih berada di kisaran 2-3 persen dari total ekspor tahunan. Mayoritas batu bara Indonesia justru diekspor ke kawasan Asia Pasifik, yang menyerap hingga 97-98 persen produksi nasional. Namun demikian, arah kebijakan energi di negara maju seperti Amerika Serikat dinilai dapat memengaruhi dukungan finansial terhadap proyek-proyek ekstraktif di negara berkembang.
Hendra menilai bahwa dengan AS kembali memberikan tempat bagi batu bara dalam bauran energinya, maka sektor perbankan dan lembaga pendanaan berbasis di Amerika juga akan lebih terbuka dalam membiayai proyek-proyek serupa di luar negeri.
“Dengan keputusan ini, perbankan-perbankan berbasis di Amerika juga bisa lebih mudah mendanai proyek terkait batu bara,” jelas Hendra.
Perang Dagang AS-China dan Efisiensi Energi Asia
Dampak lain dari kebijakan pro-batu bara AS juga dirasakan di tengah ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Negara Tirai Bambu yang hingga kini masih sangat bergantung pada energi fosil—yakni sekitar 70 persen dari total kebutuhan energi—telah lama menjadikan batu bara sebagai sumber utama pembangkit energi. Hal ini memberikan keuntungan besar bagi industri manufakturnya, karena dapat menjaga biaya produksi tetap rendah dan menghasilkan produk yang kompetitif di pasar global.
“Dengan biaya energi yang lebih rendah, manufaktur di China dapat memproduksi barang dalam jumlah besar dengan harga murah,” terang Hendra.
Lebih lanjut, Hendra menjelaskan bahwa kebijakan promosi industri ekstraktif seperti yang dilakukan Trump bisa menjadi referensi penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Menurutnya, batu bara masih menjadi salah satu sumber energi termurah dan efisien untuk mendukung sektor industri, terutama di negara berkembang.
“Barang dari Eropa tidak dapat bersaing dengan harga tersebut,” tegasnya.
Pedagang Batu Bara Diuntungkan oleh Efek Kebijakan Trump
Laporan dari Bloomberg turut menguatkan analisis tersebut. Dalam laporan terbarunya, Bloomberg menyebut bahwa pedagang batu bara menjadi “pemenang langka” di tengah kebijakan tarif impor baru Trump. Tarif ini menambahkan beban setidaknya 10 persen dari total biaya impor hampir semua barang yang masuk ke pasar AS. Hal ini memaksa perusahaan-perusahaan produsen di Asia untuk semakin fokus pada efisiensi biaya, terutama di sektor energi.
Penggunaan batu bara yang relatif lebih murah memungkinkan perusahaan-perusahaan manufaktur di Asia mempertahankan margin keuntungan mereka dan tetap kompetitif di pasar global meskipun menghadapi tarif ekspor yang lebih tinggi.
“Kebijakan Trump telah menciptakan peluang baru bagi pedagang batu bara, terutama dalam menghasilkan listrik dengan biaya operasional yang rendah. Perusahaan produsen di Asia diprediksi akan terus meningkatkan daya saing mereka,” tulis Bloomberg dalam laporannya.
Kebangkitan Industri Batu Bara Global: Antara Harapan dan Tantangan
Kebijakan energi yang kembali mengedepankan batu bara memang bukan tanpa kontroversi. Di tengah dorongan global untuk transisi energi bersih dan pengurangan emisi karbon, langkah Presiden Trump dinilai berseberangan dengan komitmen iklim internasional. Namun, dari sisi perdagangan dan industri, kebijakan ini menjadi katalis positif yang memberikan napas baru bagi sektor batu bara yang sempat mengalami tekanan akibat tren energi terbarukan.
Bagi Indonesia, yang masih mengandalkan batu bara sebagai salah satu kontributor utama ekspor dan sumber pendapatan negara, dinamika ini bisa menjadi peluang strategis. Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia juga tengah mendorong hilirisasi batu bara melalui gasifikasi dan penciptaan produk turunan untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Permintaan global terhadap batu bara dalam jangka panjang diprediksi akan terus menghadapi tekanan dari arah kebijakan energi ramah lingkungan dan peningkatan efisiensi energi. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan di Indonesia perlu mengambil langkah adaptif, tidak hanya dengan memanfaatkan peluang jangka pendek dari kebijakan luar negeri seperti yang dilakukan Trump, tetapi juga dengan membangun fondasi keberlanjutan industri energi nasional.
Momentum untuk Strategi Ekspor Baru
Di tengah pergeseran lanskap energi global, keputusan Presiden Trump menjadi semacam “wake-up call” bagi industri batu bara global, termasuk Indonesia. Meski bukan perubahan struktural yang langsung memengaruhi pasar, sinyal kebijakan ini telah menciptakan sentimen positif yang memperkuat posisi batu bara sebagai komoditas strategis.
Indonesia, sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia, memiliki peluang untuk memanfaatkan momentum ini guna memperkuat relasi perdagangan di kawasan Asia dan menjajaki peluang ekspor baru ke kawasan Amerika Utara. Dukungan pembiayaan, efisiensi biaya, dan strategi ekspor yang adaptif akan menjadi kunci untuk mempertahankan daya saing di tengah perubahan geopolitik dan ekonomi global.
“Kami akan terus mencermati perkembangan global, termasuk kebijakan energi di negara-negara maju, karena semua itu berpengaruh terhadap arah investasi dan perdagangan batu bara Indonesia,” pungkas Hendra.