JAKARTA - Polemik perizinan eksplorasi tambang mineral dan batu bara (minerba) di Kabupaten Aceh Selatan terus menjadi sorotan tajam masyarakat dan aktivis lingkungan. Maraknya penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi di wilayah yang dikenal dengan julukan "negeri pala" ini menuai kekhawatiran mendalam dari berbagai pihak. Pasalnya, pemberian izin tersebut dinilai berpotensi menimbulkan konflik sosial yang serius di tengah masyarakat.
Sejumlah perusahaan tambang diduga menjalankan kegiatan eksplorasi secara diam-diam, tanpa sosialisasi atau pemberitahuan terlebih dahulu kepada warga yang lahannya termasuk dalam area eksplorasi. Warga baru menyadari keberadaan aktivitas tersebut setelah lahannya secara resmi masuk ke dalam peta rencana lokasi eksplorasi, menyusul terbitnya izin eksplorasi oleh pemerintah daerah.
Fenomena ini menimbulkan keresahan besar di kalangan masyarakat Aceh Selatan, yang khawatir hak atas tanah mereka terabaikan. Apalagi, sebagian besar warga menggantungkan hidup dari pertanian dan perkebunan, termasuk tanaman pala yang menjadi komoditas andalan daerah ini.
Aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat setempat pun angkat suara. Mereka meminta Bupati Aceh Selatan untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin eksplorasi pertambangan yang telah dikeluarkan di wilayah tersebut. Evaluasi ini dianggap penting guna menghindari konflik horizontal yang bisa timbul akibat tumpang tindih kepentingan antara perusahaan tambang dengan masyarakat adat maupun petani lokal.
“Kami mendesak Bupati Aceh Selatan agar segera mengevaluasi seluruh IUP eksplorasi minerba yang telah diterbitkan. Jangan sampai masyarakat menjadi korban akibat minimnya transparansi dalam proses pemberian izin,” ungkap salah satu tokoh masyarakat Aceh Selatan.
Keresahan masyarakat kian memuncak karena mereka merasa kurang mendapatkan akses terhadap informasi yang memadai terkait aktivitas pertambangan di wilayahnya. Selama ini, sosialisasi dari perusahaan maupun pemerintah daerah dinilai sangat minim, sehingga warga tidak mengetahui apakah lahan mereka masuk dalam peta eksplorasi atau tidak.
“Banyak warga yang tiba-tiba terkejut saat mengetahui lahannya masuk dalam kawasan eksplorasi tambang, padahal tidak pernah ada pemberitahuan resmi sebelumnya,” tambah tokoh tersebut.
Selain memicu potensi konflik sosial, kegiatan eksplorasi tambang minerba juga dikhawatirkan berdampak negatif terhadap lingkungan. Aceh Selatan dikenal sebagai daerah yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan memiliki ekosistem yang masih alami. Kehadiran kegiatan tambang, terutama tanpa pengawasan ketat, dikhawatirkan bisa merusak lingkungan hidup, mencemari sumber air bersih, serta mengancam keberlanjutan pertanian masyarakat.
Menurut aktivis lingkungan, ancaman kerusakan lingkungan akibat eksplorasi tambang bukanlah hal sepele. “Jika eksplorasi ini tidak diawasi dengan ketat, bukan tidak mungkin akan terjadi kerusakan ekosistem yang berdampak panjang terhadap kehidupan warga. Padahal, Aceh Selatan memiliki potensi besar di sektor pertanian dan ekowisata yang jauh lebih ramah lingkungan,” jelas seorang aktivis lingkungan yang turut menyuarakan penolakan.
Di sisi lain, pihak pemerintah kabupaten diharapkan tidak sekadar menjadi fasilitator bagi perusahaan tambang, tetapi juga bertindak sebagai pengawas ketat agar seluruh aktivitas pertambangan berjalan sesuai aturan. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dan petani lokal tetap dilindungi.
Dorongan evaluasi IUP eksplorasi ini juga datang sebagai bentuk respons terhadap banyaknya aduan warga yang merasa hak atas tanah mereka terancam. Sebagian warga bahkan mengaku tidak pernah diberi ruang untuk berdialog atau menyampaikan pendapat sebelum izin eksplorasi diterbitkan.
“Kami tidak pernah diajak musyawarah, tiba-tiba lahan kami sudah masuk dalam wilayah eksplorasi. Ini tentu sangat merugikan kami sebagai pemilik lahan,” keluh salah seorang petani yang ditemui di kawasan Aceh Selatan.
Sebagai langkah konkret, masyarakat meminta pemerintah daerah Aceh Selatan untuk membuka data secara transparan mengenai perusahaan mana saja yang telah mengantongi IUP eksplorasi, serta wilayah mana saja yang masuk dalam rencana eksplorasi. Keterbukaan ini dinilai sangat penting agar masyarakat dapat mengetahui secara jelas nasib tanah dan lingkungannya.
Desakan ini pun menjadi ujian serius bagi kepemimpinan Bupati Aceh Selatan dalam menjaga keharmonisan wilayahnya serta menjamin keadilan bagi warganya. Jika tidak segera ditangani dengan serius, bukan tidak mungkin keresahan masyarakat akan berujung pada aksi-aksi protes yang lebih besar.
Selain itu, keterbukaan data dan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait aktivitas pertambangan sangat diperlukan demi menjaga stabilitas sosial di daerah tersebut.
“Pemerintah harus mengedepankan prinsip keterbukaan informasi publik dan melibatkan warga dalam setiap proses perizinan, agar tidak ada lagi rasa terpinggirkan,” tegas tokoh masyarakat lainnya, menyoroti perlunya transparansi dan partisipasi publik dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sebagai penutup, para tokoh masyarakat dan aktivis berharap Bupati Aceh Selatan segera mengambil langkah tegas untuk meninjau kembali seluruh izin yang telah dikeluarkan. Evaluasi ini diharapkan tidak hanya mencakup aspek administratif, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas eksplorasi tambang minerba di daerah tersebut.
“Jangan sampai kita mengorbankan masa depan lingkungan dan anak cucu kita demi kepentingan sesaat,” pungkas salah satu aktivis lingkungan.
Dengan sorotan tajam dari masyarakat dan desakan evaluasi menyeluruh, kini keputusan ada di tangan pemerintah daerah Aceh Selatan untuk menentukan arah kebijakan yang tidak hanya pro-investasi, tetapi juga pro-lingkungan dan pro-rakyat.