Minyak

Harga Minyak Anjlok 2% Akibat Ketegangan Perdagangan AS China, Sentuh Titik Terendah Sejak 2021

Harga Minyak Anjlok 2% Akibat Ketegangan Perdagangan AS China, Sentuh Titik Terendah Sejak 2021
Harga Minyak Anjlok 2% Akibat Ketegangan Perdagangan AS China, Sentuh Titik Terendah Sejak 2021

Jakarta – Harga minyak dunia mengalami penurunan signifikan hingga 2% pada awal pekan ini, mendekati level terendah dalam empat tahun terakhir. Anjloknya harga ini dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang dikhawatirkan akan menjerumuskan ekonomi global ke jurang resesi dan menekan permintaan energi, Selasa, 8 April 2025.

Pada perdagangan Senin, 7 April 2025, harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juni 2025 ditutup melemah US$ 1,37 atau 2,1% menjadi US$ 64,21 per barel. Sementara itu, minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Mei 2025 juga merosot US$ 1,29 atau 2,1%, menjadi US$ 60,70 per barel.

Penurunan ini memperpanjang tren negatif dari minggu sebelumnya, di mana kedua patokan minyak itu telah merosot sekitar 11%, menjadikannya sebagai penutupan terendah sejak April 2021.

Ketidakpastian Geopolitik Tekan Harga Minyak

Pasar minyak mengalami fluktuasi tajam selama sesi perdagangan awal pekan ini. Harga sempat anjlok lebih dari US$ 3 per barel pada perdagangan malam hari, sebelum bangkit naik lebih dari US$ 1 pada Senin pagi menyusul laporan bahwa Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan jeda tarif selama 90 hari. Namun, laporan tersebut segera dibantah oleh pejabat Gedung Putih, menyebabkan harga kembali turun ke zona merah.

“Ini menunjukkan betapa sensitifnya pasar terhadap perkembangan kebijakan perdagangan saat ini,” ujar analis energi dari PVM, Tamas Varga, yang dikutip Reuters. “Pasar kini mulai memperhitungkan potensi dampak nyata dari perang dagang terhadap permintaan minyak global.”

Aksi Balasan China dan Reaksi Global

Kekhawatiran investor semakin meningkat setelah China mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif balasan sebesar 34% terhadap barang-barang asal AS. Langkah ini diambil sebagai respons atas kebijakan tarif baru yang diluncurkan pemerintahan Trump.

Tak tinggal diam, Trump mengancam akan menaikkan tarif tambahan sebesar 50% terhadap China jika negara tersebut tidak menarik kembali tarif balasan mereka. Presiden Trump juga menegaskan bahwa “semua pembicaraan dengan China akan dihentikan” jika langkah balasan tersebut tetap diberlakukan.

Di sisi lain, Komisi Eropa ikut menanggapi dinamika ini dengan mengusulkan tarif balasan sebesar 25% terhadap sejumlah barang dari AS, menyusul kebijakan Trump terkait tarif baja dan aluminium. Hal ini semakin memperkeruh sentimen pasar terhadap prospek pertumbuhan global.

Ancaman Resesi Global Semakin Nyata

Sejumlah lembaga keuangan besar mulai memangkas proyeksi harga minyak dan meningkatkan estimasi risiko resesi. Goldman Sachs memprediksi kemungkinan resesi AS dalam 12 bulan ke depan mencapai 45%, sementara JPMorgan memperkirakan angka itu mencapai 60% secara global.

“Resesi bisa menjadi faktor utama yang menekan permintaan energi secara drastis,” demikian menurut laporan Goldman Sachs yang dikutip Reuters.

Hal senada diungkapkan Adriana Kugler, Gubernur Federal Reserve AS. Ia menyatakan bahwa sebagian inflasi baru-baru ini mungkin merupakan dampak dari antisipasi pasar terhadap kebijakan ekonomi Trump. “Prioritas utama kami adalah menjaga inflasi tetap terkendali,” ujar Kugler.

Bank sentral AS dan bank sentral utama lainnya telah menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap lonjakan inflasi. Namun, kenaikan suku bunga juga meningkatkan beban pinjaman dan berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi serta menekan permintaan energi secara keseluruhan.

Respons dari Negara Produsen Minyak

Sebagai negara produsen utama, Arab Saudi turut mengambil langkah antisipatif. Negara tersebut mengumumkan pemotongan harga jual resmi minyak mentah untuk pembeli Asia pada bulan Mei, yang menandai harga terendah dalam empat bulan terakhir.

“Langkah ini mencerminkan kekhawatiran bahwa permintaan minyak akan terpukul akibat perang tarif,” jelas Tamas Varga. “Bahkan Arab Saudi kini mulai menyadari bahwa keseimbangan pasar sedang terganggu dan mereka harus menyesuaikan strategi harga.”

Sementara itu, kelompok produsen minyak OPEC+, yang terdiri dari negara-negara anggota OPEC dan sekutunya, memutuskan untuk mempercepat rencana peningkatan produksi. Kelompok ini menargetkan untuk mengembalikan 411.000 barel per hari ke pasar pada Mei, naik dari rencana sebelumnya sebesar 135.000 barel per hari.

Para menteri OPEC+ juga mendesak anggota yang melakukan kelebihan produksi untuk menyerahkan rencana kompensasi sebelum 15 April, sebagai bentuk komitmen terhadap target produksi yang telah disepakati.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index