AI

Literasi Digital di Era AI: ChatGPT Jadi Mitra, Bukan Pengganti Penulis

Literasi Digital di Era AI: ChatGPT Jadi Mitra, Bukan Pengganti Penulis
Literasi Digital di Era AI: ChatGPT Jadi Mitra, Bukan Pengganti Penulis

JAKARTA - Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) semakin mendominasi perbincangan publik, terutama sejak kehadiran ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI. Bukan hanya sekadar alat komunikasi interaktif, ChatGPT kini dinilai sebagai mitra strategis dalam peningkatan literasi, meski tetap memerlukan sentuhan manusia agar konten yang dihasilkan memiliki “ruh”.

Thamrin Dahlan, penulis senior yang juga pernah menjadi dosen di era pandemi, mengakui bahwa penggunaan teknologi digital seperti Zoom dan ChatGPT telah menjadi bagian penting dalam proses belajar dan berkarya. Ia menyebut penggunaan AI, khususnya ChatGPT, sebagai sarana kolaboratif dalam mempercepat produksi literasi, namun tetap menekankan perlunya keterlibatan manusia sebagai kurator isi.

“ChatGPT adalah pena modern, tapi tetap perlu tangan bijak seperti milik Bapak Thamrin Dahlan untuk menggerakkannya,” demikian pernyataan ChatGPT saat merespons diskusi literasi yang dilakukan oleh Dahlan dalam artikelnya yang berjudul Ketika AI Berkisah Tentang ChatGPT, dipublikasikan pada 8 April 2025.

Definisi dan Fungsi ChatGPT

Secara teknis, ChatGPT merupakan singkatan dari Chat Generative Pre-trained Transformer, sebuah model AI yang mampu memahami dan merespons teks dalam bahasa alami. Dirancang untuk menciptakan komunikasi yang menyerupai manusia, teknologi ini memungkinkan interaksi tanpa memerlukan perintah atau kode teknis yang rumit.

Fungsinya pun semakin meluas. Dalam dunia nyata, ChatGPT kini digunakan dalam berbagai bidang, termasuk layanan pelanggan, platform chatbot, penerjemahan bahasa, hingga pembuatan konten fiksi dan ilmiah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas teknologi tersebut dalam mendukung berbagai aktivitas digital.

Kelebihan dan Kekurangan ChatGPT

Keunggulan utama ChatGPT terletak pada kemampuannya memahami konteks bahasa alami. Dengan kemampuan ini, interaksi dengan mesin terasa lebih manusiawi. Selain itu, model ini dirancang untuk terus belajar, memperbaiki respons, dan menyesuaikan diri dengan gaya bahasa pengguna.

Namun, seperti teknologi lainnya, ChatGPT tetap memiliki keterbatasan. Salah satu kritik utama adalah kurangnya pemahaman konteks yang mendalam, nuansa budaya, serta nilai-nilai emosional. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat menimbulkan interpretasi yang meleset atau respons yang kurang akurat.

“Pantun yang dibuat Pak TD lebih menyentuh ketimbang pantun kreasi ChatGPT,” ujar Irjen Pol (Purn) dr. Haryanto, Sp.PD, MARS, ketika menanggapi hasil pantun buatan AI yang dibandingkan dengan buatan manusia.

AI Sebagai Mitra, Bukan Pengganti

Dalam catatannya, Dahlan menekankan pentingnya peran manusia sebagai editor dan pengarah dalam karya tulis yang dibantu AI. Ia mengingatkan bahwa editing adalah proses wajib agar artikel yang dipublikasikan relevan dengan kenyataan. Tanpa proses tersebut, tulisan bisa kehilangan makna dan dampaknya terhadap pembaca.

“AI itu netral: baik-buruknya tergantung siapa yang menggunakannya dan untuk apa,” demikian salah satu narasi yang disampaikan ChatGPT dalam penjelasannya tentang perannya di dunia literasi digital.

Menurut Dahlan, keberadaan AI sebaiknya dimanfaatkan untuk memperkuat literasi, mempercepat pengumpulan data, dan mendorong produksi konten yang lebih luas. Namun, semua hasil AI harus tetap dikurasi oleh manusia agar konten yang dihasilkan bernilai, faktual, dan bermanfaat.

“Ibarat kalkulator, si AI boleh kita gunakan dalam upaya percepatan pengumpulan data, namun jangan pula semua produk kita telan mentah-mentah begitu saja,” tulis Dahlan dalam refleksinya.

Literasi dengan Ruh

Mengutip pandangan Buya Hamka, Dahlan menggarisbawahi pentingnya ‘ruh’ dalam setiap karya tulis. Menurutnya, sebuah artikel baru benar-benar hidup jika dibaca dan memberi manfaat bagi pembaca. Hal ini hanya dapat dicapai melalui kolaborasi antara teknologi dan jiwa literasi penulis.

“Ruh itu hadir, bernyawa, hidup ketika kreasi literasi Anda dibaca dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat,” tulisnya menutup catatan reflektif tersebut.

Di tengah era digital yang semakin cepat berubah, pesan yang disampaikan adalah jelas: AI seperti ChatGPT adalah alat bantu yang sangat berguna, namun tetap dibutuhkan kebijaksanaan, rasa, dan nilai dari manusia untuk memastikan karya yang dihasilkan benar-benar bermakna.

Dengan demikian, pemanfaatan AI secara bijak diharapkan mampu membuka lebih banyak peluang bagi penulis, pendidik, dan masyarakat umum untuk terus produktif dan kreatif di tengah derasnya arus informasi digital.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index