BUMN

Fenomena Wamen Rangkap Jabatan Komisaris BUMN Dinilai Langgar Konstitusi dan Integritas Pelayanan Publik

Fenomena Wamen Rangkap Jabatan Komisaris BUMN Dinilai Langgar Konstitusi dan Integritas Pelayanan Publik

JAKARTA - Praktik rangkap jabatan yang dilakukan sejumlah Wakil Menteri (Wamen) di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo menuai sorotan tajam. Fenomena ini dinilai mencederai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta mengancam integritas pelayanan publik yang seharusnya bersih dari benturan kepentingan.

Kritik tajam mencuat menyusul temuan bahwa beberapa Wamen tidak hanya menjalankan tugas-tugas pemerintahan, tetapi juga merangkap sebagai komisaris di badan usaha milik negara (BUMN). Praktik ini dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XXII/2019, yang menegaskan pembatasan rangkap jabatan guna menjaga profesionalitas dan integritas pejabat negara.

Salah satu contoh yang paling mencolok adalah Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kartika Wirjoatmodjo. Selain mengemban tugas sebagai Wamen BUMN, Kartika juga tercatat menjabat sebagai Komisaris di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Tidak hanya itu, Wakil Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Helvi Moraza, juga diketahui memegang posisi strategis sebagai Komisaris di PT Len Industri (Persero) serta Bank BRI.

Fenomena ini mengundang kekhawatiran dari berbagai kalangan, terutama para pemerhati hukum tata negara dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Banyak pihak menilai bahwa rangkap jabatan ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang bisa merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN.

Dinilai Cederai Amanat Konstitusi

Menurut para pengamat, tindakan para Wakil Menteri tersebut tidak hanya bermasalah secara etika pemerintahan, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi negara. Sebagaimana yang digariskan dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XXII/2019, pejabat negara dilarang merangkap jabatan lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Putusan MK tersebut secara tegas menyatakan bahwa rangkap jabatan di lingkungan pejabat publik harus dihindari demi menjaga independensi dan objektivitas dalam menjalankan tugas negara. Dalam konteks ini, jabatan sebagai Wamen yang bersifat eksekutif sudah sangat menyita perhatian dan tanggung jawab besar, sehingga rangkap jabatan di BUMN dianggap tidak sejalan dengan semangat konstitusi.

Praktik ini juga dipandang mencoreng nilai-nilai good governance, yang mengutamakan integritas, transparansi, serta akuntabilitas pejabat publik dalam mengelola urusan negara dan pelayanan kepada masyarakat.

Beban Kerja yang Tinggi dan Potensi Konflik Kepentingan

Selain melanggar konstitusi, rangkap jabatan tersebut menimbulkan kekhawatiran atas efektivitas kinerja para pejabat yang bersangkutan. Sebagai Wakil Menteri, beban kerja yang diemban sudah sangat kompleks, mulai dari penyusunan kebijakan strategis, pengawasan program pemerintah, hingga koordinasi lintas sektor.

Ketika Wamen juga menjabat sebagai komisaris BUMN, fokus mereka bisa terpecah antara menjalankan tugas negara dan mengawasi perusahaan pelat merah yang juga memerlukan dedikasi penuh. Hal ini tentu saja mengurangi efektivitas pengawasan, serta membuka celah terjadinya konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan strategis, baik di level kementerian maupun di perusahaan BUMN.

Sebab, dalam kapasitasnya sebagai komisaris, seorang pejabat negara memiliki akses langsung terhadap arah kebijakan korporasi, termasuk penggunaan dana publik dan penentuan proyek-proyek strategis nasional. Potensi benturan kepentingan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keputusan-keputusan yang diambil bisa jadi lebih memihak kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, ketimbang kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Integritas Pelayanan Publik Dipertaruhkan

Integritas pelayanan publik menjadi sorotan utama dalam polemik ini. Dengan rangkap jabatan yang terjadi, publik mempertanyakan sejauh mana pejabat negara dapat memberikan pelayanan terbaik tanpa terganggu oleh kepentingan jabatan lain yang mereka sandang.

Fenomena ini juga bertolak belakang dengan semangat reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan pemerintah. Dalam upaya memperbaiki tata kelola pemerintahan, Presiden Joko Widodo berkali-kali menegaskan pentingnya membangun pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Namun kenyataannya, rangkap jabatan para Wamen justru memberikan kesan sebaliknya. Alih-alih fokus pada pelayanan publik, mereka malah disibukkan dengan urusan di perusahaan BUMN yang seharusnya dapat diemban oleh profesional independen.

Dalam konteks ini, publik berhak mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap prinsip-prinsip reformasi birokrasi dan integritas pelayanan publik.

Desakan Evaluasi dan Penyelesaian Hukum

Melihat dinamika ini, banyak kalangan mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap rangkap jabatan yang terjadi di kalangan Wamen. Tidak sedikit pula yang mendesak agar aparat penegak hukum dan lembaga pengawas, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), turun tangan menyelidiki potensi pelanggaran hukum yang terjadi.

Langkah evaluasi ini dinilai penting untuk menjaga kredibilitas pemerintah sekaligus memastikan bahwa setiap pejabat publik bekerja sepenuh hati untuk kepentingan rakyat, tanpa terganggu oleh kepentingan pribadi atau kelompok.

Selain itu, peninjauan ulang terhadap regulasi yang mengatur peran dan tanggung jawab pejabat publik juga diperlukan guna mencegah kejadian serupa di masa depan. Penegakan hukum yang tegas atas putusan MK harus menjadi rujukan utama agar tidak terjadi pelanggaran konstitusi yang terus berulang.

Fenomena rangkap jabatan yang melibatkan sejumlah Wakil Menteri di kabinet Presiden Joko Widodo kembali membuka perdebatan tentang tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Praktik ini dinilai menciderai amanat konstitusi, mencoreng nilai-nilai integritas pelayanan publik, serta menimbulkan potensi konflik kepentingan yang serius.

Kasus seperti yang melibatkan Kartika Wirjoatmodjo sebagai Wamen BUMN sekaligus Komisaris BRI, dan Helvi Moraza sebagai Wamen UKM sekaligus Komisaris PT Len Industri dan BRI, memperlihatkan bahwa regulasi yang ada perlu diperketat agar pejabat publik dapat menjalankan tugasnya dengan optimal dan profesional.

Penegakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XXII/2019 harus dijadikan pijakan utama untuk mencegah pelanggaran serupa di masa mendatang. Dengan begitu, integritas dan profesionalitas pelayanan publik dapat tetap terjaga, sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index