JAKARTA – Industri pertambangan mineral dan batu bara (minerba) di Indonesia tengah menghadapi ketidakpastian besar menyusul rencana pemerintah menaikkan tarif royalti secara signifikan. Langkah ini disebut sebagai upaya pemerintah menggenjot penerimaan negara, namun dinilai berpotensi membebani pelaku usaha, menurunkan daya saing, hingga memicu penutupan tambang dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Rencana tersebut bakal diatur melalui revisi dua Peraturan Pemerintah (PP) yang akan segera dirilis usai libur Lebaran 2025, yaitu PP No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta PP No. 15/2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memastikan penerapan tarif royalti baru akan meningkatkan kontribusi PNBP dari sektor minerba. “Kami pastikan PNBP akan meningkat setelah revisi PP diberlakukan,” ujar Bahlil. Meski begitu, ia enggan mengungkapkan secara rinci berapa besar tambahan penerimaan negara yang diharapkan.
Kementerian ESDM sendiri menargetkan PNBP dari sektor minerba sebesar Rp124,5 triliun pada 2025. Angka ini justru lebih rendah 11,38% dibandingkan realisasi PNBP tahun 2024 yang mencapai Rp140,5 triliun, dan terus menurun dari Rp172,1 triliun pada 2023 serta Rp180,4 triliun pada 2022.
Penurunan ini diklaim sebagai dampak dari tren harga komoditas global yang masih dalam kondisi bearish. Artinya, meski royalti dinaikkan, tidak ada jaminan penerimaan negara akan melonjak signifikan.
Pelaku Industri Khawatir Kenaikan Tarif Terlalu Tinggi
Pelaku industri menyatakan kekhawatiran mendalam atas kebijakan kenaikan tarif royalti ini. Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan bahwa industri akan tetap menghormati kebijakan pemerintah, namun tak bisa menutupi potensi dampak negatif yang besar.
“Setiap persen kenaikan royalti akan langsung memengaruhi biaya operasional dan mengurangi profitabilitas perusahaan,” ujar Hendra, Sabtu (29/3/2025). Ia menyebut dampaknya tidak akan sama antarperusahaan, karena biaya produksi, beban pajak, dan skala operasi berbeda-beda.
Menurut data IMA, lebih dari 1.500 perusahaan sektor pertambangan akan terdampak kebijakan ini. “Kalau yang mengajukan RKAB 2024, perusahaan mineral lebih dari 700, batu bara lebih dari 800,” imbuhnya.
Lebih jauh, Hendra menyoroti bahwa tarif royalti minerba di Indonesia kini jauh lebih tinggi dibanding negara-negara produsen lainnya. Misalnya, tarif royalti tembaga dalam revisi PP diusulkan naik menjadi 10% hingga 17% untuk bijih, 7% hingga 8% untuk konsentrat, dan 4%–6% untuk katoda. Padahal, di Filipina tarifnya hanya 4%, Australia 2,5% hingga 7,5%, dan Brasil 2%.
Sementara itu, royalti emas di Indonesia direncanakan naik hingga 16%, dibandingkan dengan hanya 4% di Filipina dan 2,5% hingga 5% di Australia. Begitu pula dengan nikel: bijih nikel diusulkan dikenai tarif progresif 14% hingga 19%, dari sebelumnya 10%.
Pemerintah Klaim Biaya Tambang di Indonesia Lebih Murah
Menanggapi kritik tersebut, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, menegaskan bahwa meskipun tarif royalti di Indonesia tinggi, biaya pertambangan secara keseluruhan di Indonesia lebih rendah dibanding negara lain.
“Cash flow kita lebih rendah dibanding negara lain. Jadi kalau royaltinya agak tinggi ya wajar saja. Kita ini negara yang sedang membangun,” ujarnya di Kantor Kementerian ESDM, Senin (24/3/2025).
Tri meminta semua pihak mendukung kebijakan tersebut demi mendorong pembangunan nasional dan menambah penerimaan negara dari sektor sumber daya alam.
APNI Memiliki Banyak Penambang Terancam Tutup, PHK Mengintai
Namun, pandangan berbeda datang dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menyebutkan bahwa banyak perusahaan nikel akan memilih menghentikan operasi karena tidak mampu menanggung beban biaya yang melonjak.
“Kalau ditetapkan royalti 14% saja, ada beberapa IUP yang sudah berpikir untuk tutup saja, karena sudah minus. Apalagi kalau 19%? Bisa makin banyak yang gulung tikar,” ujar Meidy dalam diskusi publik bertajuk “Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan”.
Menurut Meidy, biaya produksi tambang sudah sangat tinggi akibat berbagai kebijakan lain, seperti kenaikan tarif PPN menjadi 12%, kenaikan biaya biodiesel B40, kenaikan UMR minimal 6,5%, hingga kewajiban retensi dana hasil ekspor (DHE) 100% selama 12 bulan.
Tak hanya itu, beban tambahan lain seperti global minimum tax (GMT) 15%, iuran tetap, PBB, reklamasi pascatambang, serta pembangunan smelter membuat margin keuntungan semakin tergerus.
“Kenaikan royalti akan memicu PHK massal karena perusahaan tambang tidak sanggup lagi menanggung beban. Terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja,” jelas Meidy.
Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini akan mengurangi minat investasi, menghambat ekspansi usaha, serta menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global.
Ahli Hukum Pertambangan: Pendapatan Negara Tidak Sebanding Risiko
Kritik juga datang dari Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar, yang menyebutkan bahwa tambahan penerimaan negara dari kenaikan royalti tidak sebanding dengan potensi kerugian yang harus ditanggung industri.
“Risikonya bisa sangat besar, dari penurunan produksi hingga penutupan operasi. Ini jelas berdampak buruk bagi ekonomi nasional,” ujarnya.
Bisman menyarankan agar pemerintah tidak buru-buru menaikkan tarif royalti. “Upaya peningkatan pendapatan negara bisa ditempuh lewat perbaikan tata kelola, pemberantasan tambang ilegal, dan menutup kebocoran PNBP,” tambahnya.
Masa Depan Pertambangan di Ujung Tanduk
Dengan semua pertimbangan tersebut, masa depan sektor pertambangan Indonesia kini tengah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, pemerintah berupaya keras mendongkrak PNBP demi mendukung pembangunan nasional. Namun di sisi lain, tekanan terhadap pelaku usaha kian berat dan dikhawatirkan bisa mematikan salah satu sektor tulang punggung perekonomian Indonesia.
Keputusan final atas kenaikan tarif royalti diperkirakan akan diumumkan tak lama setelah libur Lebaran 2025. Para pelaku industri kini hanya bisa berharap agar kebijakan tersebut mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan negara dan keberlangsungan usaha.