JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menaikkan tarif royalti di sektor mineral guna meningkatkan kontribusi penerimaan negara dari industri pertambangan. Namun, kebijakan ini menuai kritik dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) yang mengingatkan potensi dampaknya terhadap daya saing industri nikel nasional di pasar global.
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, menilai bahwa sebelum menaikkan royalti, pemerintah harus mempertimbangkan lebih dulu kondisi pasar dunia. Pasalnya, kebijakan ini dapat mempengaruhi daya saing Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar.
"Ya, mungkin harus dilihat dulu bahwa sisi globalnya dulu. Karena kondisi kita ini kita harus memikirkan bahwa end market kita kan ada di dunia luar," ujar Meidy dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia, Rabu 26 Maret 2025.
Dampak Kenaikan Royalti terhadap Industri Nikel
Kenaikan tarif royalti ini dikhawatirkan akan menambah beban bagi pelaku usaha tambang nikel di Indonesia. Saat ini, tarif royalti nikel di Indonesia sudah berada di angka 10%, yang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Jika dinaikkan menjadi 14-19%, Indonesia akan semakin sulit bersaing dengan negara lain yang memiliki tarif royalti lebih rendah.
"Jika royalti dinaikkan hingga 19%, ini bisa berdampak signifikan terhadap daya saing nikel Indonesia di pasar internasional. Investor juga mungkin akan mempertimbangkan ulang untuk berinvestasi di sektor ini," tambah Meidy.
Menurut data yang dihimpun, beberapa negara penghasil nikel utama dunia seperti Filipina, Kanada, dan Rusia memiliki kebijakan tarif royalti yang lebih kompetitif. Filipina, misalnya, hanya menerapkan tarif 2% hingga 5%, sementara Rusia dan Kanada menggunakan sistem royalti berbasis keuntungan (base profit), yang lebih fleksibel dibandingkan dengan tarif tetap yang berlaku di Indonesia.
Pemerintah Berharap Peningkatan Penerimaan Negara
Pemerintah tetap optimistis bahwa kenaikan royalti ini akan membawa manfaat bagi perekonomian nasional. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor tambang, yang diharapkan dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat.
“Kami ingin memastikan bahwa industri pertambangan memberikan kontribusi maksimal bagi perekonomian nasional. Namun, tentu saja, kami juga akan mempertimbangkan dampaknya terhadap investasi dan daya saing industri,” ujar Bahlil.
Namun, pelaku industri meminta agar pemerintah tidak hanya fokus pada penerimaan negara semata, tetapi juga mempertimbangkan kelangsungan usaha para penambang dan daya saing Indonesia di pasar global.
Harapan Pelaku Industri dan Evaluasi Kebijakan
APNI berharap pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan ini dengan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk pelaku industri dan investor. Jika royalti dinaikkan secara signifikan tanpa strategi yang matang, dikhawatirkan justru akan menghambat pertumbuhan sektor nikel dan menurunkan daya tarik investasi di Indonesia.
Dengan adanya pro dan kontra ini, diharapkan pemerintah dapat mencari solusi terbaik yang menguntungkan negara tanpa mengorbankan industri tambang. Keputusan akhir mengenai kenaikan tarif royalti masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut oleh pihak terkait.