JAKARTA – Ribuan mahasiswa yang tergabung dari berbagai universitas di Surabaya, seperti Universitas Airlangga (Unair), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA), Universitas 17 Agustus (Untag), Universitas Pembangunan Nasional (UPN), dan Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) menggelar aksi besar-besaran di depan Gedung DPRD Jawa Timur, Jalan Indrapura. Demo ini merupakan bentuk penolakan terhadap kebijakan efisiensi anggaran pendidikan yang dianggap merugikan masa depan pendidikan di Indonesia.
Aksi yang awalnya berlangsung secara damai ini berujung pada kericuhan setelah sejumlah mahasiswa membakar keranda bertuliskan 'Indonesia Gelap', sebagai bentuk protes atas keputusan pemangkasan anggaran pendidikan. Ketegangan meningkat ketika polisi berusaha memadamkan api yang telah membakar keranda dan banner-banner tuntutan dengan menggunakan water cannon. Kejadian ini memicu aksi saling lempar botol antara mahasiswa dan polisi.
Awal Aksi: Penolakan Terhadap Kebijakan Pemerintah
Ribuan mahasiswa yang berpartisipasi dalam aksi ini mulai bergerak ke DPRD Jawa Timur sejak pagi. Mereka datang dengan membawa berbagai poster dan spanduk yang berisi kecaman terhadap kebijakan pemerintah, terutama terkait dengan pemangkasan anggaran untuk sektor pendidikan. Salah satu orator dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menyampaikan, "Kami menyoroti keputusan sektor pendidikan yang tidak becus sama sekali. Kami menuntut agar dewan mendengarkan aspirasi kami. Kami datang ke sini bukan tanpa membawa apa-apa, tetapi kami membawa tuntutan!" seru orator yang disambut riuh suara mahasiswa.
Beberapa peserta aksi menulis kalimat-kalimat tegas dalam poster mereka, seperti "Bubarkan Negara", "Prabowo Impoten", dan "Kami Butuh Pendidikan Gratis, Bukan Makan Siang Gratis", yang menggambarkan kekecewaan mahasiswa terhadap pemerintah saat ini. Selain itu, beberapa mahasiswa juga menuliskan "Batalkan Efisiensi Anggaran Pendidikan" dan "Pemerintah Bablas Anggaran Dipangkas, Konstitusi Dilibas" yang disertai gambar kartun kritis terhadap kebijakan pemerintahan.
Aksi Pembakaran Keranda Memicu Ketegangan
Kondisi semakin memanas ketika sekelompok mahasiswa memutuskan untuk membakar keranda bertuliskan "Indonesia Gelap" sebagai simbol protes terhadap kebijakan efisiensi yang dinilai mengancam kualitas pendidikan di Indonesia. Mereka juga membakar beberapa spanduk dan banner yang berisi tuntutan agar pemerintah segera membatalkan kebijakan tersebut.
Untuk mempercepat pembakaran, mahasiswa tersebut membawa botol berisi bensin yang mereka tuangkan ke keranda dan banner. Seiring api yang semakin membesar, petugas kepolisian yang berada di lokasi langsung turun tangan untuk memadamkan api. Namun, tindakan tersebut justru memicu kemarahan sejumlah mahasiswa yang mulai melemparkan botol dan objek lainnya ke arah petugas.
"Jangan terpancing, jangan terpancing!" seru orator yang mencoba menenangkan massa. Meskipun ada upaya untuk meredakan situasi, ketegangan di antara mahasiswa dan polisi semakin memuncak.
Kericuhan Pecah, Polisi Gunakan Water Cannon
Saat mahasiswa terus melontarkan benda ke arah polisi, pihak kepolisian terpaksa menggunakan kendaraan water cannon untuk memukul mundur massa yang terus berusaha mendekat dan merangsek masuk ke halaman Gedung DPRD. Water cannon yang menyemprotkan air dengan tekanan tinggi semakin memperburuk suasana. Namun, meskipun ada upaya dari polisi untuk menenangkan dengan pengeras suara, massa mahasiswa yang semakin tidak terkendali justru semakin menggila.
"Tenang! Kawan-kawan, kondusif! Setop melemparkan botol atau kayu. Kawan-kawan, saya minta kondusif!" teriak orator yang berusaha menenangkan massa mahasiswa, namun sebagian besar tidak bisa menahan amarah mereka.
Situasi semakin memanas ketika mahasiswa mulai melemparkan botol air mineral, kayu, dan berbagai benda lainnya ke arah aparat keamanan. Aksi saling lempar ini membuat polisi terpaksa mengambil langkah tegas untuk menjaga keamanan di sekitar kawasan DPRD Jawa Timur.
Dialog dengan Ketua DPRD Jatim Tidak Memadai
Kericuhan semakin parah ketika Ketua DPRD Jawa Timur, Musyafak Rouf, yang datang dari Jombang untuk menemui mahasiswa, tidak dapat memenuhi harapan demonstran. Mahasiswa yang ingin berdiskusi langsung dengan pejabat pemerintah merasa kecewa karena Musyafak hanya muncul di balik pagar kawat. Meski demikian, Musyafak sempat naik ke mobil komando untuk menandatangani tuntutan bersama mahasiswa.
Namun, mahasiswa menuntut lebih. Mereka meminta Musyafak untuk menelepon Presiden Prabowo, Ketua DPR RI Puan Maharani, atau Sekretaris Kabinet Mayor Teddy, sebagai langkah konkret untuk menyampaikan aspirasi mereka. Dalam suasana tegang tersebut, Musyafak didampingi oleh Sekretaris DPRD Jatim, Ali Kuncoro, mencoba menghubungi Mayor Teddy melalui telepon.
Namun, sambungan telepon yang dilakukan oleh Musyafak dan Ali Kuncoro ternyata ditolak. "Sayangnya, Mayor Teddy menolak panggilan ini, kawan-kawan," ujar Aulia Thaariq Akbar, Presiden BEM Unair, yang memegang ponsel Musyafak. Suara "huu" dari mahasiswa pun menggema di lokasi, menandakan kekecewaan mereka.
Ketua DPRD Jatim Akui Tidak Punya Nomor Kontak Petinggi Pemerintah
Musyafak kemudian menjelaskan bahwa dirinya tidak memiliki nomor telepon langsung dari Presiden Prabowo maupun Ketua DPR RI Puan Maharani. "Maaf, saya tidak punya nomor teleponnya Mbak Puan, saya tidak punya nomor telepon Pak Prabowo. Demi Allah saya orang Islam, tidak punya," ujar Musyafak, yang tampak bingung dengan situasi yang berkembang.
Keputusan Musyafak untuk menghubungi Mayor Teddy melalui Sekretaris DPRD juga gagal, dan situasi semakin tegang. Mahasiswa yang hadir di lokasi tidak merasa puas dengan hasil pertemuan tersebut dan kembali melontarkan kekecewaan mereka.
Aksi Berlangsung Hingga Sore, Massa Mahasiswa Terus Bertahan
Aksi yang berlangsung sejak pagi hari ini semakin panjang dan melelahkan. Meskipun pihak kepolisian telah berusaha menenangkan massa dengan berbagai upaya, termasuk penyemprotan air dari water cannon, mahasiswa tetap bertahan dan melanjutkan protes mereka. Mereka bersikukuh menuntut agar pemerintah segera membatalkan kebijakan efisiensi anggaran pendidikan yang mereka anggap merugikan masa depan bangsa.
Demonstrasi ini menjadi simbol perlawanan bagi mahasiswa yang merasa bahwa hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak sedang terancam. Mereka menuntut agar sektor pendidikan di Indonesia mendapatkan perhatian serius dan tidak terus-menerus dipotong anggarannya demi kepentingan lainnya.