Dunia teknologi saat ini tengah diramaikan dengan kehadiran chatbot kecerdasan buatan asal Cina, DeepSeek. Peluncurannya yang kontroversial telah mengguncang Silicon Valley dan menyebabkan saham Nvidia, raksasa teknologi cip asal Amerika Serikat, terjun bebas hingga 16,86% dalam satu hari. Hal ini seolah menandai sebagai babak baru persaingan dalam pengembangan AI chatbot.
DeepSeek, yang diluncurkan oleh sebuah startup dengan nama yang sama pada Mei 2023, kini telah memperkenalkan model terbarunya, DeepSeek R1. Model ini disebut-sebut mampu menyaingi beberapa aplikasi chatbot terkemuka asal Amerika Serikat, seperti ChatGPT dari OpenAI dan Gemini dari Google. Dengan dukungan teknologi canggih yang diterapkan, seperti Mixture of Experts (MoE) dan model Chain of Thought (CoT), DeepSeek R1 menawarkan performa, akurasi, dan kemampuan analisa yang memukau.
Pendiri DeepSeek, Liang Wenfeng, percaya bahwa kehadiran DeepSeek R1 bukan hanya sekedar bersaing di pasar, tetapi juga membawa inovasi orisinal yang telah lama dinantikan. “AI Cina tidak bisa hanya jadi pengikut selamanya. Kita sering mengatakan ada kesenjangan satu sampai dua tahun antara AI Cina dan AS, tetapi perbedaan yang sebenarnya adalah antara orisinalitas dan imitasi,” ujar Liang dalam wawancaranya dengan media Cina Waves pada Juli 2024.
Sejak diluncurkan, DeepSeek R1 telah menjadi bahan perbincangan hangat. Aplikasi ini dirancang dengan basis model bahasa besar (LLM) DeepSeek V3 dan dikembangkan menggunakan cip Nvidia A100. Hal ini dimungkinkan sebelum munculnya pembatasan ekspor teknologi semikonduktor cip AS ke Cina. Keunggulan lainnya adalah sifatnya yang open-source, memungkinkan pengembang dari seluruh dunia untuk mengakses, memodifikasi, dan mengembangkan kode pemrograman yang ada. Ini menjadikannya alternatif yang lebih terjangkau dibandingkan produk generative AI chatbots dari perusahaan besar yang berbasis di AS.
Dalam beberapa tahun terakhir, AS memang mendominasi pangsa pasar produk generative AI chatbots. Produk-produk unggulan seperti ChatGPT dari OpenAI, Copilot dari Microsoft, Gemini dari Google, hingga Claude dari Anthropic telah memimpin industri ini. Namun, dengan munculnya DeepSeek R1, peta persaingan mulai mengalami perubahan signifikan.
Sebuah laporan dari “2024 AI Index Report” yang dirilis oleh Stanford University mengungkapkan bahwa meskipun dalam satu dekade terakhir jumlah startup AI asal Cina mencapai 1.446, jumlah tersebut masih jauh di bawah dominasi AS yang mencapai 5.509 startup. Namun, kehadiran DeepSeek R1 dan beberapa inovasi lainnya di bidang AI dari Cina menunjukkan bahwa mereka berambisi untuk menjadi pelopor, bukan sekadar pengikut.
Namun, di balik inovasi dan gebrakan DeepSeek, muncul juga kekhawatiran terkait dampak yang ditimbulkan bagi hubungan antara AS dan Cina dalam bidang teknologi. Beberapa pihak di AS bahkan mengusulkan pembatasan yang lebih ketat, serupa dengan yang dialami TikTok. Bahkan, NASA telah melarang penggunaan DeepSeek di lingkungannya, dengan alasan potensi ancaman terhadap keamanan.
Sementara itu, di tengah persaingan yang semakin ketat ini, perusahaan-perusahaan teknologi di Asia lainnya juga tidak ingin ketinggalan. Baru-baru ini, Alibaba meluncurkan AI Qwen 2.5, yang diklaim lebih canggih dibandingkan DeepSeek. Persaingan di sektor ini semakin semarak dengan berbagai inovasi yang terus bermunculan.
Dengan perkembangan pesat dan perhatian global yang berhasil diraih oleh DeepSeek, sekaligus tantangan dan peluang yang mengiringinya, masa depan industri AI di kancah internasional kian menarik untuk diikuti. Para pelaku industri kini terus menerus memantau setiap langkah yang diambil dalam revolusi teknologi yang begitu dinamis ini.
Di tengah persaingan yang semakin memanas, satu hal yang pasti—perubahan dan inovasi akan terus menjadi pendorong utama kemajuan teknologi global. Dengan langkah besar yang diambil oleh DeepSeek dan lainnya, tidak ada yang dapat memastikan akan seperti apa lanskap AI dalam beberapa tahun mendatang, namun yang jelas, persaingannya kini semakin sengit dan tak terduga.