Keberlangsungan industri pertambangan nikel Tanah Air kembali menghadapi tantangan setelah muncul kabar tentang kenaikan royalti nikel. Pemerintah diisukan berencana menaikkan royalti dari 10% menjadi 15%, suatu langkah yang disambut resah oleh para penambang nikel. Informasi ini pertama kali disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey dalam rapat pleno dengan Badan Legislasi DPR RI pada Rabu, 22 Januari 2025.
Namun, hingga saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku tidak memiliki informasi terkait kebijakan kenaikan royalti tersebut. Direktur Pembinaan Program Minerba Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq, menyatakan bahwa kebijakan itu tidak berada di bawah kendali kementeriannya. "Saya belum dapat infonya karena kebetulan bukan di bawah saya. Jadi, saya tidak ikut dalam pembahasannya dan belum tahu mengenai hal tersebut," jelas Julian di Kompleks DPR RI, Kamis, 23 Januari 2025.
Industri Nikel dalam Sorotan
Kabar kenaikan royalti bukan satu-satunya kebijakan yang mengundang keluhan dari pelaku industri nikel. Meidy Katrin Lengkey dari APNI mengungkapkan bahwa para pengusaha tambang nikel merasa dihimpit oleh sejumlah kebijakan baru pemerintah sejak awal 2025. "Kemarin kami dapat isu lagi royalti yang tadi saya sebut 10% akan naik 15%," kata Meidy saat memberikan keterangan kepada media.
Lebih lanjut, Ia juga menyoroti penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% yang dinilainya memberatkan industri pertambangan. Menurut Meidy, lonjakan PPN sangat memengaruhi harga alat berat yang dikategorikan sebagai barang mewah, yang secara langsung memengaruhi biaya operasional yang harus ditanggung oleh penambang. "Di awal tahun kami dibuka dengan PPN 12% yang sangat berdampak kepada pertambangan. Karena alat berat itu masuk dalam barang mewah yang akhirnya harga alat berat itu sudah naik," ungkap Meidy.
Dampak Kebijakan Lain yang Dirasakan
Selain itu, kebijakan penerapan Bahan Bakar Minyak (BBM) biosolar campuran 40% (B40) juga menyulut perhatian. Implementasi campuran berbasis bahan bakar nabati dari sawit ini diperkirakan akan menambah beban produksi. "Minggu kedua di Januari kami didampak lagi dengan B40. Mau nggak mau kami cost produksi bertambah," jelas Meidy yang mewakili suara penambang nikel di Indonesia.
Tidak hanya terkait royalti dan BBM, kebijakan terbaru mengenai devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam juga menambah tantangan baru bagi industri nikel. Pemerintah menetapkan masa simpan DHE diperpanjang dari minimal 3 bulan menjadi 1 tahun penuh. Meidy menekankan bahwa aturan baru ini memberatkan arus kas dan likuiditas perusahaan. "Di minggu ketiga, barusan ini kami ditambah lagi dengan DHE hasil ekspor 100% 1 tahun. Cost-nya makin bertambah," ujar Meidy sembari menyuarakan kekhawatirannya.
Reaksi dari Pelaku Industri
Menanggapi isu dan kebijakan yang berpotensi menekan industri nikel, para pelaku industri meminta pemerintah untuk mempertimbangkan ulang dampak yang bisa ditimbulkan, terutama terhadap daya saing nikel Indonesia di pasar global. Para penambang berharap agar pemerintah membuka ruang dialog sebelum menerapkan kebijakan yang berpotensi memberatkan mereka.
"Kami berharap pemerintah lebih peka terhadap situasi ini dan membuka forum diskusi yang melibatkan semua pemangku kepentingan," kata seorang penambang yang meminta anonim. Suara keresahan para penambang ini nyata adanya, mengingat nikel adalah salah satu komoditas strategis Indonesia di pasar dunia.
Potensi Dampak Kedepannya
Kebijakan yang tidak diantisipasi dengan bijak berpotensi menggerus margin keuntungan perusahaan tambang dan mempengaruhi kelangsungan industri secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, situasi ini juga bisa berdampak pada kemampuan industri nikel untuk berinvestasi dalam inovasi dan meningkatkan kapasitas produksi agar tetap kompetitif di pasar internasional.
Sebagai produsen utama nikel dunia, kebijakan di tanah air sangat berpengaruh pada dinamika pasar global. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan bijak dalam menentukan kebijakan yang tidak hanya mendorong penerimaan negara, tetapi juga menjaga keberlangsungan dan daya saing industri.
Dengan isu yang cukup sensititif ini, diharapkan pihak terkait dapat segera memberikan kepastian dan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak, sehingga industri nikel Indonesia dapat terus memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional dan menjaga komoditas unggulan ini tetap kompetitif di panggung global.