Bank

Indonesia Dapat Kritikan Tajam dari Bank Dunia Terkait Penerimaan Pajak: Digitalisasi Jadi Solusi

Indonesia Dapat Kritikan Tajam dari Bank Dunia Terkait Penerimaan Pajak: Digitalisasi Jadi Solusi
Indonesia Dapat Kritikan Tajam dari Bank Dunia Terkait Penerimaan Pajak: Digitalisasi Jadi Solusi

Jakarta – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan kekhawatiran atas kritik pedas dari Bank Dunia terkait kinerja penerimaan pajak di Indonesia. Dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Luhut menyampaikan bahwa Bank Dunia menyamakan Indonesia dengan Nigeria—sebuah perbandingan yang menunjukkan buruknya sistem pemungutan pajak di tanah air.

"World Bank itu kritik kita bahwa kita salah satu negara yang meng-collect pajaknya tidak baik. Kita disamakan dengan Nigeria," ungkap Luhut dengan nada serius, Kamis, 9 Januari 2025.

Masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak. Luhut mengungkapkan bahwa dari lebih dari 100 juta kendaraan bermotor yang terdaftar, hanya sekitar 50 persen yang membayar pajak. "Jadi nda bisa bayangkan kepatuhan kita itu sangat rendah, sangat rendah," tambahnya.

Menghadapi situasi ini, DEN memandang digitalisasi sebagai solusi krusial untuk mengoptimalisasi penerimaan negara. Pemanfaatan teknologi diyakini memiliki potensi menambah pendapatan negara hingga 6,4 persen dari produk domestik bruto (PDB), atau setara Rp 1.500 triliun.

Sebagai bagian dari upaya tersebut, Luhut menyatakan dukungannya terhadap sistem Coretax yang baru saja diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan pengawasan dan akurasi data wajib pajak, dengan pencatatan dan verifikasi transaksi secara real-time.

"Kita mendukung program Coretax yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan di mana kami sebenarnya ter-trigger karena briefing kami dengan World Bank itu," lanjut Luhut menjelaskan motivasi di balik implementasi Coretax.

Sistem Coretax memberikan kemudahan dalam seluruh administrasi perpajakan, mulai dari registrasi, penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), hingga layanan pembayaran. Dengan teknologi ini, pemerintah dapat memantau data pembayaran secara lebih efisien dan efektif mendeteksi ketidakpatuhan wajib pajak.

"Kalau ada yang memasukkan jumlah aset, jumlah mobil, atau jumlah rumah lebih sedikit dibandingkan apa yang sebenarnya dia punya, ini nanti bisa kelihatan langsung terdeteksi di Coretax. Tentunya ini nanti bertahap secara proses melalui development dari Coretax," kata Luhut.

Upaya ini diharapkan dapat memperbaiki sistem perpajakan Indonesia dan meningkatkan penerimaan negara. Penerapan Coretax diharapkan menjadi langkah awal menuju sistem perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel. Dengan pendekatan ini, diharapkan Indonesia dapat meningkatkan reputasi internasionalnya dalam hal efisiensi pemungutan pajak, lepas dari bayang-bayang perbandingan dengan negara lain yang mengalami masalah serupa.

Implementasi sistem berbasis digital ini memerlukan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat. Diharapkan, dengan adanya sistem ini, kesadaran dan kepatuhan wajib pajak akan mengalami peningkatan yang signifikan, menjadi tonggak baru bagi perekonomian Indonesia.

"Ini adalah langkah maju yang penting, dan kami berharap dapat melihat peningkatan dalam penerimaan pajak yang pada akhirnya akan mendukung pembangunan nasional," tutup Luhut, penuh optimisme terhadap masa depan perpajakan di Indonesia.

Melalui digitalisasi, Indonesia bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang modern dan efisien, mampu memaksimalkan potensi pendapatan negara, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Langkah ini tidak hanya sebagai respons atas kritik internasional tetapi juga sebagai investasi jangka panjang dalam memperkuat fondasi ekonomi negara.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index