Dokter

Dokter Ingatkan Risiko BPA dari Makanan Kaleng

Dokter Ingatkan Risiko BPA dari Makanan Kaleng
Dokter Ingatkan Risiko BPA dari Makanan Kaleng

JAKARTA - Di balik kepraktisan makanan kaleng yang banyak dikonsumsi masyarakat modern, tersembunyi potensi ancaman kesehatan yang kerap luput dari perhatian. Para dokter dan ahli gizi mengingatkan, makanan kaleng bisa menjadi sumber utama paparan senyawa kimia berbahaya bernama Bisphenol A (BPA), yang dampaknya tidak bisa dianggap enteng, terutama bagi kelompok rentan seperti ibu hamil dan anak-anak.

Isu mengenai BPA sejauh ini memang kerap dikaitkan dengan wadah galon air minum berbahan polikarbonat. Namun, berdasarkan hasil studi ilmiah terbaru, justru makanan kaleng menyumbang kadar BPA yang jauh lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Kanada mencatat bahwa konsentrasi BPA dalam produk tuna kaleng dapat mencapai 534 nanogram per gram (ng/g). Angka ini bahkan melampaui ambang batas aman yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI, yaitu sebesar 600 mikrogram per kilogram (0,6 bagian per juta atau bpj).

Keprihatinan terhadap fakta tersebut disampaikan oleh Dr. Karin Wiradarma, Sp.GK, seorang spesialis gizi klinik. Ia menegaskan bahwa data global menunjukkan sebagian besar makanan kaleng memang mengandung BPA. “73 persen sampel makanan kaleng di berbagai negara mengandung BPA, sementara makanan segar hanya 7 persen. Ini menunjukkan makanan kaleng menjadi jalur utama paparan BPA pada manusia,” jelasnya.

Lebih jauh, Dr. Karin menggarisbawahi bahwa risiko kesehatan akibat konsumsi makanan kaleng bukan sekadar teori semata. Ia merujuk pada riset dari Harvard School of Public Health yang dilakukan pada tahun 2011. Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa konsumsi sup kaleng selama lima hari berturut-turut dapat meningkatkan kadar BPA dalam urin hingga 1.000 persen. “Paparan BPA dari makanan kaleng bukan sekadar teori, tapi sudah terbukti secara klinis,” tegasnya.

Sementara itu, Prof. Ahmad Sulaeman, Guru Besar Keamanan Pangan dari IPB, menjelaskan lebih dalam mengenai bagaimana BPA bisa berpindah dari kemasan ke dalam makanan. Menurutnya, lapisan epoksi yang digunakan pada kaleng makanan mengandung BPA dan dapat larut ke dalam isi kaleng, terlebih jika produk tersebut disimpan dalam waktu lama atau dipanaskan. “Semakin lama kontak, semakin tinggi migrasinya,” ujar Prof. Ahmad.

Sebagai perbandingan, ia menyebutkan bahwa kandungan BPA dalam galon air minum berbahan polikarbonat justru jauh lebih kecil. Berdasarkan penelitian, kandungannya hanya sekitar 0,128 hingga 0,145 ng/g. “Ini ribuan kali lebih rendah dari makanan kaleng. Fokus kita seharusnya pada sumber paparan utama, bukan yang minor,” tambahnya.

Menyikapi kondisi ini, Badan POM menyatakan bahwa pengawasan terhadap BPA dalam makanan kaleng masih perlu ditingkatkan. Data lembaga tersebut menunjukkan bahwa regulasi tentang batas maksimal BPA yang berlaku saat ini belum cukup efektif untuk benar-benar melindungi konsumen. Karena itu, mereka tengah mendorong sejumlah revisi kebijakan. “Kami mendorong revisi regulasi yang lebih ketat, termasuk verifikasi mandatori dan pelabelan risiko pada produk kaleng,” ungkap juru bicara Badan POM.

Baik Dr. Karin maupun Prof. Ahmad sepakat bahwa edukasi konsumen menjadi kunci dalam mengurangi paparan BPA dari makanan kaleng. Langkah sederhana seperti mengurangi konsumsi makanan kemasan dan lebih memilih bahan pangan segar dapat memberikan dampak besar terhadap kesehatan jangka panjang. Terutama bagi kelompok dengan kondisi sensitif, seperti ibu hamil, bayi, dan anak-anak.

“Ibu hamil dan anak-anak khususnya harus menghindari makanan kaleng karena BPA bisa mengganggu perkembangan hormonal,” imbau Dr. Karin, mengingatkan potensi efek endokrin dari zat kimia ini.

Dengan berbagai temuan dan peringatan dari para ahli tersebut, sudah saatnya masyarakat lebih cermat dalam memilih makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Kepraktisan makanan kaleng memang menggoda, terutama di tengah gaya hidup serba cepat. Namun, kesadaran akan risiko kesehatan akibat BPA harus menjadi pertimbangan penting sebelum menjadikannya sebagai pilihan utama.

Lebih luas lagi, isu ini menunjukkan pentingnya peninjauan ulang terhadap fokus pengawasan keamanan pangan di Indonesia. Alih-alih hanya terpaku pada kemasan air minum, perhatian dan pengawasan semestinya lebih diarahkan pada produk dengan potensi risiko yang lebih tinggi. Makanan kaleng, dengan kandungan BPA yang jauh melampaui galon polikarbonat, semestinya menjadi prioritas utama dalam regulasi dan edukasi publik.

Kesadaran konsumen, dukungan ilmiah dari para ahli, serta tindakan tegas dari regulator akan menjadi kombinasi penting untuk menekan risiko kesehatan akibat paparan BPA dalam kehidupan sehari-hari.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index