JAKARTA - Meski kalender menunjukkan bulan Agustus—periode yang secara umum dikenal sebagai puncak musim kemarau di Indonesia—sebagian wilayah justru masih mengalami curah hujan yang tinggi. Tak hanya gerimis, hujan lebat bahkan disertai petir dan angin kencang masih rutin mengguyur daerah seperti Jabodetabek, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, hingga Maluku.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat hujan dengan intensitas lebat hingga ekstrem dalam tiga hari terakhir. Di Maluku, tercatat curah hujan mencapai 205,3 mm/hari, Kalimantan Barat 89,5 mm/hari, Jawa Tengah 83 mm/hari, dan Jabodetabek 121,8 mm/hari. Situasi ini menimbulkan pertanyaan publik: mengapa masih hujan deras di musim kemarau?
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menegaskan bahwa fenomena ini masih tergolong normal secara klimatologis. Dalam istilah ilmiah, kondisi ini dikenal sebagai kemarau basah, yang terjadi akibat dinamika atmosfer yang kompleks.
"Ini bukan anomali ekstrem, melainkan hasil dari dinamika atmosfer yang kompleks," jelas Guswanto.
Salah satu faktor utama yang memicu hujan di tengah musim kemarau adalah fenomena Indian Ocean Dipole (IOD). Guswanto menerangkan bahwa saat ini IOD berada pada fase negatif (-0,6), ditandai dengan suhu permukaan laut yang hangat di Samudra Hindia bagian timur. Keadaan ini memicu peningkatan suplai uap air ke wilayah Indonesia, sehingga memperbesar peluang terjadinya hujan. Ia juga menekankan bahwa kondisi ini tidak dipengaruhi oleh fenomena La Nina.
Selain IOD, kombinasi faktor atmosfer lain juga berkontribusi pada munculnya hujan di sejumlah daerah. Salah satunya adalah gelombang Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang atmosfer tropis yang saat ini aktif melintasi wilayah Sumatera hingga Jawa bagian barat. Gelombang ini berperan dalam memperkuat pembentukan awan-awan hujan di wilayah tersebut.
Tak hanya itu, keberadaan Bibit Siklon Tropis 90S yang terpantau di Samudra Hindia barat daya Bengkulu juga menjadi pemicu. Bibit siklon ini menyebabkan terbentuknya area konvergensi angin di sepanjang Pulau Jawa, yang mendukung pertumbuhan awan hujan lebih lanjut.
Suhu muka laut (Sea Surface Temperature/SST) yang tetap hangat di perairan Indonesia turut memperkaya kandungan uap air di atmosfer. Ini menambah bahan bakar bagi pembentukan awan hujan. Bersamaan dengan itu, aktivitas gelombang atmosfer lain seperti Kelvin, Rossby Ekuator, serta Low-Frequency turut memperkuat proses konvektif, yaitu proses naiknya udara lembap ke atmosfer yang kemudian membentuk awan hujan.
Kondisi ini tidak datang tanpa prediksi. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati sebelumnya telah menyampaikan bahwa anomali curah hujan di atas normal sebenarnya sudah terjadi sejak Mei 2025 dan diperkirakan akan berlanjut hingga Oktober 2025. Dalam konferensi pers daring pada awal Juli, ia menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kondisi ini adalah melemahnya Monsun Australia.
"Melemahnya Monsun Australia yang berasosiasi dengan musim kemarau turut menyebabkan suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat dan hal ini berkontribusi terhadap terjadinya anomali curah hujan tersebut," ujar Dwikorita.
Ia juga menambahkan bahwa gelombang Kelvin yang aktif di wilayah pesisir utara Jawa, serta perlambatan dan belokan angin di bagian barat dan selatan Jawa, turut berperan dalam menumpuk massa udara yang berujung pada hujan. Labilitas atmosfer lokal dan konvergensi angin yang kuat pun turut mempercepat pembentukan awan hujan.
BMKG dan sejumlah pusat iklim dunia juga menyebut bahwa kondisi iklim global, seperti ENSO (fenomena suhu permukaan laut di Samudra Pasifik) dan IOD (di Samudra Hindia), diprediksi akan tetap berada di fase netral sepanjang semester kedua 2025. Dengan demikian, hujan di musim kemarau ini bukan sesuatu yang mengejutkan.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, turut mengonfirmasi bahwa pola curah hujan yang terjadi saat ini masih konsisten dengan prakiraan cuaca yang dikeluarkan BMKG pada bulan Juli lalu.
"Betul, masih sesuai prediksi," kata Ardhasena.
Pakar Klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, juga menggarisbawahi potensi curah hujan tinggi pada bulan Agustus. Dalam unggahan di media sosial X , ia menyebutkan bahwa intensitas hujan diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dibanding bulan Juli, terutama pada dasarian ketiga, yaitu rentang tanggal 21 hingga akhir Agustus.
"Nanti Agustus itu 2 kali lipat hujan yang sekarang. Terjadi di dasarian ketiga," tulisnya.
Erma menambahkan bahwa hujan deras tersebut diperkirakan akan terjadi secara lebih merata di berbagai wilayah Indonesia. Vorteks atau pusaran angin diprediksi akan berada lebih dekat dengan wilayah Indonesia, memperkuat intensitas hujan secara signifikan.
"Oleh karena itu pemerintah agar bersiap dan memitigasi banjir meluas di Jabodetabek, yang berpotensi menimbulkan kerugian Rp2-10 triliun jika terjadi banjir selama seminggu. Masyarakat agar waspada, terutama yang tinggal di sekitar DAS," imbaunya.
Fenomena hujan di musim kemarau, meskipun terdengar bertolak belakang, kini menjadi bagian dari dinamika cuaca yang semakin kompleks. Masyarakat diimbau untuk tetap waspada, memperbarui informasi cuaca harian, dan mengambil langkah mitigasi, terutama di wilayah yang rawan banjir dan longsor. Indonesia mungkin tengah memasuki pola iklim baru yang menuntut kesiapsiagaan yang lebih tinggi.