Perbankan

Peran Perbankan dalam Program Makan Bergizi Gratis

Peran Perbankan dalam Program Makan Bergizi Gratis
Peran Perbankan dalam Program Makan Bergizi Gratis

JAKARTA - Di tengah upaya pemerintah mempercepat pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) untuk pelajar, sektor keuangan nasional kini mulai dilibatkan untuk memperkuat pendanaan program strategis tersebut. Keterlibatan ini ditujukan untuk memastikan kelangsungan dan perluasan cakupan program, dengan dukungan pembiayaan dari perbankan dan pasar modal.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama pelaku industri keuangan saat ini sedang menyusun skema pembiayaan komprehensif yang diharapkan mampu menopang program MBG, baik dari sisi operasional hingga pengembangan jangka panjang. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan, pembahasan skema tersebut telah memasuki tahap finalisasi.

“Saat ini, sektor perbankan dan pasar modal sedang melakukan finalisasi dari skema pembiayaan yang dapat diberikan bagi operasional pelaksanaan program makan bergizi gratis ini,” ujar Mahendra dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Skema yang dirancang meliputi pembiayaan operasional (OPEX), pembiayaan ulang (refinancing), serta pembiayaan untuk peningkatan kapasitas jangka panjang (APEX). Dukungan finansial ini diharapkan mampu mendorong percepatan implementasi program MBG agar target pemerintah dapat segera tercapai.

“Kami melihat bahwa pelaksanaannya, realisasinya akan dapat segera dimulai dalam waktu singkat,” tambah Mahendra.

Sebagai mitra strategis pemerintah, sejumlah bank besar telah menyatakan kesiapannya untuk ikut ambil bagian. Bank Mandiri, misalnya, menyatakan komitmennya dalam mendukung program MBG sebagai bagian dari upaya mendorong kualitas sumber daya manusia di Indonesia.

Corporate Secretary Bank Mandiri, M. Ashidiq Iswara mengatakan, pihaknya menantikan petunjuk teknis dari pemerintah dan regulator sebagai panduan pelaksanaan pembiayaan program ini.

"Terkait pembiayaan program ini, kami menunggu petunjuk teknis dari Pemerintah dan regulator," jelas Ashidiq.

Bank Mandiri juga tercatat telah aktif mendukung sektor pangan nasional dengan menyalurkan pembiayaan ke berbagai sektor terkait, serta memperkuat peran lebih dari 100 ribu Mandiri Agen. Ini menjadi langkah strategis untuk memudahkan pelaku usaha mikro dan kecil dalam mengakses layanan keuangan, termasuk yang berkaitan dengan ekosistem program MBG.

Namun, keterlibatan sektor keuangan ini turut mengundang perhatian para ekonom. Mereka menilai, meskipun program MBG membawa tujuan jangka panjang yang positif, tetap ada sejumlah aspek yang perlu dicermati secara cermat agar pelaksanaannya tidak menimbulkan risiko keuangan yang tak terkelola.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menilai bahwa program MBG secara ideal tetap harus mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sumber pembiayaan utama, mengingat sifatnya yang merupakan inisiatif pemerintah.

"Namun demikian, mengingat ini program pemerintah maka tumpuan utamanya tetap harus dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," ujarnya.

Meski demikian, Eko juga tidak menampik bahwa keterlibatan sektor keuangan bisa dilakukan, asalkan menggunakan pendekatan bisnis yang rasional. Ia menekankan pentingnya analisis kelayakan usaha terhadap aktor-aktor dalam ekosistem MBG, seperti penyedia katering, jasa distribusi, hingga penyedia alat dan bahan makanan.

“Dalam tataran praktis, harus ada mekanisme yang jelas, agar jika kelayakan bisnis ditolak industri jasa keuangan, tidak lantas dianggap tidak mendukung MBG,” jelas Eko.

Senada dengan itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menggarisbawahi bahwa ada peluang manfaat bisnis dari keterlibatan perbankan dalam program MBG. Pasalnya, skema ini memberikan kepastian pasar bagi pelaku usaha yang terlibat di dalamnya.

"Pengusaha dalam ekosistem MBG sudah pasti ada pembelinya yaitu pemerintah melalui program MBG. Jadi secara bisnis sudah bisa masuk," katanya.

Namun, menurut Huda, ada pula tantangan besar dari sisi kemampuan pelaku usaha untuk membayar pinjaman. Penetapan harga sebesar Rp10.000 per porsi, katanya, membuat margin keuntungan relatif kecil bagi setiap aktor usaha. Ini membuat keberlangsungan pembiayaan menjadi sangat tergantung pada kuantitas produksi.

"Harus ada kuantitas yang besar guna menutup pembayaran bunga. Jika tidak, ada beban yang ditanggung oleh pemilik usaha di program MBG," kata Huda.

Lebih jauh, ia menekankan pentingnya jaminan keberlanjutan program MBG agar dapat menjadi pertimbangan bank dalam menyalurkan pembiayaan, terlebih untuk pinjaman yang bersifat jangka panjang (multiyears).

"Ketika ada kepastian dalam jangka 5 tahun, bank tentu bisa membiayai dengan tenang," tambahnya, seraya menyebut bahwa saat ini belum semua wilayah tercakup dalam cakupan program MBG.

Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Budi Frensidy, menyebut bahwa kontribusi belanja program MBG terhadap perekonomian maupun sektor perbankan saat ini masih relatif kecil.

"Hingga akhir semester I tahun ini, belanja untuk MBG tidak besar yaitu hanya sekitar Rp 5 triliun," sebutnya.

Menurut Budi, nilai ini belum cukup signifikan untuk mendorong pertumbuhan kredit bank secara substansial. Ia berharap, realisasi belanja dan dampak program MBG bisa meningkat pada paruh kedua tahun ini.

"Sepertinya manfaat MBG juga belum sesuai harapan. Semoga kondisi ini membaik di semester ini," tutupnya.

Dengan segala potensi dan tantangan tersebut, langkah melibatkan sektor keuangan dalam program MBG menjadi hal yang strategis namun juga menuntut kehati-hatian. Kolaborasi yang solid antara pemerintah, regulator, dan pelaku industri jasa keuangan sangat krusial agar manfaat program benar-benar maksimal, tanpa mengorbankan prinsip keberlanjutan finansial.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index