JAKARTA - Peringatan dini kembali dikeluarkan terkait kondisi cuaca maritim di sejumlah wilayah Indonesia. Potensi gelombang tinggi menjadi perhatian utama dalam periode 23–26 Juli 2025, terutama bagi aktivitas pelayaran dan nelayan tradisional. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat peningkatan kecepatan angin yang berdampak langsung terhadap tinggi gelombang di berbagai perairan.
Pada Rabu, 23 Juli 2025, angin di wilayah utara Indonesia terpantau bertiup dari tenggara ke barat daya dengan kecepatan antara 5 hingga 25 knot. Sementara itu, angin di wilayah selatan umumnya berembus ke arah tenggara dengan kekuatan sekitar 20 knot. Dalam pernyataan resminya, BMKG menyoroti bahwa “kecepatan angin tertinggi terpantau di Selat Malaka bagian utara.”
Akibat kondisi angin yang demikian, gelombang laut dengan ketinggian mencapai 4 meter diprediksi berpotensi terjadi di beberapa wilayah. Wilayah yang diperkirakan terdampak meliputi Selat Malaka bagian utara, kawasan Samudra Hindia barat Aceh, Kepulauan Nias, serta perairan di barat Bengkulu. Selain itu, wilayah selatan Indonesia dari Banten hingga Jawa Timur, termasuk perairan selatan Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), juga masuk dalam daftar daerah yang diperkirakan mengalami gelombang tinggi 2,5 hingga 4 meter.
Selain gelombang ekstrem tersebut, terdapat pula perairan lain yang diprediksi mengalami gelombang dengan tinggi sedang, yakni antara 1,25 hingga 2,5 meter. Wilayah-wilayah tersebut antara lain Laut Natuna Utara, Laut Jawa bagian barat, timur, dan tengah, Laut Bali, Laut Sulawesi bagian timur, Laut Maluku, serta beberapa bagian Laut Arafuru. Kawasan lain seperti Selat Karimata bagian selatan, Samudra Hindia selatan Nusa Tenggara Timur, Samudra Pasifik utara Maluku dan Papua Barat, serta perairan utara Papua dan Papua Barat Daya juga termasuk dalam daftar.
BMKG menekankan pentingnya kewaspadaan bagi semua pihak yang melakukan aktivitas di laut, terutama mereka yang menggunakan perahu nelayan kecil. Untuk kapal jenis ini, angin dengan kecepatan lebih dari 15 knot dan gelombang di atas 1,25 meter dinilai berisiko tinggi.
Sementara itu, kapal tongkang disarankan waspada ketika angin berembus lebih dari 16 knot dan tinggi gelombang mencapai 1,5 meter. Tidak hanya kapal kecil, armada besar seperti ferry, kapal kargo, hingga kapal pesiar pun diminta meningkatkan kewaspadaan.
“Kecepatan angin lebih dari 21 knot dan tinggi gelombang 2,5 meter menjadi batas risiko bagi kapal ferry,” demikian disebutkan dalam peringatan dini tersebut. Untuk kapal kargo dan kapal pesiar, kondisi dianggap berisiko ketika angin menembus 27 knot dengan gelombang laut setinggi 4 meter.
Peringatan ini merupakan bagian dari langkah mitigasi risiko kecelakaan laut dan kerugian ekonomi yang dapat terjadi akibat perubahan cuaca ekstrem. BMKG mengimbau pelaku pelayaran untuk rutin memperbarui informasi cuaca maritim sebelum melaut, serta melakukan evaluasi rute pelayaran secara berkala.
Selain informasi teknis, masyarakat pesisir juga diimbau agar tidak melakukan aktivitas rekreasi di laut tanpa memperhatikan laporan cuaca terkini. Kejadian-kejadian cuaca ekstrem belakangan ini disebutkan semakin kerap muncul, terutama akibat dinamika atmosfer dan pemanasan laut yang turut memengaruhi pola angin dan arus laut.
Peringatan gelombang tinggi yang berlaku hingga 26 Juli ini menunjukkan bagaimana faktor-faktor meteorologis dapat berubah cepat dan membawa dampak luas. Oleh sebab itu, BMKG juga mendorong kerja sama lintas sektor seperti operator pelabuhan, dinas perhubungan, serta komunitas nelayan dan pelaku pariwisata bahari untuk saling berbagi informasi dan koordinasi terkait perkembangan cuaca.
Ke depan, penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan untuk lebih memperhatikan faktor keselamatan dalam setiap aktivitas kelautan. Teknologi pemantauan cuaca yang semakin canggih diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk meminimalkan risiko kecelakaan laut yang disebabkan oleh ketidaksiapan menghadapi kondisi ekstrem.
Kondisi maritim yang dinamis menuntut kesiapsiagaan dari seluruh unsur yang bergantung pada laut, baik dari sisi ekonomi, transportasi, maupun keamanan. Terlebih bagi kawasan Indonesia yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan, penguatan literasi cuaca laut serta pengambilan keputusan berbasis data menjadi keharusan.