JAKARTA - Lonjakan jumlah investor ritel domestik dalam beberapa tahun terakhir menjadi penanda penting transformasi pasar modal Indonesia. Namun, pertumbuhan pesat ini belum cukup untuk menggoyang dominasi investor asing yang masih menduduki porsi terbesar dalam kepemilikan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Per Juni 2025, BEI mencatat jumlah investor pasar modal Indonesia mencapai 16,99 juta. Dari total tersebut, sebanyak 16,94 juta adalah investor ritel domestik. Peningkatan ini sangat signifikan bila dibandingkan dengan 2019, di mana jumlah investor pasar modal Indonesia baru mencapai sekitar 2,5 juta sebelum pandemi COVID-19 melanda.
Meski terjadi lonjakan dari sisi jumlah, data kepemilikan menunjukkan bahwa investor ritel domestik hanya menguasai sekitar 18,2% dari total efek yang tercatat di BEI. Kepemilikan efek masih didominasi oleh institusi, baik dari dalam negeri maupun asing.
Fakta ini menunjukkan bahwa peningkatan partisipasi ritel belum mampu menyaingi dominasi asing yang masih menguasai hampir setengah dari pasar. Per Juni 2025, investor asing tercatat memiliki 45,91% kepemilikan saham di pasar modal Indonesia. Walau menurun dari angka 63,79% pada tahun 2015, persentase ini tetap menandakan posisi kuat investor asing di kancah bursa nasional.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy, mengatakan bahwa komposisi kepemilikan pasar saham mulai bergeser sejak pandemi 2020. Jika pada 2019 investor asing masih menguasai 51,85% saham, maka pada 2020 turun menjadi 49,21%. Perubahan ini menurutnya menjadi sinyal positif dari soliditas basis investor domestik.
“Dengan demikian, basis investor domestik pada pasar modal Indonesia menjadi lebih solid dan dapat menjadi cushion yang lebih baik jika terjadi tekanan eksternal,” kata Irvan.
Ia menambahkan bahwa peningkatan kepemilikan oleh investor domestik turut ditopang oleh meningkatnya literasi keuangan masyarakat, termasuk keberhasilan edukasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik otoritas maupun pelaku industri.
Dari sisi aktivitas perdagangan, investor ritel domestik menyumbang sekitar 44% dari total transaksi hingga pertengahan 2025. Ini menjadikan mereka sebagai kontributor terbesar dari sisi jumlah transaksi di pasar modal.
Namun demikian, masih ada catatan tersendiri mengenai sebaran dan bobot transaksi ritel tersebut. Pengamat pasar modal Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menyoroti bahwa transaksi investor domestik masih menyebar pada banyak saham, tidak terkonsentrasi pada saham-saham besar.
“Asing hanya di saham-saham dengan kapitalisasi besar, yang jumlahnya mungkin hanya sekitar sepuluh hingga belasan, sehingga efeknya bisa jauh lebih besar,” jelas Budi.
Direktur Infovesta Utama, Parto Kawito, turut memberi catatan bahwa meski volume dan frekuensi transaksi investor ritel tinggi, dampaknya terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belum terlalu signifikan.
“Kalau hanya 44% transaksi, mestinya dari nilai transaksi karena biasanya, investor ritel hanya beli saham-saham yang nominalnya kecil hingga menengah. Kalau volume dan frekuensi tinggi, akan menguntungkan bursa tapi belum tentu mendongkrak IHSG karena IHSG tergantung dari kenaikan atau penurunan harga dan floating saham,” ujar Parto.
Dalam pandangan lain, pengamat pasar modal Irwan Ariston menyatakan bahwa meskipun partisipasi meningkat, kontribusi nilai transaksi investor domestik masih tergolong minoritas dibandingkan dengan investor asing. Menurutnya, fenomena ini dapat dianalisis lebih dalam dengan melihat instrumen investasi yang saat ini lebih menarik minat investor ritel.
“Dengan maraknya influencer di bidang keuangan yang banyak memberikan masukan untuk melakukan diversifikasi investasi seperti kripto, saham ataupun indeks luar negeri, ini mulai mempengaruhi preferensi khususnya generasi muda,” terang Irwan.
Fenomena digitalisasi dan kehadiran berbagai platform investasi global juga disebut menjadi salah satu penyebab investor muda tidak hanya terfokus pada pasar modal domestik. Banyak dari mereka yang mulai menjajaki aset-aset baru, dari saham luar negeri hingga instrumen derivatif internasional.
Dengan kondisi tersebut, pasar modal Indonesia kini berada di titik persimpangan. Di satu sisi, pertumbuhan investor ritel menunjukkan adanya penetrasi keuangan yang membaik. Di sisi lain, kekuatan investor asing masih besar, baik dari sisi kepemilikan maupun pengaruh terhadap indeks utama.
Pemerintah dan regulator ke depan perlu memperkuat basis investor lokal tidak hanya dari jumlah, tetapi juga dari kekuatan modal, konsistensi investasi, dan pemahaman terhadap instrumen pasar yang lebih luas. Hal ini penting agar stabilitas pasar modal tidak terlalu tergantung pada pergerakan dana asing yang volatil.
Dengan edukasi dan insentif yang tepat, bukan tidak mungkin ke depan investor domestik akan memiliki peran lebih dominan, tak hanya dalam frekuensi, tetapi juga dalam struktur kepemilikan yang selama ini masih berat sebelah.