JAKARTA - Meskipun pertengahan Juni 2025 lalu telah ditetapkan sebagai awal musim kemarau untuk wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), kondisi cuaca yang terjadi justru menunjukkan anomali. Bukannya kering dan cerah sebagaimana musim kemarau biasanya, sejumlah daerah di NTB justru diguyur hujan lebat, bahkan hingga menimbulkan banjir. BMKG menyebut fenomena ini sebagai kemarau basah musim kemarau yang tetap diselingi dengan hujan intensitas tinggi akibat ketidakstabilan atmosfer.
Kondisi ini menjadi perhatian utama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah NTB. Melalui keterangannya, Ketua Tim Data dan Analisis Stasiun Klimatologi BMKG NTB, Bastian Andarino, menjelaskan bahwa suhu muka laut yang masih hangat menjadi penyebab utama dari anomali cuaca tersebut.
“Suhu laut yang hangat meningkatkan penguapan, dan uap air ini kemudian menjadi bahan baku pembentukan awan hujan. Maka, meski seharusnya kita memasuki musim kemarau, justru banyak awan hujan yang terbentuk,” ujar Bastian.
Bastian menambahkan bahwa kondisi ini tak hanya memicu hujan biasa, tetapi juga hujan ekstrem yang disertai petir dan angin kencang. Awan-awan jenis komulonimbus, yang dikenal sebagai pemicu cuaca ekstrem, semakin sering terbentuk di wilayah NTB, termasuk di wilayah perkotaan seperti Mataram yang beberapa hari lalu sempat dilanda banjir.
Cuaca Tak Menentu, Risiko Hidrometeorologi Meningkat
Tak hanya suhu laut yang tinggi, kelembapan udara yang tinggi dan labilitas atmosfer yang meningkat turut memperparah kondisi. Kombinasi tiga faktor ini menciptakan situasi cuaca yang sangat tidak stabil, dan membuka peluang terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan angin kencang secara tiba-tiba.
“Kondisi atmosfer seperti ini sangat mendukung terbentuknya awan hujan berbahaya. Itulah mengapa kita tetap waspada meski secara kalender sudah masuk musim kemarau,” kata Bastian menegaskan.
Ia juga menjelaskan bahwa anomali semacam ini bukanlah kejadian langka, terutama dalam konteks perubahan iklim global. Perubahan pola cuaca, suhu laut, dan intensitas hujan merupakan bagian dari dinamika atmosfer yang harus terus dimonitor.
Cuaca Ekstrem Diprediksi Masih Akan Berlanjut
BMKG memprediksi bahwa cuaca ekstrem di NTB ini belum akan berakhir dalam waktu dekat. Menurut Bastian, potensi hujan lebat, angin kencang, dan petir masih cukup tinggi hingga satu minggu ke depan. Oleh karena itu, BMKG mengimbau seluruh masyarakat, khususnya yang berada di wilayah rawan bencana, untuk tetap waspada dan menghindari aktivitas luar ruang yang tidak mendesak.
“Kemarau bukan berarti bebas hujan. Dan hujan bukan berarti musibah—selama kita bisa mengantisipasi dengan bijak. Yang penting adalah kesiapsiagaan dalam menghadapi kondisi cuaca yang dinamis,” ujar Bastian.
Pihak BMKG juga menegaskan pentingnya memanfaatkan berbagai kanal informasi resmi yang tersedia, baik melalui aplikasi mobile, situs web BMKG, maupun media sosial. Dengan mengikuti perkembangan cuaca harian, masyarakat bisa lebih siap menghadapi kemungkinan buruk yang ditimbulkan cuaca ekstrem.
Imbauan Mitigasi Dini untuk Pemerintah dan Masyarakat
Selain memberikan peringatan dini, BMKG juga mengajak pemerintah daerah dan warga NTB untuk aktif melakukan mitigasi. Langkah ini penting guna mengurangi potensi kerugian akibat cuaca yang tidak menentu.
Mitigasi yang dimaksud antara lain berupa edukasi publik mengenai bahaya banjir mendadak, sistem peringatan dini di tingkat desa dan kecamatan, serta penyiapan jalur evakuasi bagi daerah rawan longsor atau banjir.
“Pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dalam menyiapkan diri menghadapi potensi bencana hidrometeorologis. Edukasi dan kesadaran menjadi senjata utama dalam situasi seperti ini,” terang Bastian.
Langkah-langkah preventif seperti pembersihan saluran air, monitoring lereng yang rawan longsor, hingga simulasi evakuasi perlu dilakukan secara berkala, terutama di musim dengan pola cuaca tak menentu seperti sekarang.
Waspada, Tapi Jangan Panik
Dalam menghadapi fenomena cuaca seperti ini, BMKG menekankan bahwa masyarakat perlu waspada namun tetap tenang. Cuaca ekstrem bisa diprediksi dan dampaknya dapat diminimalisir jika ada kesiapan yang baik dari semua pihak.
Bastian mengingatkan bahwa musim kemarau bukan lagi berarti langit cerah dan cuaca panas seperti di masa lalu. Perubahan iklim global telah membuat pola musim menjadi semakin sulit diprediksi.
“Masyarakat harus menyadari bahwa pola musim sudah tidak bisa lagi dipahami secara hitam-putih. Yang penting adalah bagaimana kita tetap adaptif terhadap perubahan yang terjadi,” pungkasnya.
Dengan cuaca yang tidak menentu dan potensi bencana yang tinggi, kewaspadaan kolektif menjadi kunci utama untuk menjaga keselamatan warga NTB dari dampak buruk anomali cuaca yang diprediksi masih akan berlanjut hingga beberapa hari ke depan.