Perbankan

DBS Soroti Ketatnya Likuiditas Perbankan RI

DBS Soroti Ketatnya Likuiditas Perbankan RI
DBS Soroti Ketatnya Likuiditas Perbankan RI

JAKARTA - Ketatnya likuiditas menjadi tantangan utama sektor perbankan Indonesia di pertengahan tahun 2025. Situasi ini mendorong perbankan untuk lebih berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman, bahkan memengaruhi arah strategi investasi institusi besar seperti DBS.

Senior Investment Strategist DBS, Joanne Goh, menyoroti kondisi ini sebagai faktor kunci yang memengaruhi kehati-hatian perbankan nasional dalam kegiatan pembiayaan. Dalam forum DBS Chief Investment Officer (CIO) Insights 2H25 bertema The Global Pivot, ia menjelaskan bahwa kondisi likuiditas yang ketat membuat banyak bank bersikap selektif dalam pemberian kredit.

Strategi Bertahan Perbankan: Pegang Surat Berharga, Kurangi Risiko Kredit

Alih-alih mendorong ekspansi kredit, bank-bank di Indonesia kini lebih cenderung menempatkan dana mereka pada surat berharga, khususnya instrumen Bank Indonesia. Menurut Goh, keputusan ini menunjukkan kecenderungan perbankan untuk mengamankan likuiditas terlebih dahulu ketimbang memperbesar eksposur risiko dari kredit.

“Itu sebabnya mereka tidak banyak menyalurkan kredit,” kata Goh menambahkan.

Sikap ini dinilai sebagai respons wajar atas kondisi moneter dan makroekonomi yang tengah berlangsung. Dengan ketatnya likuiditas, preferensi untuk menahan aset likuid dan aman seperti surat berharga lebih dikedepankan ketimbang menyalurkan dana ke sektor riil.

Dukungan Pemerintah Bisa Jadi Katalis Positif

Meski demikian, Goh optimistis bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dapat menjadi pemicu positif untuk membalikkan arah likuiditas perbankan ke depannya. Program-program penyaluran kredit kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pembiayaan konsumen diyakini dapat menjadi motor penggerak baru.

“Di sisi lain, beberapa program dari pemerintah seperti mendorong penyaluran kredit dan lain sebagainya akan bisa mendorong lebih banyak pinjaman, baik kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) maupun kredit konsumen,” jelasnya.

Program insentif dan stimulus kredit yang digulirkan pemerintah dinilai akan membantu sektor perbankan mendapatkan kepercayaan diri untuk kembali aktif menyalurkan pembiayaan secara selektif. Ini termasuk kebijakan fiskal dan moneter yang mengarahkan sumber daya ke sektor produktif masyarakat bawah dan pelaku usaha skala kecil.

Preferensi DBS: Bank dengan Likuiditas Kuat Jadi Favorit

Dalam menentukan arah investasinya, DBS juga menunjukkan sikap selektif yang senada. Goh menyebut bahwa bank-bank yang masih memiliki likuiditas memadai akan menjadi preferensi utama DBS.

“Jadi, dalam hal perbankan dan likuiditas, kami hanya mempertimbangkan bahwa beberapa bank yang memiliki, yang bisa, yang cukup likuid —ya, merekalah yang kami lebih sukai,” pungkas Goh.

Pernyataan ini menegaskan pentingnya kekuatan likuiditas sebagai indikator utama dalam penilaian risiko investasi perbankan. Artinya, bank dengan posisi kas yang kuat, pengelolaan aset-liabilitas yang sehat, dan eksposur risiko rendah akan lebih diunggulkan oleh investor.

Implikasi Lebih Luas bagi Stabilitas Keuangan

Ketatnya likuiditas dalam sistem perbankan tidak hanya berdampak pada sektor pembiayaan, tetapi juga dapat memengaruhi transmisi kebijakan moneter, pertumbuhan kredit, dan pemulihan ekonomi secara menyeluruh. Ketika bank menahan ekspansi kredit, maka kegiatan konsumsi dan produksi juga bisa ikut melambat.

Kondisi ini mendorong otoritas moneter dan fiskal, termasuk Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, untuk terus mencermati perkembangan likuiditas secara berkala. Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh adalah optimalisasi instrumen pasar uang, seperti reverse repo dan fasilitas likuiditas jangka pendek, agar bank tetap dapat menjaga kelancaran arus kas tanpa mengorbankan ekspansi bisnis.

Peran BI dan Pemerintah Masih Kunci

Berkaitan dengan itu, Bank Indonesia juga terus berupaya menjaga kecukupan likuiditas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan makroprudensial. Misalnya, pelonggaran giro wajib minimum (GWM), insentif likuiditas makroprudensial, dan dukungan terhadap sistem pembayaran digital yang lebih efisien.

Sementara itu, pemerintah pun secara aktif memperkuat permodalan UMKM melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR), subsidi bunga, serta transformasi digitalisasi koperasi dan usaha mikro. Semua inisiatif ini diharapkan dapat menjadi pendukung utama agar sektor riil tetap berjalan meski tekanan likuiditas belum sepenuhnya reda.

Kewaspadaan Masih Jadi Kunci

Di tengah lanskap ekonomi global yang tidak menentu dan kondisi domestik yang masih dalam pemulihan pasca-pandemi, kewaspadaan menjadi prinsip utama dalam pengelolaan keuangan, baik di level perbankan maupun kebijakan negara. Ketatnya likuiditas bukan sekadar tantangan, tetapi juga sinyal bagi sektor keuangan untuk memperkuat fondasi dan mengelola risiko secara cermat.

Sikap selektif dalam menyalurkan kredit, strategi menahan surat berharga, dan kepercayaan terhadap bank yang kuat menjadi sorotan utama dari DBS dalam memandang masa depan sektor perbankan Indonesia. Semakin cepat respons terhadap tantangan likuiditas dilakukan oleh semua pemangku kepentingan, maka semakin besar pula peluang pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dapat terwujud.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index