JAKARTA - Momentum liburan musim panas di Amerika Serikat kembali menjadi pemicu utama pergerakan harga minyak mentah global. Peningkatan aktivitas perjalanan masyarakat pada perayaan Hari Kemerdekaan AS (Fourth of July) telah mendorong lonjakan permintaan energi, yang kemudian berdampak pada kenaikan harga minyak dunia di awal pekan ini.
Pada perdagangan Senin, 7 Juli 2025, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus 2025 mengalami kenaikan sebesar 93 sen atau sekitar 1,4 persen, menjadikannya diperdagangkan di level US$67,93 per barel di New York Mercantile Exchange.
Sementara itu, minyak mentah Brent untuk kontrak pengiriman September 2025 juga mengalami lonjakan signifikan. Harga Brent naik US$1,28 atau setara 1,9 persen, menjadi US$69,58 per barel di London ICE Futures Exchange. Kenaikan ini mencerminkan ekspektasi pasar terhadap lonjakan konsumsi bahan bakar yang terjadi dalam beberapa hari terakhir.
Menurut laporan yang dirilis industri travel pekan lalu, jumlah warga Amerika Serikat yang melakukan perjalanan darat dan udara dalam rangka libur Empat Juli mencapai rekor tertinggi. Lonjakan ini menjadi sinyal kuat bagi pasar bahwa permintaan energi, terutama bahan bakar transportasi, tengah mengalami peningkatan tajam.
Pola musiman seperti liburan nasional memang kerap memicu fluktuasi harga minyak global. Namun, pergerakan kali ini juga dipandang sebagai sinyal pemulihan permintaan yang lebih luas di sektor transportasi, khususnya di kawasan Amerika Utara. Hal ini juga memperkuat sentimen bahwa pertumbuhan konsumsi energi tidak hanya berasal dari sektor industri dan manufaktur, tetapi juga dari aktivitas masyarakat umum.
Kenaikan permintaan ini terjadi di tengah keputusan terbaru negara-negara anggota OPEC+, yang dalam pertemuan akhir pekan lalu sepakat untuk menaikkan produksi minyak sebesar 548.000 barel per hari mulai Agustus 2025. Kesepakatan ini merupakan bagian dari strategi bertahap untuk menyesuaikan suplai dengan dinamika permintaan global yang terus berkembang.
Meski demikian, lonjakan permintaan akibat aktivitas liburan tampaknya masih cukup kuat untuk mendorong harga minyak naik, setidaknya dalam jangka pendek. Pasar menilai bahwa peningkatan produksi dari OPEC+ masih belum mampu menahan laju permintaan yang melonjak cepat, khususnya dari kawasan Amerika Serikat.
Dalam catatan analis yang dirilis oleh Goldman Sachs, diperkirakan bahwa OPEC+ akan kembali mengambil langkah serupa dalam pertemuan selanjutnya yang dijadwalkan berlangsung pada 3 Agustus 2025. Para analis Goldman memperkirakan akan ada tambahan produksi sekitar 550.000 barel per hari pada September, mengikuti pola penyesuaian bertahap yang dilakukan sejak awal tahun.
Prediksi tersebut menunjukkan bahwa meskipun pasokan global perlahan ditingkatkan, para produsen utama minyak dunia tetap berhati-hati dalam menjaga keseimbangan pasar. Mereka mempertimbangkan agar lonjakan suplai tidak serta-merta menekan harga, apalagi dalam kondisi ketidakpastian geopolitik dan volatilitas ekonomi global yang masih membayangi.
Kenaikan harga minyak saat ini juga terjadi dalam konteks ketatnya pasokan minyak global dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa gangguan pada rantai distribusi, serta ketegangan geopolitik di kawasan produsen minyak utama, telah membuat pasar cenderung sensitif terhadap perubahan kecil sekalipun dalam indikator permintaan.
Di sisi lain, kalangan industri dan konsumen tetap waspada terhadap tren harga energi. Jika kenaikan berlanjut dalam beberapa pekan ke depan, biaya logistik dan transportasi kemungkinan akan ikut terdampak, serta berpotensi memberikan tekanan pada inflasi di beberapa negara importir minyak.
Meski demikian, analis menilai bahwa dorongan kenaikan harga kali ini bersifat musiman dan sementara. Setelah berlalunya periode puncak liburan, konsumsi bahan bakar diperkirakan akan kembali stabil, terutama jika peningkatan pasokan dari negara-negara OPEC+ benar-benar terealisasi sesuai jadwal.
Hingga saat ini, fokus utama pasar minyak masih tertuju pada kebijakan OPEC+ dan tren permintaan dari negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat, Tiongkok, dan India. Ketiga negara ini memiliki pengaruh besar dalam membentuk arah permintaan global.
Sebagai informasi tambahan, harga minyak dunia telah mengalami fluktuasi sepanjang 2025 akibat berbagai faktor, mulai dari pemulihan ekonomi pascapandemi, dinamika geopolitik Timur Tengah, hingga pergeseran menuju energi bersih yang secara bertahap mulai mengubah peta konsumsi energi dunia.
Namun demikian, selama transisi ini masih berlangsung, peran minyak bumi sebagai sumber energi utama masih akan dominan, terutama untuk sektor transportasi dan industri berat. Oleh karena itu, harga minyak tetap menjadi indikator penting yang dipantau pelaku pasar dan pemerintah di berbagai negara.
Lonjakan harga terbaru ini memperkuat kembali posisi energi fosil dalam dinamika ekonomi global saat ini, setidaknya hingga transisi energi mencapai titik keseimbangan yang lebih stabil.