Masalah Kesehatan Gigi Lebih Tinggi dari Hipertensi, Menkes Dorong Pemeriksaan Gigi Rutin

Minggu, 15 Juni 2025 | 09:13:40 WIB
Masalah Kesehatan Gigi Lebih Tinggi dari Hipertensi, Menkes Dorong Pemeriksaan Gigi Rutin

JAKARTA  — Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya kesehatan gigi dan mulut masih tergolong rendah. Berdasarkan data hasil pemeriksaan kesehatan, permasalahan gigi dan gusi menjadi salah satu keluhan yang paling sering ditemukan, bahkan angkanya lebih tinggi dibandingkan penyakit tidak menular lainnya seperti hipertensi. Fakta ini mendorong pemerintah untuk meningkatkan upaya promotif dan preventif demi meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kesehatan gigi.

Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menyoroti pentingnya peran dokter gigi dalam membangun budaya menjaga kesehatan gigi sejak dini. Hal itu disampaikannya saat memberikan arahan dalam pelantikan Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) periode 2025-2030 di Jakarta.

"Kita perlu memperbaiki upaya promotif dan preventif. Upaya promotif ini bagaimana kita memasifkan sosialisasi cara sikat gigi yang benar. Kita sudah punya materi kesehatan gigi mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, hingga SMA. Tinggal kita review dan sesuaikan kembali," tegas Budi.

Masalah kesehatan gigi tidak hanya ditemukan pada anak-anak, tetapi juga pada orang dewasa dan lanjut usia (lansia). Salah satu penyebab utamanya adalah kebiasaan buruk dalam menyikat gigi serta minimnya pemeriksaan gigi rutin ke dokter. Oleh karena itu, Budi meminta agar PDGI melakukan peninjauan ulang terhadap materi edukasi kesehatan gigi yang telah ada. Selanjutnya, materi tersebut bisa diperbarui untuk mendukung kurikulum pendidikan formal agar kesadaran merawat gigi dapat tertanam sejak usia dini.

"Kesadaran warga perlu ditingkatkan agar mereka terbiasa menjalani pemeriksaan gigi minimal enam bulan sekali. Ini agar anak-anak tak sungkan dan takut ke dokter gigi," ujarnya.

Untuk mendukung hal tersebut, Budi juga menekankan pentingnya menghilangkan stigma negatif tentang dokter gigi yang sering dianggap menakutkan, terutama oleh anak-anak. Sosialisasi aktif di media sosial PDGI dan Kementerian Kesehatan menjadi salah satu solusi efektif.

"Upaya menghilangkan stigma menakutkan ini bisa dilakukan melalui media sosial. Kita tampilkan wajah-wajah dokter gigi yang disenangi anak-anak. Jadi, enam bulan sekali mereka tak takut lagi memeriksakan giginya," imbuhnya.

Di sisi lain, Budi juga menyoroti pentingnya standardisasi layanan kesehatan gigi di fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas. Saat ini, layanan kesehatan gigi di puskesmas masih terbatas, mayoritas hanya menyediakan layanan pembersihan karang gigi dan pencabutan gigi. Sementara layanan lain seperti tambal gigi belum banyak tersedia.

"Tolong PDGI definisikan layanan perawatan gigi yang harus ada di puskesmas. Setelah jelas kebutuhannya, kami akan siapkan dokter giginya. Kalau bisa, para dokter gigi ini sudah dididik untuk pelayanan dasar di puskesmas," kata Budi.

Langkah konkret lainnya, Kemenkes telah berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) untuk membuka formasi tenaga kesehatan gigi dalam rekrutmen aparatur sipil negara (ASN). Upaya ini diharapkan dapat menutup kekurangan dokter gigi, khususnya di daerah dengan prevalensi masalah kesehatan gigi yang tinggi.

Ketua Umum PB PDGI periode 2025-2030, Usman Sumantri, menegaskan bahwa Indonesia masih kekurangan dokter gigi. Berdasarkan data yang dimiliki PDGI, jumlah dokter gigi umum di Indonesia saat ini mencapai sekitar 53.000 orang, sedangkan dokter gigi spesialis berjumlah sekitar 6.000 orang.

"Sekitar 26 persen puskesmas belum punya dokter gigi. Sementara produksi dokter gigi per tahun 2.500 sampai 3.000 orang. Apabila pemerintah konsisten menempatkan dokter gigi di setiap puskesmas, saya yakin kebutuhan ini bisa terpenuhi," ujar Usman.

Untuk menutupi kekurangan tersebut, PDGI menawarkan beberapa solusi strategis. Salah satunya adalah dengan penugasan dokter gigi pasca-internship ke daerah prioritas yang memiliki tingkat masalah kesehatan gigi tinggi, lengkap dengan insentif dan jaminan karier yang jelas.

Selain itu, Usman juga mendorong pemerintah untuk menambah kuota dan fasilitas pendidikan bagi dokter gigi spesialis agar jumlah dokter spesialis meningkat secara signifikan. Penambahan kapasitas pendidikan dan evaluasi moratorium pembukaan Fakultas Kedokteran Gigi pun dinilai perlu dipertimbangkan agar produksi tenaga dokter gigi semakin optimal.

Di era digital saat ini, Usman juga menilai pentingnya memanfaatkan layanan kesehatan gigi jarak jauh atau teledentistry. Teknologi ini dapat menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah terpencil sehingga mereka tetap mendapatkan layanan kesehatan gigi yang memadai.

"Dengan regulasi yang tepat, kami meyakini layanan kesehatan gigi yang bermutu bisa menjangkau seluruh masyarakat, termasuk di pelosok. Digitalisasi layanan bisa menjadi solusi jangka panjang," tegas Usman.

Langkah-langkah sinergis antara Kemenkes dan PDGI ini menjadi harapan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut secara berkelanjutan. Dengan pemeriksaan rutin dan akses layanan kesehatan gigi yang memadai, masyarakat Indonesia diharapkan dapat terhindar dari berbagai permasalahan gigi yang selama ini masih banyak diabaikan.

"Kesehatan gigi adalah bagian integral dari kesehatan tubuh. Dengan mulut yang sehat, kualitas hidup masyarakat bisa meningkat," pungkas Budi Gunadi Sadikin.

Terkini