OJK Atur Kewajiban Agunan untuk Pinjaman Online di Atas Rp2 Miliar, Bertujuan Mitigasi Risiko Kredit

Senin, 14 April 2025 | 09:11:23 WIB
OJK Atur Kewajiban Agunan untuk Pinjaman Online di Atas Rp2 Miliar, Bertujuan Mitigasi Risiko Kredit

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan akan memberlakukan aturan baru terkait pinjaman online (P2P lending), yang mewajibkan penyelenggara layanan pendanaan berbasis teknologi informasi untuk menetapkan agunan pada pinjaman dengan nominal di atas Rp2 miliar. Aturan ini diatur dalam Rancangan Surat Edaran OJK (SEOJK) yang kini sedang dalam tahap pembahasan.

Keputusan ini muncul sebagai langkah OJK untuk memperkuat sektor pinjaman daring yang semakin berkembang di Indonesia. Rancangan aturan ini akan mulai berlaku paling lambat satu tahun setelah penetapan, dengan fokus utama pada pinjaman produktif yang memberikan dampak signifikan terhadap risiko kredit dan keberlanjutan penyelenggara layanan.

Pinjaman Online dan Potensi Risiko

Dalam konferensi pers yang berlangsung pada 13 April 2025, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Lainnya OJK, Agusman, menjelaskan alasan di balik regulasi ini. Menurut Agusman, kewajiban agunan bagi pinjaman lebih dari Rp2 miliar bertujuan untuk memperkuat mitigasi risiko kredit dan mengantisipasi potensi risiko gagal bayar (default), terutama pada pinjaman dengan nilai tinggi.

“Pada dasarnya adalah untuk memperkuat mitigasi risiko kredit sebagai antisipasi potensi risiko default atau gagal bayar, terutama pembiayaan dengan nilai tinggi yang berdampak besar bagi perlindungan lender dan keberlanjutan penyelenggara,” ungkap Agusman.

Lebih lanjut, Agusman menjelaskan bahwa pemberlakuan agunan ini akan memberikan instrumen bagi penyelenggara P2P lending untuk memulihkan dana apabila terjadi gagal bayar atau wanprestasi dari pihak penerima dana (borrower). Sementara itu, di sektor perbankan, agunan sudah menjadi hal yang lazim diterapkan, namun hal serupa masih belum ada dalam sistem P2P lending, yang berisiko bagi lender (pemberi pinjaman).

Pinjaman Sektor Produktif dan Dampaknya Terhadap Kualitas Kredit

Agusman juga menambahkan bahwa pinjaman di sektor produktif merupakan salah satu faktor utama yang mendorong tingginya tingkat kredit bermasalah di industri P2P lending. Meskipun sektor produktif memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian, tingkat gagal bayar (default) dari sektor ini terbilang tinggi, sehingga membuat kualitas kredit industri P2P lending menjadi sorotan.

Sebagai data tambahan, OJK mencatat bahwa hingga November 2024, terdapat 21 penyelenggara P2P lending dengan tingkat kredit bermasalah (TWP90) di atas 5%, yang sebagian besar berasal dari penyelenggara yang berfokus pada pendanaan sektor produktif. Menurut catatan OJK, meskipun pinjaman sektor produktif hanya menyumbang sekitar 30% dari total pembiayaan P2P lending, namun penyelenggara yang terfokus pada sektor ini mendominasi masalah kredit bermasalah.

Penerapan agunan ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi penyelenggara P2P lending untuk melakukan pemulihan dana apabila terjadi gagal bayar. Hal ini tentunya menjadi keuntungan bagi para lender yang selama ini menghadapi risiko tinggi akibat ketidakpastian dalam pinjaman produktif.

Industri P2P Lending Menghadapi Tantangan dalam Mengelola Kredit Bermasalah

Fenomena kredit bermasalah ini sudah menjadi perhatian serius bagi para pelaku industri fintech P2P lending. Berdasarkan data OJK, sektor produktif yang mencakup pinjaman kepada badan usaha, seperti usaha kecil dan menengah (UKM), justru menunjukkan angka gagal bayar yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor konsumer.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga mengomentari fenomena ini dengan menyoroti tingginya tingkat gagal bayar pada pinjaman sektor produktif. Dalam wawancara dengan media, Huda menyatakan, “Dilihat dari data, penyaluran kredit ke badan usaha (sektor produktif) memiliki gagal bayar lebih tinggi. Jadi memang tidak menguntungkan untuk meminjamkan uangnya ke sektor produktif saat ini.”

Pernyataan ini menunjukkan adanya ketidakpastian dalam pendanaan sektor produktif yang memiliki dampak langsung terhadap kualitas portofolio pinjaman di industri P2P lending. Oleh karena itu, pemberlakuan agunan pada pinjaman produktif diharapkan dapat memitigasi risiko-risiko yang selama ini tidak terlindungi oleh jaminan atau agunan fisik.

Regulasi Baru: Solusi atau Tantangan bagi P2P Lending?

Meskipun aturan kewajiban agunan ini bertujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap lender dan keberlanjutan penyelenggara, sejumlah pihak dalam industri fintech P2P lending memandang bahwa regulasi ini bisa menjadi tantangan besar bagi beberapa penyelenggara. Hal ini terutama dirasakan oleh penyelenggara yang selama ini mengandalkan model bisnis yang lebih fleksibel tanpa agunan untuk memudahkan akses ke pendanaan, terutama bagi sektor-sektor yang membutuhkan modal dengan proses yang lebih cepat.

Namun, pihak OJK menegaskan bahwa dengan adanya agunan, industri P2P lending diharapkan akan lebih stabil dan kredibel, serta lebih mampu menjaga keberlanjutan usaha di tengah ketatnya persaingan dan tingginya risiko gagal bayar.

Agusman juga menambahkan bahwa penyelenggara P2P lending diharapkan dapat menyusun strategi mitigasi risiko yang lebih matang, dengan salah satu instrumen utamanya adalah agunan. Hal ini, lanjut Agusman, akan memberikan rasa aman kepada lender, yang tentunya sangat penting untuk keberlanjutan industri pinjaman daring.

Tantangan Selanjutnya: Implementasi dan Pemantauan

Sementara itu, implementasi regulasi ini tidak akan berlangsung dengan instan. OJK memberikan waktu hingga satu tahun untuk menyusun aturan rinci dan melakukan sosialisasi kepada seluruh penyelenggara P2P lending. Ke depannya, OJK juga akan memantau secara ketat penerapan aturan ini guna memastikan bahwa sektor P2P lending dapat berjalan dengan transparan, adil, dan efisien, serta melindungi kepentingan seluruh pihak yang terlibat.

Dengan adanya perubahan ini, industri P2P lending di Indonesia diharapkan dapat berkembang dengan lebih sehat, dengan penyelenggara yang lebih profesional dan kredibel, serta adanya perlindungan lebih terhadap risiko yang ada di pasar pinjaman daring.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Rancangan Surat Edaran OJK (SEOJK) tentang kewajiban agunan untuk pinjaman online lebih dari Rp2 miliar akan memperkenalkan regulasi yang dapat memberikan perlindungan lebih terhadap risiko kredit dalam industri P2P lending. Meskipun ada tantangan dalam penerapannya, langkah ini diharapkan dapat menjaga kualitas kredit dan mendorong stabilitas sektor fintech P2P lending di Indonesia.

Agusman menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat mitigasi risiko dan memberikan instrumen pemulihan bagi penyelenggara apabila terjadi gagal bayar. Sementara itu, Nailul Huda menyatakan bahwa pinjaman produktif yang sering mengalami gagal bayar memerlukan perhatian khusus. Dengan adanya agunan, OJK berharap sektor ini akan lebih sehat dan dapat mengurangi potensi kerugian yang dapat ditanggung oleh lender dan penyelenggara P2P lending.

Terkini