JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa perguruan tinggi tidak diperbolehkan untuk mengelola tambang di Indonesia. Pernyataan tegas ini disampaikan Bahlil usai mengikuti Rapat Pleno Badan Legislasi DPR bersama pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Senin, 17 Februari 2025. Pernyataan Bahlil ini menjadi penegasan sikap pemerintah dalam pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara yang memiliki implikasi besar terhadap perekonomian dan lingkungan.
Dalam rapat tersebut, penentuan kebijakan pengelolaan pertambangan menjadi topik utama yang dibahas. Perguruan tinggi, yang dikenal sebagai pusat pendidikan dan penelitian, memang kerap dilibatkan dalam berbagai aktivitas penelitian dan pengembangan teknologi terkait pertambangan. Namun, dalam konteks pengelolaan langsung terhadap tambang, Bahlil menekankan bahwa kebijakan ini harus tetap berada di bawah kendali pemerintah dan badan usaha yang memiliki kapasitas untuk menjalankan operasi pertambangan yang kompleks dan berisiko tinggi.
"Perguruan tinggi sebaiknya fokus pada pengembangan riset dan inovasi. Pengelolaan tambang memerlukan kemampuan manajerial dan finansial yang besar, serta penguasaan teknis yang sangat spesifik yang lebih cocok dilakukan oleh badan usaha maupun perusahaan negara," kata Bahlil. Pernyataan ini menggambarkan pentingnya memisahkan antara aktivitas pendidikan dengan bisnis pertambangan, terutama untuk memastikan bahwa masing-masing dapat berfokus pada perannya tanpa menimbulkan konflik kepentingan.
Tentu, pihak perguruan tinggi masih dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam sektor pertambangan melalui riset teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi dan memastikan keberlanjutan dari aktivitas pertambangan tersebut. "Perguruan tinggi memiliki potensi besar dalam menciptakan inovasi teknologi yang bisa membantu perusahaan pertambangan dalam memperbaiki metode ekstraksi dan pengolahan yang lebih ramah lingkungan," ujar Bahlil.
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh beberapa anggota DPR yang hadir dalam rapat tersebut. Mereka menyatakan bahwa perguruan tinggi lebih tepat sebagai mitra strategis dalam hal penelitian dan pengembangan sektor pertambangan, bukan sebagai pengelola langsung. "Dalam pengelolaan tambang, selain penguasaan teknis dan manajerial, aspek corporate social responsibility (CSR) juga menjadi sangat penting dan ini cenderung lebih kompleks dan membutuhkan pengalaman serta kapasitas dari para perusahaan tambang besar," ujar salah satu anggota DPR yang hadir.
Keharusan pemerintah untuk mewaspadai potensi kerusakan lingkungan yang mungkin timbul akibat eksploitasi tambang juga menjadi salah satu alasan penting mengapa pengelolaan tidak dapat diserahkan ke pihak yang dinilai belum memiliki kapasitas penuh dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan demikian, kebijakan ini juga mewakili sikap protektif dari pemerintah untuk menjaga keseimbangan alam dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Namun, Bahlil secara eksplisit menekankan bahwa partisipasi perguruan tinggi dalam proses menyediakan solusi teknologi tetap sangat dibutuhkan. "Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi merupakan hal yang penting guna mencapai target efisiensi dan keberlanjutan dalam penambangan," kata Bahlil lebih lanjut.
Di sisi lain, kabar larangan ini juga menimbulkan berbagai reaksi dari akademisi. Beberapa pihak yang berfokus pada pengembangan teknologi dan kebijakan pertambangan melihat hal ini sebagai kesempatan untuk lebih memperkuat posisi perguruan tinggi dalam memberikan kontribusi nyata terhadap industri, meski dari sisi yang berbeda. Prof. Dr. Eng. Haryanto, pakar pertambangan dari Institut Teknologi Bandung, dalam tanggapannya, menyebutkan bahwa hal ini membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk berkontribusi lebih dalam penelitian yang bisa memberikan dampak positif terhadap efisiensi dan metode kerja pertambangan.
Dalam konteks global, kebijakan ini juga perlu diselaraskan dengan praktik terbaik dalam pengelolaan sumber daya mineral yang sudah dilakukan di negara lain. Hal ini mendesak agar regulasi pertambangan di Indonesia tetap kompetitif dan dapat memberikan nilai tambah yang optimal baik bagi ekonomi maupun lingkungan sekitar.
Pada akhirnya, keputusan untuk membatasi peran perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang ini merupakan langkah strategis dari pemerintah guna memastikan bahwa setiap ekosistem di sektor pertambangan dapat bermain sesuai dengan peran yang paling efektif dan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Pemerintah berjanji akan terus mendorong sinergi antara pendidikan tinggi dan industri untuk bersama-sama mencapai tujuan pembangunan nasional yang berkelanjutan, lebih transformasional, serta berbasis inovasi teknologi dan sains aplikatif.
Kesimpulan dari pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia adalah bahwa meski perguruan tinggi dilarang langsung mengelola tambang, peran perguruan tinggi dalam mendukung sektor ini dari lini riset dan inovasi tetap akan dioptimalkan untuk keberlanjutan dan perkembangan industri pertambangan di Indonesia.