YOGYAKARTA – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, berencana untuk segera bertemu dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pertemuan ini akan membahas sengketa lahan antara Keraton Yogyakarta dan PT Kereta Api Indonesia (KAI), di mana pihak keraton telah mengajukan gugatan dengan nilai simbolis sebesar Rp1.000.
Gugatan ini telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan menjadi perhatian publik karena menyangkut klaim kepemilikan tanah yang oleh PT KAI dicatat sebagai aset mereka. “Kita akan bicara dengan Kanjeng Sultan mengenai masalah implementasi hak-hak atas tanah di Yogyakarta,” ujar Nusron Wahid saat ditemui di Kantor Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta.
Polemik tanah antara Keraton dan PT KAI ini bukanlah masalah baru. Menteri Nusron menyatakan bahwa pembicaraan nantinya akan difokuskan pada tanah di Yogyakarta yang statusnya bukan sebagai tanah Keprabon. Tanah Keprabon adalah lahan milik Kasultanan yang digunakan untuk bangunan istana dan fasilitas penunjang lainnya.
“Yang tanah Keprabon itu, secara isu sudah selesai. Memang itu haknya Kanjeng Sultan,” jelas Nusron. Namun, ia mengakui bahwa terdapat perbedaan tafsir mengenai tanah non-Keprabon yang menciptakan ketegangan antara isi Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Keistimewaan DIY.
Sultan HB X sebelumnya menjelaskan bahwa gugatan terhadap PT KAI terkait kepemilikan tanah dilayangkan atas dasar kesepakatan antara pihak Keraton Yogyakarta dan tergugat lainnya. Menurut Sultan, komunikasi dengan PT KAI mengenai aset tanah milik Keraton yang berstatus Tanah Kasultanan sudah lama dilakukan. Meskipun dialog yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Kementerian Keuangan, telah berlangsung, keputusan resmi untuk pembatalan status aset belum dapat dicapai.
“(Komunikasi) tidak hanya PT KAI, kejaksaan, Mahkamah Agung, (Kementerian) Keuangan semua sudah. Tapi tidak berani membatalin (status aset),” ungkap Sultan saat ditemui di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.
Proses penghapusbukuan atau pembatalan status aset ini dinilai Sultan hanya bisa terwujud melalui putusan pengadilan. Oleh karena itu, pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta dipandang sebagai langkah lanjut yang diperlukan, terutama setelah dicapai kesepakatan bersama pihak-pihak terkait pada Oktober 2024 lalu.
"Prosesnya sudah lama, ya kalau mereka ndak sepakat ya saya ndak ke pengadilan," tambah Sultan.
Apabila pengadilan mengabulkan gugatan ini, Sultan berharap seluruh aset PT KAI yang dibangun di atas tanah yang disengketakan akan tercatat statusnya sebagai Hak Guna Bangunan (HGB). Sultan tidak mempermasalahkan penggunaan Tanah Kasultanan oleh BUMN asalkan administrasi dijalankan dengan tertib.
“Nanti yang terjadi (usai putusan pengadilan) itu kira-kira PT KAI punya aset, HGB di atas Sultan Ground. Udah itu aja,” jelas Sultan.
Gugatan yang diajukan oleh Keraton Yogyakarta ini terdaftar dengan nomor 137/Pdt.G/2024/PN Yyk pada tanggal 17 Oktober 2024. Gugatan tersebut diinisiasi oleh Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang juga putri Sultan HB X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono. Objek sengketa meliputi tanah emplasemen Stasiun Tugu Yogyakarta seluas 297.192 meter persegi.
Pengadilan Negeri Yogyakarta diharapkan untuk mengabulkan gugatan yang menyatakan bahwa pihak Keraton Yogyakarta memiliki hak atas tanah tersebut. Selain PT KAI yang bertindak sebagai tergugat utama, kasus ini juga melibatkan Kementerian BUMN RI sebagai tergugat kedua dan beberapa pihak turut tergugat, yaitu Kantor Pertanahan BPN Kota Yogyakarta, Kementerian Keuangan RI, dan Kementerian Perhubungan RI.
Adapun nominal tuntutan ganti rugi sebesar Rp1.000 dinilai Sultan murni bersifat formalitas dan sebagai pemenuhan aspek hukum yang diperlukan dalam gugatan tersebut. "Ya harus ada kerugian, kalau tidak gimana, itu kan aspek hukumnya," ujar Sultan menutup penjelasannya.